Pada dasarnya, ada 4 manfaat vaksinasi. Antara lain:
1. Mencegah penyebaran penyakit menular.
2. Menghemat beaya.
3. Mencegah kecacatan.
4. Memperpanjang usia (tidak cepat meninggal).
Ke-empat manfaat di atas dapat diperoleh dengan cara menaikkan imunitas tubuh. Caranya, melalui vaksinasi. Jadi intinya, tujuan vaksinasi itu adalah menaikkan imunitas tubuh atau daya tahan tubuh.
Berkaitan dengan vaksinasi untuk mencegah penyebaran penyakit Covid 19, muncul pertanyaan sederhana. Jika sudah divaksinasi, apakah sudah boleh bebas untuk tidak memakai masker? Apakah sudah boleh bebas melalang-buana kesana kemari? Sudah tidak perlu lagi memperhatikan "physical distancing" dan "social distancing?" Apakah para dokter dan paramedis yang sudah divaksinasi, sudah boleh bebas bersentuhan dengan penderita yang sedang dirawat karena Covid 19?"
Logika sederhananya adalah, orang yang sudah divaksinasi dengan vaksin virus SARS Cov-2 yang telah dilemahkan, sudah terbentuk herd immunity. Imunitas tubuh untuk melawan virus SARS Cov-2, sudah terbentuk. Tidak akan mempan terpapar oleh virus tersebut. Minimal, secara teori, seperti itu.
Tapi jika orang yang sudah divaksinasi dengan vaksin virus SARS Cov-2, diharuskan untuk tetap menjalankan protokol dasar pencegahan Covid 19, seperti: mengenakan masker, mematuhi "physical distancing, mematuhi "social distancing", dan seterusnya, dan sebagainya, lalu apa manfaat dari vaksinasi?
Pertanyaan yang mungkin paling menggoda adalah; "Adakah ahli dan juga dokter di Indonesia dan Timor Leste, yang berani memberikan jaminan, bahwa orang yang telah divaksinasi dengan vaksin SARS Cov-2 yang diproduksi oleh negara lain (China, Jerman, Inggris, Israel dan seterusnya), sudah bebas dari penyakit Covid 19?"
Seandaianya, tidak ada satu ahli pun dan atau tidak ada satu dokter pun, entah di Indonesia atau di Timor Leste, berani memberikan jaminan bahwa orang yang sudah divaksinasi dengan vaksin SARS Cov-2, sudah bebas dari penyakit Covid 19, maka kesimpulan saya adalah; "kita semua berada dalam sikon ambigu". Karena bukan kita (Indonesia dan Timor Leste) yang memproduksi vaksin SARS Cov-2. Itu artinya, tuan dari vaksin SARS Cov-2, bukan Indonesia dan Timor Leste. Karena status kita (Indonesia dan Timor Leste), hanyalah sebagai "pengguna alias pemakai". Masalah manjur, tokcer atau tidak, sejauh tidak ada data statistik uji klinis yang pasti, maka membeli vaksin SARS Cov-2, ibarat membeli kucing dalam karung.
Pada tataran ilmiah, siapapun ahlinya, jika ingin membahas mengenai kekuatan pencegahan sebuah vaksin, termasuk vaksin SARS Cov-2, wajib hukumnya, harus berdasarkan hal-hal empiris. Yang namanya empiris(me) itu, harus berdasarkan data dan fakta statistik. Seorang ahli, tidak dibenarkan asal main asbak (asal tebak) atau main terompet asbun (asal bunyi).
Sekadar bahan diskusi kita, saya mencoba mengambil data statistik dari Brazil. Berdasarkan hasil uji klinis di Brazil terhadap vaksin produk China, hasilnya menunjukkan bahwa kekuatan atau daya cegah vaksin produk China terhadap penyakit Covid 19, hanya berada di level 50,4%.
Apa makna dari angka 50,4%? Artinya, jika Indonesia dan Timor Leste, memutuskan untuk menggunakan vaksin produk China, maka level "herd immunity" (imunitas tubuh) yang paling maximal yang bisa dimiliki oleh seseorang yang mendapat vaksinasi dari vaksin produk China, hanya bisa mencapai level 50,4%. Tidak bisa 100%. Karena masih tersisa peluang sebesar 49,% bagi orang yang telah mendapat vaksinasi untuk terkontaminasi virus SARS Cov-2, dan kemudian menderita penyakit Covid 19. Apalagi mereka yang memiliki "Comorbid" (penyakit penyerta lainnya).
Maka kembali kepada dua kelompok pertanyaan saya di atas (1. Apakah orang yang sudah mendapat vaksin, boleh mengabaikan protokol basik pencegahan Covid 19? 2. Adakah ahli atau dokter di Indonesia dan Timor Leste yang menjamin bahwa orang yang sudah divaksinasi dengan vaksin SARS Cov-2, kebal terhadap penyakit Covid 19?), saya yakin, tidak ada satu orang pun yang berani memberikan jaminan. Kalau tidak ada yang bisa memberi jaminan, apa tujuan vaksinasi? Sekedar gembling? Mengadu keberuntungan?
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil observasi saya terhadap produk vaksin SARS Cov-2, dapat saya katakan;
1. Uji klinis vaksin SARS Cov-2, dari azas keilmuan, belum memenuhi standar elementer, untuk dilempar ke pasar. Tapi kenapa buru-buru dilempar ke pasar seperti terjadi saat ini? Karena negara-negara besar yang memproduksi vaksin SARS Cov-2, lebih mengutamakan keuntungan ekonomi, mengutamakan martabat mereka sebagai negara besar, ketimbang memprioritaskan keselamatan klien yang akan menggunakan produk mereka.
2. Mereka sengaja atau tidak, sedang memanfaatkan negara-negara berkembang yang lagi dilanda "gegana" (gelisah-galau dan merana) gara-gara serangan Covid 19, untuk meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Apalagi Indonesia, memiliki jumlah populasi penduduk yang sangat besar (nomor 4 di dunia), di mana Pemerintah Indonesia menargetkan 70% warganya (180 juta penduduk) untuk harus divaksinasi. Tentunya ini akan menjadi lahan basah yang amat menguntungkan.
3. Dengan demikian, siapapun kita, yang menggunakan vaksin China, maaf, termasuk Yang Mulia Presiden Republik Indonesia, Bapak Muhammad Insinyur Joko Widodo, sadar atau tidak, sedang dijadikan "kelinci percobaan" bagi negara-negara besar untuk menguji kekuatan vaksin produk mereka.
4. Uji klinis yang sesungguhnya, baru sedang dimulai. Bukan sudah dilakukan. Nantinya, setelah penggunaan vaksin secara besar-besaran terjadi, lalu dari situ, akan dijadikan sebagai materi evaluasi untuk mengadakan perbaikan di sana-sini.
SARAN
Saran ini saya tujukan secara khusus kepada Pemerintah Timor Leste;
1. Sampai detik ini, sampai artikel ini ditulis, Timor Leste baru mencatat 40-an kasus Covid 19. Dan semua kasus yang positif, semuanya adalah "imported cases" (kasus-kasus impor, khususnya yang berasal dari Indonesia). Itu artinya, belum terjadi "community transmission". Alias belum terjadi transmisi di masyarakat. Dan puji TUHAN YESUS, sampai detik ini, di kawasan Asia Tenggara, hanya Timor Leste dan Laos, yang belum satu kalipun mencatat CFR (Case Fatality Rate). Karena CFR masih nol, maka itu artinya, metode pencegahan yang selama ini telah dijalankan pemerintah Timor Leste, berada pada jalur yang benar. Untuk itu, sebaiknya, bahkan seharusnya, metode ini harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Terutama mencegah terjadinya "illegal crosser" (pelintas batas ilegal), yang berasal dari Indonesia. Karena sumber penularan yang paling mengancam, hanya berasal dari Indonesia. Maka dipandang perlunya perketat pengawasan di perbatasan. Sementara rencana untuk dilakjukan vaksin SARS Cov-2 di Timor Leste, sebaiknya jangan terlalu terburu-buru. Logika simpelnya adalah; "Jika metode pencegahan yang selama ini dijalankan, sudah bisa mencapai angka nol CFR, lalu untuk apa negara terburu-buru membuang-buang tenaga, waktu dan dana untuk membeli vaksin dari China, sementara berdasarkan data statistik, level pencegahan vaksin itu sendiri masih questionable?
2. SARS Cov-2 tipe lama telah mengalami mutasi gen dan muncul tipe baru, alias tipe UK (United Kingdom), berdasarkan penelitian di Inggris? Kalau tidak percaya, coba baca berita ini: Could New SARS-CoV-2 Variants Undermine COVID
Vaccines? Klik di link berikut ini:
https://www.criver.com/eureka/could-new-sars-cov-2-variants-undermine-covid-vaccines
Kalau ternyata vaksin yang sekarang diproduksi tidak mempan terhadap virus SARS Cov-2 tipe UK, lalu China kembali menciptakan vaksin baru untuk menghadapi virus SARS Cov-2 tipe UK, berarti kita harus 2X membeli vaksin??? Ingat...!!! Timor Leste bukan negara kaya raya.
3. Jika Pemerintah Timor Leste memutuskan untuk harus melakukan vaksinasi di Timor Leste pada bulan Juni 2021, sebagaimana telah direncanakan, maka sebagai wujud tanggung-jawab moral; tahap pertama vaksinasi, wajib hukumnya, harus dimulai dari para pejabat negara, para dokter dan paramedis. Jika tahap pertama, para pejabat dan otoritas kesehatan selamat, berarti negara aman. Jika gugur, berarti rakyat selamat. Setelah tahap pertama aman-aman saja, baru dijadwalkan vaksinasi tahap selanjutnya untuk masyarakat umum.Harap jangan abaikan pernyataan pejabat Indonesia, yang menolak untuk divaksinasi dengan vaksin Sinovac dari China. Ibu Ribka Tjiptaning, Anggota DPR RI Fraksi IX dari PDIP bilang; Vaksin Sinovac Barang Rongsokan Dari China. Tidak percaya, silahkan klik di bawah ini:
4. Keberanian Presiden Jokowi, wajib ditiru. Beliau bukan hanya berjanji. Tapi berani menunjukkan bukti. Presiden Jokowi telah divaksinasi pada 13 Januari 2021. Silahkan baca berita ini:
Media Asing Ramai-ramai Beritakan Jokowi Divaksin
COVID-19. Klik di link yang ada di bawah ini;
Mengapa harus dimulai dari pejabat negara dan otoritas kesehatan? Karena berdasarkan data statistik, di Timor Leste, kasusnya minim sekali, baru 40-an kasus positif, itupun semuanya kasus-kasus import, dan terlebih lagi, belum ada kematian yang disebabkan Covid 19. Jika realitasnya seperti itu, lalu untuk apa terburu-buru membuang-buang waktu, tenaga, dan terutama dana, untuk melakukan vaksinasi, dengan vaksin yang daya cegahnya masih diragukan? Jangan mengira, berurusan dengan China itu, semuanya gratis. Hati-hati...!!! Tidak ada yang gratis dari China. Karena itu bukan budaya dan karakter Orang China. Untuk pernyataan ini, saya wajib minta maaf kepada sahabat karibku, dr. Sam dan dr. Domingos Alves.
Tulisan ini disusun oleh Tim Timor Leste Health Advocacy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar