SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Senin, 30 Agustus 2021

MENGIRIM PATUNG DEWA SIWA KE KANADA PADA 30 AGUSTUS 1999 UNTUK MEMASTIKAN HARI PENGUMUMAN HASIL REFERENDUM 4 SEPTEMBER 1999

Foto kenangan saat referendum 30 Agustus 1999. Foto ini dibuat di Renon Denpsar Bali, pada 17 Juli 1999. Yang mengambil foto adalah Kolonel Arifin (Angkatan Darat) dari Malaysia. Dalam foto tampak dari kiri ke kanan; (1). Rama Cristo, orang gila dari Atsabe Timor Leste. (2). Acacio Branco de Oliveira dari Same Timor Leste. (3). Ari Sanjaya, dari Bali Indonesia. (4). Mr. John dari Kanada. (5). Mrs. Nicole dari Kanada. (6). Mr. Mike Montegano dari Kanada. (7). Mrs. Marilyn Maison dari Kanada.
😎. 8Mayor Tinakorn (Angkatan Laut) dari Thailand.

 PENGANTAR SINGKAT 

Artikel ini sudah pernah ditayangkan di laman face book saya, pada 30 Agustus 2019 (2 tahun lalu). Hari ini, 30 Agustus 2021, dalam rangka ikut merayakan hari referendum ke-22, saya share kembali di blog ini. Bagi mereka yang sudah membacanya, bisa langsung di-skip saja. 

Jika Anda ingin membaca versi face booknya, bisa diklik di link ini 

https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/144826880055100 


Pada 27 Januari 1999 ketika Presiden BJ Habibie secara tiba-tiba mengejutkan dunia internasional dengan mengeluarkan dua opsi bagi penyelesaian masalah Timor-Timur melalui referendum (one person one vote), yang diikuti dengan pertemuan Tri Partied (Indonesia, PBB & Portugal) di New York, pada 5 Mei 1999, guna membahas persiapan pelaksanaan referendum, seluruh mahasiswa, pemuda & pelajar Timor-Timur yang berada di berbagai wilayah Indonesia, dimobilisasi oleh Renetil, untuk meninggalkan Indonesia dan pulang ke Timor-Timur guna mempersiapkan rakyat Timor-Timur menghadapi referendum.

Saat itu saya tidak bisa pulang ke Timor-Timur, karena saya direkrut oleh IOM (International Organization for Migration), untuk menjalani tugas sebagai 'interpreter' di TPS yang didirikan di Renon Denpasar Bali. IOM yang berkedudukan di Perancis, bekerja sama dengan UNAMET (United Nations Mission Administration for East Timor) merekrut sejumlah 'local staff'. UNAMET adalah perpanjangan tangan PBB.

Menjelang pelaksanaan referendum 1999, ada 5 TPS yang didirikan di 5 kota besar di Indonesia, yakni; Denpasar, Surabaya, Jogjakarta, Jakarta & Ujung-Pandang (saat ini berganti nama menjadi Makassar/Ibu Kota Sulawesi Selatan). Dulu saya beberapa kali mengujungi Ujung- Pandang, sebuah kota penuh kenangan. 

Saat itu di TPS Renon Denpasar, ada 9 staf tetap, (6 orang staf internasional dan 3 orang staf lokal). Bisa dilihat dalam foto terlampir. Belum ditambah dengan staf tidak tetap lainnya, yaitu pengamat (baik pengamat asing maupun domestik).

Saya menjuluki 9 staf tetap tersebut, dengan sebutan "Dji Sam Soe" (234). Ke sembilan staf tetap tersebut adalah;

a. Dua orang MLO (Military Liaison Officer).

b. Empat Staf Internasional asal kanada.

b. Tiga Staf Lokal.

(1). Dua orang MLO (Military Liaison Officer = Penghubung Militer), yaitu; Kolonel Arifin (Angkatan Darat) dari Malaysia (satu-satunya staf internasional yang bisa berbahasa Indonesia) dan Mayor Tinakorn (Angkatan Laut) dari Thailand. Dalam bahasa Thailand, Tinakorn artinya “matahari”.

(2). Empat orang staf internasional berkewarganegaraan Kanada, yaitu; Mr. Mike Montegano, Mr. John, Mrs. Nicole dan Mrs. Marilyn Maison. Mrs. Marilyn sangat akrab dengan saya. Tiap akhir pekan, saya diberi bonus (hadiah) antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta. Pada tahun 1999, nominal itu sudah sangat luar biasa. Apalagi untuk orang "kere" seperti saya. Benar-benar rezeki nomplok.

(3). Tiga orang staf lokal, yaitu; Sdr. Acacio Branco de Oliveira dari Same Timor Leste, Sdr. Ari Sanjaya dari Bali dan saya sendiri (dari Atsabe Timor Leste). Saudara Ari menguasai banyak sekali bahasa asing (Inggris, Jerman, Perancis, Belanda & Jepang).

TARUHAN POTONG JARI KELINGKING

Hari itu, Senin, 2 Agustus 1999, sambil menunggu orang-orang datang mendaftar, kami mengobrol santai. Topik adalah mengenai peranan PBB dalam Referendum 1999. Di tengah keasyikan ngobrol, saya iseng mengatakan bahwa; “hasil referendum tidak akan diumumkan pada 7 September, tapi akan diumumkan pada Sabtu, 4 September 1999”.

Mendengar hal itu, walau staf yg lain tidak terlalu serius menanggapinya, namun Mr. Mike serius menanggapi kata-kataku. Beliau mengingatkan saya agar tidak asal ngomong.

“PBB telah menetapkan dengan pasti, tanggal pengumuman hasil referendum adalah hari Selasa, 7 September 1999. Bukan hari Sabtu, 4 September 1999. Mr. Mike mengatakan hal itu sambil menatap saya dalam-dalam.

Mr. Mike yang berdarah campuran Kanada - Italia (kedua orang tuanya, imigran asal Italia yang menetap di Kanada), masuk ke ruang kerjanya dan keluar kembali dengan sehelai kertas di tangan.

Beliau membacakan kesepakatan Tri Partied (Indonesia, PBB & Portugal), yang ditetapkan di di New York Amerika Serikat, 5 Mei 1999, bahwa hasil referendum akan diumumkan pada 7 September 1999. Bukan pada 4 September 1999″. Beliau membaca teks itu dengan suara lumayan “kencang”. Kulit wajah pria ras “caukasoid” itu berubah menjadi “merah tomat”.

Setelah Mr. Mike selesai membaca nota kesepakatan tersebut, saya menimpali;

“Kita taruhan saja Mr. Mike. Mr. Mike boleh berpegang pada kesepakatan 5 Mei 1999. Tapi saya tetap percaya, hasil referendum akan diumumkan pada 4 September 1999. Kita tidak perlu berdebat. Kita taruhan saja. Kalau hasil referendum diumumkan pada Selasa, 7 September, maka Mr. Mike boleh memotong jari kelingking saya. Tapi kalau hasil referednum diumumkan pada hari Sabtu, 4 September 1999, maka jari kelingking Mr. Mike harus dipotong. Atau kalau Mr. Mike tidak rela jari kelingkingnya dipotong, cukup dengan mentraktir saya makan sepuas mungkin di restoran termahal di Bali. Bagaimana Mr. Mike? Kita deal?”

Mr. Mike tidak menanggapi ocehanku. Beliau masuk ke ruang kerjanya dengan wajah merah padam sambil membanting pintu keras-keras. Kami semua kaget. Saya mengira engsel pintu copot. Saya mendengar, sayup-sayup Beliau menelfon seseorang, dengan sebutan nama "Jeffery". Mr. Jeffery ini, kayanya orang Amerika. Berbadan tinggi besar. Beberapa kali mengunjungi TPS Renon. Sepertinya (ini dugaanku saja), Mr. Mike menelfon Mr. Jeffery untuk memastikan tanggal pengumuman hasil referendum.

Setelah selesai berbicara dengan Mr. Jeffery, Mr. Mike keluar kembali, sambil membanting pintu. Kami semua diam membisu. Saya berusaha untuk memalingkan muka. Tidak ingin menatap wajah Mr. Mike. Masalahnya yang membanting pintu adalah “Komandan kami” di TPS Renon Denpasar.

