SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Senin, 30 November 2020

SEJARAH HARUS TETAP DIKENANG WALAU SEPAHIT APAPUN (Kenangan Mengenai Deklarasi Balibo 30 November 1975)

 
Pengantar Singkat
 
Orang bijak bilang; "Di jagat raya ini, segala sesuatu terjadi karena ada alasannya masing-masing". Dalam bukunya yang berjudul: "DE ORATORE", Cicero (ahli hukum dan orator ulung Romawi Kuno) berkata; "Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis" (Sejarah merupakan saksi jaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu).
 
Hari ini, 30 November 2020, merupakan hari ulang tahun "Deklarasi Balibo" ke-45. Berikut ini, saya tampilkan catatan mengenai Deklarasi Balibo, yang amat terkenal itu.
 
DEKLARASI BALIBO
 
Belum lengkap sehari setelah Deklarasi Kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste RDTL pada 28 November 1975 pukul 10 malam, beberapa jam kemudian, tim BAKIN (Badan Intelejen Negara) yang berada di Bali, terkejut. Intelejens BAKIN kedodoran, gagal mendeteksi lebih awal. Malam itu, Tim BAKIN di bawah pimpinan Kol. A. Sugiyanto dan Louis Taolin, bersama sejumlah tokoh Timor Timur, berada di Hotel Bali Beach, Denpasar Bali. 
 
“Kami berada di Bali untuk belajar (tentang integrasi). Pada
tanggal 29 November itu tiba-tiba Pak Soegiyanto memanggil kami semua,” cerita Ketua Partai Apodeti (kelak Gubernur kedua propinsi ke 27 Timor Timur), Guilherme Maria Goncalves kepada Radio Nederland (Dili 1995). 
 
“Pagi itu, kami tiba-tiba dibangunkan. Mario (Carrascalao), saya dan yang lain keluar kamar, masih dengan piyama, dan diberitahu kabar (Fretilin telah mengumumkan kemerdekaan),” Jose Martins mengenang kembali, kepada Radio Nederland di Lisbon pada 1992. Kontan naskah Deklarasi Integrasi segera disiapkan hari itu juga. Tempat dan tanggal yang tertera di draft harus diubah. 
 
Seorang staf BAKIN berseru “Tulis Bali (tanggal sekian)”, tapi dengan tangkas dia sendiri cepat mengoreksi: “Tulis Bali .. bo! Tulis ‘Balibo’!”. Balibo adalah kota di Distrik Bobonaro di wilayah Tim-Tim. (Maka lahirlah apa yang kemudian disebut “Deklarasi Balibo” yang menyepakati integrasi Timor Timur ke dalam R.I. yg sebenarnya dirancang di Denpasar, Bali. Di masa tegang yang mengawali kemelut Tim-Tim itu tidak ada satu pun saksi, foto, atau dokumen yang membuktikan bahwa deklarasi tersebut pernah disepakati di wilayah Timor Timur. Andaikata benar ada kesepakatan semacam itu di Timor Timur, mengapa kemudian tentara Indonesia harus berperang bertahun-tahun di sana? Sejak itu pula deklarasi tersebut dikenal sebagai “Deklarasi Bali Bohong”.
 
“Tim -Tim itu ibarat gatal-gatal di ketiak”
 
BAKIN adalah sayap intelejens militer tahun 1970an di bawah Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Tipu daya merekayasa politik ini khas arsiteknya, Brigjen. Ali Moertopo. Adalah Moertopo dan pentolan2 CSIS yg merekayasa Pepera di Irian Barat untuk memaksakan Papuaan masuk dalam wilayah R.I. pada 1969. 
 
Kemudian, sebagai Aspri (asisten pribadi presiden) Ali, sejak Revolusi Mawar 1974 di Portugal, yang hendak mendekolonisasi jajahan-jajahan Portugal, bertandang ke Lisbon, untuk membujuk Portugal agar Tim-Tim diproses masuk ke dalam wlayah R.I. Jenderal arsitek Orde Baru ini sejak mula berpikir strategis. Pada 1974 Ali Moertopo sempat mengenang pengalamannya dalam Operasi Mandala 1963 di bawah pimpinan Mayjen. Soeharto untuk membebaskan Irian Barat. Saat itu, Ali merenung tentang Timor jajahan Portugal. 
 
“Timor Timur itu ibarat gatal2 di ketiak,” katanya. “East Timor is a security risk. It’s itching our (Indonesia’s) armpit,” katanya di muka pers dunia seperti dicatat oleh wartawan Antara, belakangan wartawan Radio Nederland, Lodewijk Pattiradjawane. Karena itu, Timor harus sekaligus direbut bersama Irian Barat menjadi bagian dari R.I., tapi usul Ali ini ditolak Soeharto. 
 
“Deklarasi Balibo” akhirnya diumumkan esok harinya, 30 November 1975, ditandatangani enam tokoh Timor Timur (lihat bawah). Dalam buku semi-resmi “Integrasi. Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur” (Nov. 1976), deklarasi tsb disebut “Proklamasi Integrasi.” (lihat foto2).
 
Jose Martins Jr yang menceritakan kisah Deklarasi Balibo tersebut adalah wakil Partai Kota, putra Liurai Raja Atsabe, yang sejak 1974 mengelola Radio Atambua bersama staf Ali Moertopo. Belakangan, di New York, dia membelot ketika ikut Delegasi R.I. membela posisi R.I. di PBB. Pada 1997 dia kembali mendekati R.I. dan menjelang 17 Agustus 1997, Martins diundang Menlu Ali Alatas untuk menghadiri perayaan Hari Kemerdekaan R.I. Terbang dgn KLM dari Amsterdam, setiba di Jakarta Martins meninggal secara misterius. Dokumen-dokumen yang dibawanya sirna. Catatan berikut semula terbit di The Jakarta Post 3 Des. 1999.
 
Friday, 03 Dec 1999 The Balibo Declaration revisited By Aboeprijadi Santoso AMSTERDAM (JP): With the recent visit of East Timorese leader Jose Alexandre "Xanana" Gusmao to Jakarta to meet his old friend President Abdurrahman Wahid, or Gus Dur, the two leaders have begun a new relationship between Indonesia and Timor Lorosae. 
 
Only a few weeks ago the two men -- Gus Dur and Gusmao -- were partners and opposition leaders in Jakarta. With democracy hopefully starting to flourish in the country, the time has come for the two nations to reflect on past mistakes. But some mistakes may be harder to forget and forgive than others. One such mistake, no doubt, is the killings, rampage and mass deportations by Army-backed militias last September which marked the end of the Indonesian era in East Timor. Another would be Indonesia's invasion of East Timor on Dec. 7, 1975, which started the conflict.
 
Twenty-four years on, it is still overshadowed by the much celebrated event a week earlier which served to justify the invasion, i.e. the so-called Balibo Declaration in which four East Timorese political parties, allegedly representing the people and expressing their wishes, called for integration with Indonesia. 
 
The declaration shaped the basis to legitimize the 1976 annexation of the former Portuguese colony. Soeharto's New Order propaganda machine was so pervasive that few doubt the invasion's validity. It has been taken for granted for decades that the "integration" of East Timor into Indonesia was 
 politically.
 

Tidak ada komentar: