Pertama-tama perkenankanlah saya, dari Sanglah Denpasar Bali Indonesia, tempat di mana RENETIL didirikan pada 20 Juni 1988, menyampaikan; rasa BELASUNGKAWA yang sedalam-dalamnya, atas meninggalnya salah satu teman senior terbaik saya, rekan seperjuangan; Bapak Fernando La Sama De Araujo, pada hari ini, 2 Juni 2015, di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares Bidau Dili Timor Leste.
Almarhum adalah;
(1). Salah satu dari 10 orang Pendiri RENETIL.
(2). Sekjen pertama RENETIL
(3). Presiden Partai Demokrat saat ini (Pendiri Partai Demokrat)
(4). Presiden Parlamen Nasional Timor Leste periode; 2007 - 2012
(5). Presiden Interin Timor Leste, saat Presiden Ramos Horta harus mengalami luka berat dan diterbangkan ke Royal Darwin Hospital Australia, ketika terjadi tragedi 11 Februari 2008.
(6). Wakil Perdana Menteri Timor Leste Kabinet V, pimpinan Perdana Menteri Xanana Gusmao.
Secara pribadi saya mengenal Almarhum yang pernah menghuni LP Cipinang Jakarta selama 6 tahun 4 bulan (sebagai tahanan politik bersama Pak Xanana Gusmao).Saya mengenal Almarhum dengan baik. Dan sebaliknya, Almarhum juga mengenal saya dengan baik.
Saya memiliki banyak sekali kenangan dengan Almarhum yang pernah menyandang status sebagai Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) Bali. Dari semua kenangan yang tak terlupakan itu, ada satu kenangan yang sulit saya lupakan, yaitu; pertemuan saya dengan Almarhum di Hotel Pathra Kuta Bali pada tanggal 2 April 2009.
Pertemuan dengan Almarhum pada 2 April 2009 inilah, yang menjadi salah satu alasan penting bagi saya untuk menyampaikan proposal kepada RENETIL, agar menyembelih Gallus Bankiva (Ayam Hutan) pada 2 April (2015). Bukan pada tanggal yang lain. Jadi sekali lagi, dalam proposal saya kepada RENETIL (sebagaimana dapat dibaca pada artikel berseri berjudul; RENETIL, GALLUS BANKINA & KETURUNAN SULAIMAN, yang sudah memasuki seri ke-7), saya mengusulkan kepada RENETIL harus menyembelih GALLUS BANKIVA pada 2 April, karena berhubungan erat dengan pertemuan saya dengan Almarhum 2 April (2009).
Saat itu Beliau bersama Ibu Jacqueline Aquino Siapno,PhD (Isterinya yang asli Filipina), bersama anak semata-wayang mereka (Hadomi), berangkat dari Dili pada 1 April 2009. Beberapa jam sebelum berangkat dari Dili, pada pagi harinya, Almarhum sempat menelfon saya dari Dili dan minta untuk bertemu saya saat tiba Denpasar. Begitu tiba di Denpasar, Beliau menelfon saya untuk bertemu pada pukul 8 malam. Tapi menjelang jam 6 sore, Beliau kembali menelfon saya untuk membatalkan pertemuan karena banyak tamu. Dan Beliau berpesan, agar pada keesokan harinya (2 April 2009), jam 8 pagi, saya sudah harus menemui Beliau di hotel untuk sarapan bersama.
Tapi pada keesokan harinya, 2 April 2009, saya telat bangun gara-gara malamnya saya begadang sampai dini hari. Belum lagi saya diwajibkan untuk pergi ke Hotel Pathra dengan harus mengendarai kendaraan bernomor DK 5555. Mencari kendaraan bernomor DK 5555 itu yang setengah mati, walau pada akhirnya ketemu juga kendaraan tersebut di Gang Tanjung (tapi harus disewa).