Mrs. Marilyn yang sangat akrab dengan saya, bilang; “Monteiro…! Kamu seharusnya tidak boleh memancing emosi Mike”.

Hari itu saya juga agak kaget melihat reaksi Mr. Mike. Padahal hubungan saya dengan Mr. Mike sangat bagus. Beliau sangat mempercayai saya. Kalau ada demonstran (Pro Otonomi) datang berdemo di TPS Renon, saya yang selalu diajak untuk berhadapan (berdialog) dengan demonstran.

“Monteiro….!!! There will be a big party. Are you ready?”

Setiap kali ada demosntran datang, kata-kata inilah yang selalu diucapkan Mr. Mike, sambil mengintip dari jendela untuk melihat demonstran yang mulai membludak memasuki area TPS dan berorasi, berteriak-teriak di luar, dengan wajah yang ditutupi kain. Mirip ninja. Tapi bukan Ninja Warrior.


MENGAJAK MAYOR TINAKORN MEMBELI PATUNG DEWA SIWA

Hari itu, 2 Agustus 1999, setelah bubaran (pada sore harinya), Mayor Tinakorn mengajak saya pergi ke Panjer untuk mengambil laundry (cucian). Sebagai balas jasa, pulang dari Panjer, saya mengajak Mayor Tinakorn membantu saya, mampir ke Pasar Kumbasari Denpasar untuk membeli “Patung Dewa Siwa”. Pasar Kumbasari saat ini sudah tidak ada. Pernah terbakar hebat

Pembelian Patung Dewa Siwa, adalah sebagai bentuk 'sublimasi' (pengganti) taruhan “potong jari kelingking”. Pada hari terakhir kami di Renon, Senin, 30 Agustus 1999, saya memberikan Patung Dewa Siwa ke tangan Mrs Marilyn Maison, manusia baik hati, berjiwa keibuan, yang paling akrab dengan saya. Dalam foto terlampir, Mrs. Marilyn Maison berada di urutan nomor 7.

Begitu menerima patung tersebut yang telah saya bungkus dengan rapi menggunakan kertas kado, Mrs. Marilyn berbisik ke telingaku, mengajak saya masuk ke kamar sebelah.

Saya dan Mrs. Marilyn masuk ke kamar sebelah, mengunci pintu rapat-rapat, lalu Mrs. Marilyn “ngomomg”;

“Monteiro, mungkin mereka tidak percaya dengan kata-katamu, tapi firasatku mengatakan kata-katamu kemungkinan besar akan terbukti. Pengumuman hasil referendum, bisa berubah sewaktu-waktu untuk mengantisipasi banyak kemungkinan terburuk. Karena itu, biarlah patung ini saya yang akan membawanya ke Kanada dan menyimpannya, sebagai kenang-kenangan terindah dari Bali”

Setelah berkata demikian, Mrs. Marilyn mengambil tasnya, mengeluarkan sesuatu. Ternyata beliau mengeluarkan selembar foto yang dibungkus dengan helai kain kecil warna merah. Foto tersebut rada mirip foto Raja Louis XVI beserta isterinya, Marie Antoinette dan anak mereka, Pangeran Louis XVII, yang tidak sempat naik takhta, karena kedua orang tunya, Penguasa Dinasti Bourbon, Raja Louis XVI dan isterinya Marie Antoinette keburu dipenggal saat Revolusi Perancis pecah pada abad 18.

Raja Louis XVI dipenggal dengan pisau guillontine di hadapan rakyat Perancis yang murka, pada 21 Januari 1793. Berselang 268 hari kemudian, tepatnya pada 16 Oktober 1793, isterinya Marie Antoinette, anak ke-15 hasil pernikahan Ratu Austria, Maria Theresa dan Kaisar Kekaisaran Suci Roma, Franci I, ikut dipenggal.

Paus Yohanes Paulus II, yang mengunjungi Jakarta terakhir kalinya, pada 9 Oktober 1989 dan mengunjungi Dili pada 12 Oktober 1989, terpilih tepat pada hari ulang tahun kematian Ratu Marie Antoinette ke 185 tahun (16 Oktober 1793 – 16 Oktober 1978).

Saat menerima foto itu, saya sempat bertanya kepada Mrs. Marlylin; ‘Kenapa memberikan foto ini ke saya?”

Beliau bilang; itu sebagai kenangan-kenangan. Alasan beliau memberikan foto itu ke saya, berdasarkan mimpinya yang aneh.

Berdasarkan foto pemberian Mrs. Marilyn kelahiran Kanada, 12 Desember itulah, pada 8 Juni 2018 (hari kematian Pangeran Louis XVII), enam hari sebelum pelaksanaan Piala Dunia 2018 digelar di Rusia, saya menerbitkan artikel berjudul; “TIDAK AKAN LAHIR JUARA BARU DARI RUSIA”. Dan beberapa jam sebelum Perancis bertarung dengan kuda hitam Kroasia di final (15 Juli 2018), saya menerbitkan artikel dalam bahasa Tetun (bahasa nasional Timor Leste), dan sengaja menyinggung nama Marie Antoinette dalam artikel tersebut.

Saat itu, banyak sekali “gibol” (gila bola), termasuk sejumlah pengamat bola terkenal, yakin bahwa “siklus 20 tahunan” akan kembali terulang dan Kroasia akan mengalahkan Perancis di final.Mereka berpegang pada data statistic berikut;

Tahun 1958 lahir juara baru dari Brazil.

Tahun 1978 lahir juara baru dari Argentina.

Tahun 1998 lahir juara baru dari Perancis.

Tahun 2018, dikira akan lahir juara baru dari Kroasia.

Tapi ternyata…??? Perancis mengalahkan Kroasia dengan skor 4:2. Siklus 20 tahunan terputus gara-gara thesisku yang berbunyi: “Batsyeba dan Puteri Wandan Kuning sama-sama mengandung Manusia Sabat”.

Jujur saja, saya sendiri menganggap, ini adalah thesis yang paling aneh karena “konstruksi bahasanya” yang tidak logis dan rasional.

“Bagaimana mungkin, dua wanita yang hidup pada jaman dan peradaban yang berbeda, bisa sama-sama melahirkan manusia yang sama?”. Tapi pertanyaannya adalah; “Jika thesis ini tidak memiliki kebenaran di mata Allah, kenapa siklus 20 tahunan terpotong dan gagal lahir juara baru?”

“Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah”.

Sama halnya dengan hasil pengumuman referendum, yang sebelumnya telah ditetapkan untuk diumumkan pada 7 September 1999, tetapi, entah kenapa, tiba-tiba saja UNAMET mempercepat pengumuman hasil referendum pada Hari Sabat suci, 4 September 1999, sampai-sampai fihak Pro Otonomi menuduh: “UNAMET melakukan kecurangan”.

Saya tidak tahu pasti, apakah Mrs. Marylin jadi membawa Patung Dewa Siwa ke Kanada? Atau patung tersebut ditinggal di hotel? Saya juag tidak tahu pasti, bagaimana perasaan Mr. Mike Montegano, setelah mengetahui hasil referendum dimajukan menjadi 4 September 1999.

Mungkin dalam perjalanan beliau pulang ke Kanada, dalam hatinya, beliau bergumam; “Kira-kira dari mana ‘manusia gila’ itu tahu kalau hasil referendum akan diumumkan pada 4 September? Apakah dia seorang peramal?”

Mr. Mike mungkin mengira, saya adalah seorang peramal. Padahal bukan. Saya bukan dukun ramal. Apalagi dukun cabul. Saya seorang "misticus". Tapi bukan nabi, bukan orang suci, bukan rohaniawan, bukan pastor, bukan ahli kitab suci, bukan paranormal, bukan cenayang, bukan ahli tenung dan sejenisnya.

Saya mengetahui rahasia besar itu, karena pada 3 Februari 1994, saya yang saat itu berstatus sebagai “dokter muda”, sedang menjalani stasi di Bagian Anesthesi. Hari itu, saya ditugaskan dr. Alex Suranadi (Residen Anesthesi) untuk melakukan observasi ketat terhadap pasien (pria) asal Perancis yang menjalani Operasi Laparatomy di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Saat itulah dua Malaikat menemuiku di Ruang HCU (High Care Unit) dan memintaku datang ke Bukit Sio(n) yang terletak di Kaki Gunung Ramelau, gunung tertinggi di Pulau Timor.

Kata kedua Malaikat itu, bahwa Allah yang memanggil saya, karena Allah berkenan memberkati “Program Catur Mobilisasi” yang ditolak fihak Pembina IMPETTU Bali (Kodam IX Udayana, Korem 163 Wira Satya Denpasar dan Pemda Tk. I Timor-Timur).

Akhirnya tanggal 8 Februari 1994, saya meninggalkan Denpasar menumpang pesawat Merpati Airline menuju Dili. Pada 14 Februari 1994, saya meninggalkan Dili menuju Atsabe (kota kelahiranku yang terletak sekitar 94 kilometer barat daya Dili).

Tanggal 18 Februari 1994, saya berhasil mencapai Bukit Sio(n) yang terletak di hutan belantara, di Kaki Gunung Ramelau.

Pada Minggu dini hari, 20 Februari 1994, saya dan lautan manusia, termasuk Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, mendengarkan Allah berbicara dari balik takhtaNya yang bentuknya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, sambil mengacungkan lengan kananNya tinggi-tinggi.

Saya tidak melihat wajah Allah. Saya hanya melihat sebuah lengan kanan raksasa yang teracung dari balik takhta, dengan suara yang menggelegar bagai desau air bah.

Kalimat pertama yang diucapkan Allah menggunakan Bahasa Tetun, terdiri dari 5 kata. Kata pertama dimulai dengan huruf B. Kata terakhir (kata ke-5) dimulai dengan huruh "H", yaitu "Haat". Kata "Haat" adalah Bahasa Tetun, yang artinya "Empat". Dari sinilah saya tahu kalau hasil referendum akan diumumkan pada Hari Sabat suci, 4 September 1999.

Salah satu alasan kenapa hasil referendum harus diumumkan pada Hari Sabat, 4 September 1999, karena sejatinya, sejarah Timor-Timur yang beradarah-darah, yang melibatkan Indonesia di dalamnya, adalah untuk “Merestaurasi Hukum Taurat”.

Berbicara tentang "Hukum Taurat", di dalamnya memuat tentang "Hari Sabat", yaitu “Perintah Allah” yang sengaja ditempatkan Allah di urutan ke-4, sebagaimana dapat dilihat dalam daftar 10 Perintah Allah, yang diterima Nabi Musa di Gunung Sinai. Karena Allah tidak pernah menghapus hukum Sabat. Masalahnya, Allah bukan mahkluk pemikir. 

Coba simak pesan Allah mengenai Hari Sabat sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci berikut ini;

1.     1.  "Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari Sabat-Ku harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu" (Keluaran 31:13).

2.     2.  "Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu" (Ulangan 5:12).

3.      3. "Kuduskanlah hari-hari Sabat-Ku, sehingga itu menjadi peringatan di antara Aku dan kamu, supaya orang mengetahui bahwa Akulah TUHAN, Allahmu" (Yehezkiel 20:20).

4.      4. "Imam-imamnya memperkosa hukum Taurat-Ku dan menajiskan hal-hal yang kudus bagi-Ku, mereka tidak membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, tidak mengajarkan perbedaan yang najis dengan yang tahir, mereka menutup mata terhadap hari-hari Sabat-Ku. Demikianlah Aku dinajiskan di tengah-tengah mereka" (Yehezkiel 22:26).

5.       5. "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga" (Matius 5: 17-19).

Satu kesimpulan sederhana yang bisa saya tarik dari hasil sejarah Timor-Timur yang berdarah-darah, yang harus diakhiri melalui referendum, adalah; "Bahwa referendum itu, sejatinya merupakan rancangan Allah dengan tujuan untuk meretaurasi Hukum Taurat".

Tapi yang menjadi “anomali” adalah, orang Timor Leste lebih suka mengagung-agungkan tanggal 30 Agustus, ketimbang tanggal 4 September. Ya, inilah selera manusia jaman “now”.

Semoga catatan ini bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati kita semua (Pro Otonomi dan Pro Kemerdekaan). Amen.


Sumber saduran: https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/144826880055100

 

 

Tidak ada komentar: