Artikel ini sudah pernah ditayangkan di laman face book saya, pada 12 Juni 2020. Untuk itu, bagi mereka yang sudah membacanya, bisa di-skip saja. Sementara bagi pembaca yang ingin membaca versi face book-nya, bisa diklik di link ini:
https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/270867407451046.
DIPANGGIL ALLAH KE BUKTI SIO(N) BUKAN KARENA SAYA ORANG SUCI, MELAIKAN KARENA PEOGRAM CATUR MOBILISASI
Pada hari Minggu, 18 April 1993, saya terpilih sebagai Ketua Umum Impettu Bali, menggantikan Ketua Impettu Bali ketiga, Companheiro Adolfo Fontes "Maulamas" (salah satu pendiri Renetil), asli Maliana (Atabae Aidaba Leten). IMPETTU = Ikatan Mahasiswa Pemuda Pelajar Timor-Timur.
Pemilihan
diadakan di Aula Makorem 163/Wira Satya Denpasar. Pemilihan menganut azas Luber
(langsung, umum, bebas dan rahasia) setelah 4 kandidat mengadu program melalui
perdebatan sengit di hadapan fihak militer selaku pembina dan anggota Impettu
Bali.
Tapi sayangnya, setelah terpilih, saya ditolak fihak militer (Kodam IX Udayana dan Korem 163/Wira Satya Denpasar), selaku Pembina Impettu Bali. Ada dua alasan mendasar, kenapa fihak militer menolak melantik saya;
(1). Karena saya tercatat sebagai Membru Juradu Renetil. Renetil adalah organisasi bawah tanah (klandestin) yang didirikan di Denpasar Bali, pada 20 Juni 1988, dengan tujuan utama, ikut memperjuangkan Kemerdekaan Timor Leste, dari dalam wilayah NKRI. Ini rada mirip dengan organisasi kaum muda yang didirikan Bung Hatta dan kawan-kawan di Belanda, pada jaman doeloe, untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia dari dalam wilayah Belanda sendiri.
(2). Alasan kedua, saya tidak dilantik, karena saya menolak usulan
fihak militer untuk merubah kata "CATUR" menjadi PANCA. Fihak militer
meminta saya menambahkan satu program lagi, yaitu "Wawasan
Kebangsaan". Dengan demikian, nama program saya bukan "Catur
Mobilisasi", tapi "Panca Mobilisasi". Penolakan ini cukup rasional, karena secara logika, bagaimana mungkin, seseorang yang sedang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, memiliki niat baik untuk memperjuangkan nilai-nilai yang termakdub dalam "Wawasan Kebangsaan".
Saat itu, fihak militer bekerja sama dsengan Otoritas Pemda Tk. I Timor-Timur berupaya keras, meminta saya merubah CATUR menjadi PANCA. Tapi saya "keukeuh". Akibatnya saya tidak dilantik. Fihak militer mengusulkan untuk harus dilakukan pemilihan ulang. Tapi Anggota Impettu Bali, yang sepenuhnya dikendalikan Renetil, menolak melakukan pemilu ulang. Renetil menolak pemilu ulang karena saya merupakan membru juradu Renetil. Akhirnya pemilihan ulang gagal dilakukan. Akibatnya, saya juga tidak dilantik-lantik. Maju kena, mundur apalagi, lebih kena.
Fihak militer memberi saya 'stigma' sebagai manusia yang "tidak berjiwa Pancasilais". Tapi fihak Militer tidak pernah bilang, saya manusia yang "tidak bermental Garudais".
Padahal, saya "ngotot" mempertahankan kata "CATUR", justeru
karena saya membela mati-matian "Burung Garuda" yang merupakan Lambang Pancasila. Karena dalam Alkitab (Perjanjian Lama), tertulis mengenai Garuda. Kok bisa begitu? Bagaimana ceritanya?
Penjelasannya begini:
"Para Founding Father Indonesia, termasuk kebanyakan rakyat Indonesia, tidak tahu, atau tahu tapi tidak percaya, bahwa sejatinya, Burung Garuda itu tertulis dalam dua Kitab Suci Perjanjian Lama. Salah satunya adalah Kitab Yesaya, pasal 46, ayat 11. Di dalam pasal dan ayat tersebut tertulis kata-kata "Burung Buas dari Timur".
Nah, yang dimaksud dengan "Burung Buas dari Timur"
itu sebenarnya adalah "Burung Garuda". Tapi kebanyakan, Pemimpin dan
rakyat Indonesia tidak tahu, apalagi menyadari hal ini. Walaupun belakangan,
terutama setelah Presiden Soeharto lengser, banyak Umat Muslim Indonesia, khususnya
Umat Muslim yang "kritis" (saya tidak menggunakan terminologi
"Umat Muslim radikal"), mulai menyadari hal ini dan memberikan reaksi
keras, menolak mentah-mentah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup
bangsa".
Sekedar kilas
balik singkat mengenai ideologi Pancasila. Berdasarkan sejumlah catatan
sejarah, bahwa ketika Bung Karno menemukan ideologi Pancasila, di saat Bung
Karno dibuang Belanda ke daerah yang merupakan kantong Katolik Roma, yaitu Ende
Flores NTT, selama 4 tahun, dari 1934-1938. Di sanalah Bung Karno mendapatkan
wahyu (ilham) mengenai Pancasila, yang di kemudian hari dipilih sebagai
falsafah hidup bangsa Indonesia.
Pertanyaannya
adalah kenapa justeru ide(ologi) Pancasila ditemukan di daerah kantong Katolik
Roma? Padahal yang mendapatkan wahyu adalah Bung Karno yang nota bene Muslim,
ditambah mayoritas penduduk Infonesia beragama Islam?
Jawaban
satu-satunya yang paling logis adalah, karena Burung Garuda itu tertulis di
dalam dua Kitab Suci Yahudi dan Kristen.
Misteri Angka Triple 444
Kita kembali ke
cerita "Catur Mobilisasi".
Ketika saya
ngotot mempertahankan kata "Catur", salah satu alasan hakikinya
adalah karena saya mempertahankan angka triple 444". Bukankah menurut
bahasa Sanskerta, 4 itu artinya "Catur". Angka triple 444 ini
berhubungan erat dengan pelafalan "Kitab Yesaya, pasal 46, ayat 11",
di mana tertulis kata-kata ALLAH, berbunyi: "Aku memanggil burung buas
dari timur".
Nilai numerik
dari kalimat: "Kitab Yesaya, pasal 46, ayat 11", jika dikonversikan
ke dalam bilangan dan kemudian dijumlahkan, hasilnya adalah 444.
Kitab Yesaya =
119
Pasal empat
puluh enam = 215
Ayat sebelas =
110
Total = 119 +
215 + 110 = 444.
Pertanyaannya,
"Apa hubungan antara angka triple 444 ini dengan "Sumpah Referendum
yang saya ikrarkan pada 12 Juni 1998?"
Sekarang coba Anda hitung sendiri, dari tanggal 12 Juni 1998 sampai 30 Agustus 1999, bukankah durasi waktunya adalah "444" hari? Tanggal 12 Juni 1998, tanggal di mana saya mengikrarkan Sumpah Referendum di hadapan ribuan massa demonstran yang dikepung aparat Militer Indonesia dari berbagai angkatan, dengan panser-pansernya. Ternyata setelah Sumpah Referendum diikrarkan, tepat pada hari ke 444, referendum benar-benar terlaksana pada 30 Agustus 1999. Adakah yang mengira, rentang waktu 444 ini tidak ada hubungannya dengan "Kitab Yesaya, pasal 46, ayat 11?" Jika ada orang seperti itu, maka terkutuklah manusia tersebut beserta turunannya, dari generasi ke generasi hingga mencapai "444 generasi". Anda bayangkan saja. Jika satu generasi, durasinya 40 tahun, maka berapa tahunkah, 444 generasi?
DIPANGGIL ALLAH
KE BUKIT SIO(N)
Dalam Kitab
Yesaya, pasal 46, ayat 11, tertulis firman TUHAN berbunyi begini: "Aku
memanggil burung buas dari timur".
Pada Februari
1994, saya yang saat itu menyandang status sebagai "dokter muda"
sedang menjalani stasi (praktek) di Lab Anesthesi Rumah Sakit Umum Sanglah
Denpasar Bali. Pada Kamis dini hari, 3 Februari 1994, saat saya tertidur di
Ruang HCU (High Care Unit), saat melaksanakan observasi ketat terhadap pasien
penderita peritonitis akut, post operasi laparatomy, dua Malaikat menampakkan
diri dalam mimpiku dan memintaku harus datang ke Bukit Sio(n) yang terletak di
Kaki Gunung Ramelau Timor-Timur.
Kata kedua Malaikat dalam mimpi, ALLAH memanggil saya, karena ALLAH berkenan memberkati program Catur Mobilisasi yang ditolak fihak militer.
Akhirnya pada
tanggal 8 Februari 1994, saya meninggalkan Denpasar menuju Dili, menumpang
pesawat merpati. Dan pada Jum'at petang, tanggal 18 Februari 1994, saya
mencapai Bukit Sio(n) yang terletak di Kaki Gunung Ramelau. Pada Minggu dini
hari, 20 Februari 1994, ALLAH berbicara dari balik TakhtaNya yang bentuknya
sulit digambarkan dengan kata-kata, dengan suaraNya yang menggelegar bagai
desau air bah, sambil mengangkat lengan kananNya tinggi-tinggi. Saat itu, saya
tidak melihat wajah ALLAH. Saya hanya melihat sebuah lengan kanan raksasa
muncul dari balik Takhta Agung.
Kalimat pertama
yang diucapkan ALLAH, menggunakan Bahasa Tetun, terdiri dari 5 kata. Kata pertama dimulai dengan huruf B.
Kata terakhir, dimulai dengan huruf H, yakni "Haat", yang artinya "empat" (4).
Anda bayangkan saja. Hanya gara-gara saya membuat Program Catur Mobilisasi, untuk mempertahankan kata "Catur" (4), ALLAH mengutus dua MalaikatNya memanggil saya, untuk memberkati program Catur Mobilisasi. Akhirnya setelah pemanggilan ke Bukit Sio(n), pada hari Sabat, 10 Desember 1994, di Aula Makorem 163/Wira Satya Denpasar, saya secara resmi dilantik Danrem 163/Wira Satya Denpasar, Kolonel Soentoro, seorang perwira TNI yang berhati Malaikat. Hampir semua tahanan politik Timor-Timur, mengenal baik Kolonel Soentoro sebagai orang baik.
Jika kita
menghitung dari hari saya terpilih sebagai Ketua Umum Impettu Bali, pada 18
April 1993, sampai 10 Desember 1994, hari di mana saya dilantik, jarak waktunya
adalah "601" hari. Angka 601 ini sebuah simbol yang sangat penting
karena angka 601 inilah yang mengandung dan melahirkan "Keturunan Daud".
Dan pada 12 Juni 1998, melalui Demo Deplu, saya mengikrarkan "Sumpah
Referendum" sesuai pesan ALLAH yang saya terima di Ramelau. Dan tepat pada
hari ke "444" (30 Agustus 1999), referendum benar-benar terlaksana.
Ini amat menakjubkan.
Menggugurkan New
York Agreement
Pada 5 Mei 1999,
di Markas Besar New York Amerika Serikat, PBB bersama Portugal dan Indonesia,
mencapai kesepakatan yang terkenal dengan sebutan "New York
Agreement". Berdasarkan "New York Agreement", hasil referendum
akan diumumkan pada hari Selasa, 7 September 1999. Bukan hari Sabat, 4
September 1999.
Pada Juli 1999,
saya direkrut IOM (International Organization for Migration), untuk menjalani
fungsi sebagai interpreter di TPS Renon Denpasar. Saat itu, di wilayah
Indonesia, didirikan 5 TPS, yaitu: Denpasar, Surabaya, Jogjakarta, Jakarta dan
Ujung-Pandang (kini berubah nama jadi Makassar).
Semua staf
internasional yang bertugas di 5 TPS tersebut, berasal dari Kanada. Saya tidak
tahu kenapa semuanya harus dari Kanada? Tampaknya, Kanada dipilih karena
dinilai memiliki pengalaman dalam hal referendum, karena Kanada baru saja
menyelenggarakan referendum pada 1995, untuk menyelesaikan masalah Quebeck.
Tapi supervisor utama dari 5 TPS tersebut di atas adalah orang Amerika.
Menjelang
pelaksanaan referendum, saya taruhan dengan pimpinan TPS Renon Denpasar, Mr.
Mike Montegano, warga negara Kanada, keturunan Italia. Taruhannya adalah
"potong jari kelingking". Saya mengatakan kepada Mr. Mike bahwa hasil
referendum, akan diumumkan pada hari Sabat, 4 September 1999. Bukan pada hari
Selasa, 7 September 1999, sesuai "New York Agreement". Mike marah
besar, sampai-sampai harus membanting pintu. Mike merasa saya melecehkan
ketetapan PBB, mengenai jadwal pengumuman hasil referendum.
Jika hasil
referendum diumumkan sesuai New York Agreement, yaitu 7 September 1999, maka
mereka berempat boleh membakar patung Dewa Siwa tersebut. Tapi jika ternyata,
hasil referendum diumumkan pada hari Sabat, 4 September 1999, maka mereka
berempat tidak boleh membakar patung Dewa Siwa. Lalu kami berpisah malam itu,
30 Agustus 1999.
Ternyata apa
yang terjadi? Tanpa ada angin, tanpa ada badai, tiba-tiba saja UNAMET (United
Nations Administration Mission for East Timor) yang merupakan perpanjangan
tangan PBB, mengumumkan hasil referendum pada 4 September 1999. Maka gugurlah
salah satu poin penting dari New York Agreement. Ini terjadi karena:
"ALLAH berkuasa menulis lurus dalam garis bengkok".
Pro Otonomi Murka dan Mengamuk
Tapi yang
menjadi masalah adalah: gara-gara perubahan jadwal pengumuman hasil referendum
ini, fihak Pro Otonomi murka dan mengamuk habis-habisan. Unamet dinilai sengaja
melakukan kecurangan untuk memenangkan fihak Pro Kemerdekaan. Fihak Pro Kemerdekaan
dibantai di mana-mana. Terjadilah "Setembro Negra" (September Hitam),
mewarnai sejarah Timor Leste.
Fihak Pro
Otonomi yang mengaku berjiwa Pancasilais dan bermental Garudais sampai detik
ini masih mencurigai bahwa perubahan pengumuman hasil referendum itu, sebagai
wujud konkrit kecurangan PBB-Unamet. Padahal perubahan jadwal pengumuman hasil
referendum itu, justeru ada hubungannya dengan Pancasila dan Burung Garuda.
Falsafah bangsa dan Lambang NKRI. Bahkan di kemudian hari, melalui bukunya
berjudul: "TIMOR-TIMUR: The Untold Story", yang terbit pada Januari
2013, Jenderal Kiky Syahnakri, mantan Danrem 164/Wira Dharma Dili, yang juga
mantan Pangdam IX Udayana, menuliskan ratusan kata "kecurangan" dalam
bukunya, hanya gara-gara terjadinya perubahan jadwal pengumuman hasil
referendum. Padahal, sadar atau tidak, mengetahui atau tidak, keputusan PBB dan
Unamet, bersubordinasi (tunduk dan terikat total) kepada firman TUHAN, baik
yang tertulis dalam Kitab Yesaya, pasal 46, ayat 11, maupun firman TUHAN yang diucapkan
ALLAH pada Minggu dini hari, 20 Februari 1994, saat memberkati programku:
"Catur Mobilisasi". Inilah ironi kehidupan.
1. Menjadi Ketua
Umum Impettu Bali ke 4.
2. Membuat Program untuk mempertahankan angka 4.
3. Pada 20 Februari 1994, ALLAH mengucapkan angka 4.
4. Dilantik
Kolonel Soentoro dengan nama angka 4.
5. Sumpah
Referendum terlaksana pada hari ke-444.
6. Hasil
referendum diumumkan pada angka 4.
7. Semuanya demi
Hukum Sabat, angka 4.
Melihat data dan fakta di atas, haruskah ada yang menyangkal bahwa berdirinya negara Timor Leste, tidak ada hubungannya dengan "Catur Mobilisasi?"
https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/270867407451046
Tidak ada komentar:
Posting Komentar