Akhirnya sarapan bersama tidak jadi. Saya baru bisa tiba di Hotel Pathra pada sekitar pukul 10 pagi. Saat saya tiba di Hotel Pathra, Almarhum bersama sejumlah tamu, di antaranya; Prof. Dr. Yohanes Usfunan,MHum.,Drs., (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali), salah satu Anggota Parlamen Timor Leste (Senhor Antonio Cardoso) dan Pimpinan Konsulat Timor Leste di Bali, Bapak Paulo Ximenes, dan salah satu Asesor Parlamen Timor Leste (bule brewokan yang tidak saya kenal), sedang "ngobrol" di lobi hotel. Saya ikut bergabung dalam "obrolan" itu. Setelah sekian jam kami ngobrol, saya melihat Ibu Jacquline bersama Hadomi menemui Almarhum untuk berpamitan, kemudian meninggalkan hotel, menuju Airport untuk terbang ke Filipina.
Tidak berselang lama sepeninggal Ibu Jacqueline dan Hadomi, sementara tamu-tamu yang lain, meneruskan "obrolan" di lobi, Almarhum mengajak saya menuju kamar di mana mereka nginap. Kamar itu bernomor 201. Di sana, di kamar 201, saya dan Almarhum sempat "ngobrol" sekitar 30 menit. Lalu Almarhum memberi saya "segumpal uang". Uang itu lumayan banyak untuk "orang kere" seperti saya. Pokoknya hari itu, 2 April 2009, tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya, karena saya benar-benar ketiban rejeki "nomplok. Di sini saya dengan sengaja menyebutkan kamar bernomor "201", karena berkaitan erat dengan artikel saya tertanggal 13 November 2014, berjudul;
MENYEMBELIH GALLUS BANKIVA WAJIB HUKUMNYA KARENA PARA PENDIRI RENETIL TELAH BERSUMPAH DI HADAPAN ALLAH
Saya sengaja menyebutkan judul artikel yang diterbitkan pada 13 November 2014, dan hubungannya dengan pertemuan saya dengan Almarhum pada tanggal 2 April 2009 di kamar 201, karena saya temukan data dan fakta yang sangat mengejutkan.
Hari ini 2 Juni 2015, ketika mendapat informasi pasti bahwa Beliau telah meninggal, jujur saya sangat kaget. Kaget karena Beliau meninggal tepat pada hari ke-201 setelah artikel tersebut diterbitkan. Coba Anda hitung sendiri dari 13 November 2014 ketika artikel tersebut diterbitkan, sampai 2 Juni 2015, hari di mana Almarhum menghembuskan nafas terakhir, jumlahnya tepat; 201 hari, sesuai dengan nomor kamar 201 Hotel Pathra.
Dan saya wajib berterima-kasih kepada Companheiro SBY, karena pada 1 Juni 2015, saat Companheiro La Sama tiba-tiba mendapat serangan stroke di Suai Covalima, saya pertama kali mendapatkan info dari Companheiro SBY yang mengirimkan SMS dan sekaligus mengabarkan bahwa dia sedang membaca artikelku, edisi 13 November 2014. Padahal saya sendiri sebenarnya sudah tidak ingat lagi artikel tersebut karena banyaknya artikel yang saya tulis. Yang membuat saya agak heran, bagaimana caranya Companheiro SBY bisa menemukan artikel tersebut, tepat pada saat Companheiro La Sama mendapat serangan stroke haemorhagic?
Rekan-rekan RENETIL boleh melakukan konfirmasi ke fihak Hotel Pathra. Pasti fihak hotel memiliki arsip, bahwa Almarhum benar-benar check in di kamar bernomor 201 pada 1 April 2009 dan kemudian "check out" pada 2 April 2009. Karena hari itu, 2 April 2009, setelah Ibu Jacqueline bersama Hadomi terbang ke Filipina pada sekitar tengah hari, pada petang harinya (masih 2 April 2009), Almarhum "check out", untuk meneruskan perjalanan ke Ethiopia.
Hari itu, saya diajak Almarhum untuk ikut Beliau dan rombongan, makan siang bersama (rencananya mau makan ikan bakar) di Jimbaran Bay. Tapi saya dengan halus menolak. Maka kami berpisah di lobi hotel. Mereka berangkat ke Jimbaran Bay, saya kembali kos (di Sanglah Denpasar).
Dan yang juga tidak kalah mengejutkan saya adalah, untuk pertama kalinya, dalam artikel tertanggal 13 November 2014, saya secara explisit (straight to the point), secara redaksional, menuliskan kalimat berbunyi;
"Salah satu dari 7 Kandidat Presiden yang masuk dalam "daftar nominasi" yang saya umumkan pada Desember 2011, sudah tidak ada lagi bersama kita sebelum 2017". Begitu artikel tersebut terbit, saya dihujat habis-habisan.
Artikel tertanggal 13 November 2014, menyebabkan saya banyak sekali mendapat hujatan yang "membuat bulu kuduk berdiri". Akibatnya sebagian hujatan terpaksa saya hapus, karena tidak enak sama sekali membiarkannya di sana.
Maka pada 19 Maret 2015, ketika saya menyampaikan proposal kepada RENETIL untuk menyembelih Gallus Bankiva, dan penyembelihan harus dilakukan pada tanggal 2 April, tidak boleh pada tanggal lain, karena berkaitan erat dengan pertemuan antara saya dan Almarhum pada 2 April 2009 di kamar 201. Jadi pemilihan tanggal 2 April 2015, bukan hasil bermain dadu.
Ternyata, yang tidak saya sangka-sangka, setelah genap 201 hari artikel tersebut diterbitkan, Almarhum yang saya kenal sebagai orang yang rendah hati ini, menghembuskan nafas terakhir. Ini benar-benar sebuah misteri besar bagi saya.
Saya mengakhiri catatan pendek ini dengan menyampaikan "pesan spesial" kepada RENETIL, khusunya para Pendiri RENETIL untuk banyak-banyak melakukan 3B (Berdoa, Bertobat & Bertirakat). Proposal saya kepada RENETIL untuk menyembelih Gallus Bankiva pada tanggal 2 April (2015), yang bersejarah, bukan hanya ditolak, tapi saya malah dihujat.
Tapi anehnya, pada 2 April 2015, RENETIL tidak menyembelih Gallus Bankiva sesuai proposal saya, tapi justeru Yang Mulia Uskup Mgr. Dom Alberto Ricardo da Silva, yang meninggal tepat pada tanggal 2 April 2015 yang jatuh pada hari Kamis Putih. Apakah ini semua sekedar faktor kebetulan...???
Salam Dua Hati dari Bukit Sulaiman. Semoga Dua Hati senantiasa melindungi Nusantara & memberkati kita semua (hitam & putih). Amin.
Catatan Kaki;
Dalam artikel ini saya melampirkan salah satu foto, di mana di dahi Almarhum, ada tanda aneh yang menyerupai “Burung Garuda”. Dalam buku berjudul: SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA DAN FILSAFAT HINDU, yang ditulis oleh Prof. I Made Titib, Guru Besar Universitas Warmadewa Denpasar Bali, dijelaskan bahwa Burung Garuda itu adalah Burung Matahari alias Burung Surya.
Maka munculnya simbol Burung Matahari di dahi Almarhum, membawa pesan dari "dunia lain" bahwa dalam tubuh Partai Demokrat (PD) ada Pangeran Matahari (464) alias "Pangeran Surya" (1005). Kandidat dari PD baru akan memenangkan Pemilihan Presiden Timor Leste, jika yang maju bertarung adalah "Pangeran Surya". Pertanyaannya adalah; "Siapakah sejatinya dalam tubuh Partai Demokrat, yang menyandang gelar "Pangeran Matahari" alias 'Pangeran Surya"? Hanya ALLAH Yang Maha Mengetahui.
Sumber Kutipan:
Artikel ini ditayangkan di laman Face book Rama Cristo, 2 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar