SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Senin, 30 Januari 2023

JANUARI DI PULAU BALI (Seorang Dokter Hukumnya Wajib Harus Selalu Menyimpan Epinephrine Dalam Kantong Kemanapun Pergi)


Oleh: Rama Cristo.

A. Prefasi

Judul artikel ini (Januari Di Pulau Bali), terdengar rada mirip dengan lagu: "Januari Di Kota Dili" yang dinyanyikan Mbak Rita Efendi. Hari ini 30 Januari, jatuh pada Hari Senin. Pada 28 tahun lalu, tepatnya 30 Januari 1995, juga jatuh pada hari Senen. Ada satu kejadian menarik, yang membuat saya selalu ingat tanggal 30 Januari. Karena itulah, saya menuslikan artikel ini.

B. Kisah Mengenai Dokter WS (Ahli Anestesi) Yang Baik Hati

Pada jamanku, di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) Bali, ada seorang dosen senior (Ahli Anestesi), berinisial WS, yang sangat disegani (bahkan ditakuti) oleh para mahasiswa FK Unud. Beliau orangnya sangat tegas. Tidak suka main-main. Tidak suka bergurau. Karena itulah, mahasiswa jadi segan sama Beliau. Satu-satunya Koas yang mampu membuat hati Dokter WS luluh adalah seniorku dr. Antonio Gusmao, yang saat ini berkarya di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares Dili, sebagai seorang Internist (Ahli Penyakit Dalam). Spesialisasi Internist-nya diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Jawa Barat. Jaman saya menjadi mahasiswa FK Unud (adik angkatan dari dr. Antonio Gusmao), saya tahu kalau dr. Antonio menjadi anak emas (anak angkatnya) Dokter WS.

FYI (For Your Information):

Pendidikan di FK Unud Bali, ada dua Jenjang, yaitu, Jenjang Pendidikan Sarjana Kedokteran (S1), dan Jenjang Pendidikan Profesi Dokter. Untuk memasuki Jenjang Pendidikan Profesi Dokter, kita harus lebih dulu menyelesaikan Pendidikan di tingkat Sarjana Kedokteran (S1), yang membutuhkan waktu paling cepat, 4 tahun. Tidak bisa kurang dari 4 tahun, karena paketnya seperti itu. Ada yang bahkan bisa molor sampai 5 atau 6 tahun, sebelum memasuki Jenjang Pendidikan Profesi Dokter. Untungnya, tapi bukan karena pintarnya, saya membutuhkan 4 tahun aja.

Saya angkatan 1989. Angkatanku dinamakan Angkatan Lecith (Putih Telur). Setiap angkatan memiliki nama khusus. Misalnya angkatan 1987, yaitu angkatannya Prof. dr. Joao Soares Martins, MPH.,PhD, yang saat ini menjabat sebagai Rektor UNTL (Universidade Nacional Timor Lorosa'e), dinamakan Angkatan Trochanter (Ujung Tulang Paha).

Saya menyelesaikan Pendidikan Sarjana Kedokteran tahun 1993. Karena itulah di ijazahku, ada angka 93. Nomor seri ijazahku adalah "82 Sked 93". Angka 93 ini merupakan nilai numerik Latin dari frase FRETILIN (F=6, R=18, E=5, T=20, I=9, L=12, I=9, N=14). Jika ditotal: 6+18+5+20+9+12+9+14 = 93. Jangan-jangan saya menyinggung FRETILIN dalam artikel ini, adalah sebagai tanda alam (simbol pesan), bahwa FRETILIN akan memenangkan Pemilihan Parlamen Timor Leste 2023. Nobody knows. Only GOD knows.

Jadi sejatinya, Pendidikan Profesi Dokter itu, sama saja dengan Pendidikan Pascasarjana. Pendidikan Profesi Dokter, membutuhkan waktu paling cepat sekitar 3 tahunan. Itupun kalau semua ujian kita lulus dengan lancar. Jika macet, bisa membutuhkan waktu 4 atau 5 tahun, baru lulus jadi dokter. Padahal Pendidikan Master (S2), hanya butuh 2 tahun. Jadi, untuk menjadi seorang dokter di FK Unud Bali, membutuhkan waktu paling cepat 7 tahun. Ada yang harus membutuhkan waktu 10 tahunan.

Saat seorang dokter muda menjalani praktek di Lab Anestesi RSUP Sanglah Denpasar, ada ujian yang dinamakan ujian utama, yaitu ujian yang dijalani para dokter muda di akhir siklus saat koskap di Lab Anestesi. Ujian utama ini, dijalani secara lisan. Bukan ujian tulis. Setiap dokter muda, akan diuji langsung oleh seorang Dokter Ahli.

Nah, ujian utama di Lab Anestesi RSUP Sanglah Denpasar, dokter muda yang mendapat jatah diuji oleh Dokter WS, sudah stress duluan sebelum maju ujian. Biasanya, untuk mengetahui, kita akan diuji sama Dokter Ahli Anestesi yang mana, akan dilakukan melalui penarikan undian. Untungnya saat saya praktek di Lab Anestesi (barengan sama Dokter Sahadewa, Kakak tingkatku yang saat ini menyandang status Dokter Ahli, Sp.OG), ada satu temanku sangat smart, berasal dari Mataram NTB, bernama Agus Setyawan, yang berani memilih dokter WS, tanpa harus diundi. Dengan demikian, kami yang akan menarik undian ujian utama, tidak lagi sport jantung karena Dokter WS sudah diambil Agus Setyawan.

Dokter muda yang mendapat jatah diuji Dokter WS, setelah menjalani Ujian Praktek di OK (Ruang Operasi) saat Operasi pasien berlangsung, setelah itu akan diteruskan dengan Ujian Teori yang berlangsung di ruang kerja Dokter WS. Begitu dokter muda memasuki ruang kerja Dokter WS, biasanya Dokter WS sudah menunggu di sana, dengan sejumlah text book tebal yang diletakkan di hadapannya. Melihat text book tebal yang menumpuk di meja Dokter WS, jika dokter mudanya tidak siap mental, maka bisa-bisa semua ilmu yang sudah ada di kepala akan menguap duluan sebelum Dokter WS mengajukan pertanyaan.

"Silahkan duduk dik". Ini adalah kalimat sapaan yang biasa diucapkan Dokter WS saat seorang dokter muda memasuki ruang kerjanya untuk menjalani ujian. Setelah duduk, Dokter WS akan mengambil salah satu text book tebal di hadapannya dan mulai buka sana-sini, mencari pertanyaan yang akan diajukan. Atau kadang Dokter WS tidak membuka text book, tetapi langsung mengajukan pertanyaan.

Nah, saat dua atau tiga pertanyaan pertama tidak bisa kita jawab, maka sebelah kaki Dokter WS mulai perlahan diangkat ke atas. Jika pertanyaan berikutnya tetap tidak bisa kita jawab, maka Dokter WS akan meletakkan salah satu kakinya di atas meja. Jika ini terjadi, maka itu artinya, nilai tertinggi yang kita peroleh saat itu adalah D. Alias tidak lulus. Karena untuk lulus, minimal harus C.

Tiba di titik ini, ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Langsung minta maaf ke Dokter WS dan meninggalkan ruang ujian, untuk di kemudian hari, kembali ke Lab Anestesi pada siklus berikutnya, atau kita boleh memilih untuk nekat tetap duduk di sana, mengadu keberuntungan. Siapa tahu, pada pertanyaan berikutnya, kita bisa menjawab. Jika kita tetap duduk di sana untuk menunggu pertanyaan berikutnya, dan jika kita berhasil menjawab pertanyaan berikutnya, maka sebelah kakinya yang tadi sudah berada di atas meja, akan diturunkan kembali. Tapi jika kita tidak bisa menjawab satu saja pertanyaan berikutnya, maka Dokter WS akan langsung meletakkan kedua kakinya di atas meja. Jika ini yang terjadi, maka itu artinya, ujian kita telah berakhir. Dan nilai kita adalah E. Ini lampu merah. Kita sebaiknya bilang; 'Maaf Dok, saya belum siap. Saya akan kembali pada siklus berikutnya".

Dan Dokter WS akan bilang; "Ya sudah, belajar lagi ya dik". Lalu kita meninggalkan ruang ujian dengan perasaan GEGANA (Gelisah- Galau dan Merana).


C. Kejadian 30 Januari 1995

Pada tanggal 30 Januari 1995, saya yang saat itu praktek di Lab Bedah, menghadiri Operasi yang akan berlangsung hari itu. Saat itu, ada temanku satu angkatan (kami sama-sama Angkatan Lecith), berinisial WS, yang sedang menjalani praktek di Lab Anestesi dan menghadapi ujian hari itu. Kebetulan Dosen Pengujinya adalah Dokter WS. Jadi Dokter WS menguji mahasiswa yang juga berinisial WS. Keduanya memiliki kesamaan di nama W, tetapi berbeda di nama S. Sebelum memasuki Ruang Operasi, saya sempat ngobrol dengan WS di ruang perawatan. Kebetulan saat itu WS sedang mempersiapkan pasiennya, termasuk melakukan pramedikasi terhadap pasiennya yang akan digunakan sebagai bahan ujian.

Saat operasi tiba, semua Ahli Bedah, para dokter muda yang praktek di Lab Bedah (termasuk saya di dalamnya) dan juga para Perawat Bedah, sudah berada di ruang operasi. Selain itu, ada Ahli Anestesi, ada dokter muda yang sedang praktek di Lab Anestesi (termasuk temanku WS yang hari itu ujian), dan juga ada Perawat Anestesi sudah siap di ruang operasi. Sementara Dokter Alex Suranadi, satu-satunya Residen Anestesi jaman itu, tidak terlihat di ruang operasi. Mungkin Beliau sedang ada kegiatan di ruangan lain.

Sekedar info: Di ruang operasi, ada pembagian area yang dinamakan area 0, area 1, area 2, dan area 3 (radius terjauh dari pasien yang sedang berbaring di atas meja operasi). Kami tim dari Bedah, menunggu orang-orang Anestesi bekerja lebih dulu membius pasien, baru kami tim Bedah beraksi.

Saat itu, saya melihat temanku WS dan Dokter WS sebagai Dosen Penguji, berada di area 0. Temanku WS mulai menyuntikkan Obat Anestesi yang dinamakan Ketalar (Ketamin HCL), melalui wing needle yang terpasang di lengan pasien. Temanku WS terus mendorong obat masuk ke wing needle, tetapi tanpa melihat pasien. WS fokus melihat ke obat yang sedang disuntikkan. Lalu tiba-tiba Dokter WS bertanya dengan nada suara tinggi:

"Obat apa yang kamu pakai?"

Temanku WS menjawab: "Ketalar, Dok".

Dokter WS meneruskan bertanya:

"Kalau kamu suntik Ketalar, resiko apa yang kemungkinan terjadi pada pasien?"

Temanku WS menjawab: "Apnue, Dok".

"Kalau begitu, di saat kamu menyuntik Ketalar, yang harus kamu perhatikan adalah pasiennya. Bukan obatnya yang kamu pelototin".

Suara Dokter WS makin meninggi. Temanku WS mulai gugup dan panik. Saya tahu betul WS. Orangnya gugupan dan panikan. Keringat dingin mulai deras mengalir. Padahal ruang operasi sangat-sangat dingin. Bisa dimaklumi. Temanku WS berada di bawah tekanan tinggi. Ada banyak orang di ruangan itu.

Karena diminta harus melihat pasien, maka temanku WS yang tadinya fokus melihat ke obat, kini pandangannya beralih dari obat ke pasien, tetapi tangannya terus mendorong obat ke wing needle.

Tiba-tiba Dokter WS kembali bertanya dengan nada tinggi.

"Berapa CC yang kamu suntik?"

Pada saat itu, semua obat yang ada di dalam spoit, telah disuntikkan ke dalam wing needle. Maka WS menjawab gugup.

"Waduh habis dok. Obatnya kesuntik semuanya".

"Ya, berapa CC yang kamu suntik?" Nada suaranya makin kencang.

Temanku WS makin gugup. Lalu jarum suntik di tangannya terlepas, jatuh ke kolong meja operasi. Seharusnya saat itu temanku WS tidak perlu membungkuk untuk mencoba memungut jarum suntik yang telah jatuh ke lantai. Karena salah satu aspek penting di ruang operasi adalah "sterilitas" (suci hama). Apalagi di area 0. Tangan yang sudah menyentuh lantai, jangan sampai terkena ke selang yang terpasang di tubuh pasien, apalagi terkena ke tubuh pasien. Sangat berbahaya kalau terjadi transmisi kuman. Bisa muncul sepsis, yang sangat mengancam nyawa pasien.

Temanku WS nungging sana, nungging sini, mencari jarum suntik yang jatuh, tetapi gagal menemukannya, karena sudah keburu diambil Perawat Anestesi yang berdiri tepat di belakangnya. Maka begitu temanku WS berdiri tegak kembali, Dokter WS mulai murka. Tangannya mencabut semua selang, termasuk selang infus yang terpasang di tubuh pasien dan melemparkannya ke tembok, lalu berjalan keluar meninggalkan ruang operasi. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba pada saat yang bersamaan, muncul lah dr. Alex Suranadi, satu-satunya Residen Anestesi di RSUP Sanglah Denpasar jaman itu. Saat itu, dr. Alex Suranadi, dibantu sejumlah Perawat Anestesi, langsung mengambil alih semuanya.

Intermezzo: Dokter Alex Suranadi memilih melanjutkan Pendidikan Spesialisasinya di Anestesi, karena konon, saat masih menjadi koas, ketika menjalani praktek di Lab Anestesi, dr. Alex Suranadi berani melakukan tindakan BSA (Block Spinal Anestesi), salah satu jenis tindakan anestesi, yang memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan karenanya, para koas tidak berani melakukannya. Tapi dr. Alex Suranadi berani melakukannya. Karena itulah banyak Dokter Spesialisasi Anestesi di RSUP Sanglah, menganjurkan dr. Alex Suranadi untuk mengambil Spesialisasi Anestesi.

Pada hari pertama menjalani praktek di Lab Anestesi, saya dan temanku Zeto (Jose Antonio Gusmao Guterres, teman satu angkatan yang kini menyandang status Dokter Spesialis Kebidanan & Kandungan), mengira dr. Alex Suranadi adalah seorang perawat. Tubuhnya kurus kering, karena pekerjaannya sebagai seorang Residen Anestesi, jarang tidur, dan harus mengcover semua operasi di RSUP Sanglah Denpasar. Baru lah pada hari kedua, saya dan Zeto tahu kalau orang ceking itu adalah seorang Residen. Residen itu adalah sebutan untuk seorang Dokter Umum yang sedang melanjutkan Pendidikan Dokter Spesialis. Di kemudian hari, dr. Alex Suranadi yang merupakan tamatan dari Perancis ini, menjadi Ahli Anestesi andalan RSUP Sanglah Denpasar. Pernah menjuarai Lomba yang diikuti para Ahli Anestesi Seluruh Indonesia. Orangnya sangat smart dan skillful.

D. Harus Selalu Membawa Epinefrine Kemanapun Pergi

Saya mengakhiri kisah: Januari di Pulau Bali ini, dengan meneruskan pesan Dokter WS yang amat penting. Dokter WS selalu mengingatkan kami. Selama kalian menjadi dokter, kemana pun kalian pergi, jangan lupa untuk selalu membawa Epinefrine (Adrenalin) dalam kantong kalian. Obat apapun yang kalian suntikkan ke pasien, entah sekedar Vitamin, apalagi obat-obatan Antibiotika, pastikan bahwa di kantong kalian sudah tersedia Epinefrine. Karena kita tidak pernah tahu, apa reaksi pasien terhadap semua jenis zat yang kita masukkan ke tubuh mereka. Dengan demikian, jika terjadi keadaan emergency, misalnya pasien mengalami Reaksi Syok Anafilakasis, kalian sudah menyediakan antidotnya. Jika tidak maka nyawa pasien tidak akan tertolong hanya karena kalian lupa membawa Epinephrine.

Semoga catatan ini bermanfaat. Terima-kasih bagi mereka yang sudah bersedia membaca kisah Januari ini sampai kata terakhir.

TUHAN YESUS memberkati kita semua (hitam & putih). Amen.

Catatan Kaki:

Gambar yang saya lampirkan dalam artikel ini, diambil dari google.

Tidak ada komentar: