Oleh: Rama Cristo.
A. Prefasi
Judul artikel ini (Januari Di Pulau Bali), terdengar rada mirip dengan lagu: "Januari Di Kota Dili" yang dinyanyikan Mbak Rita Efendi. Hari ini 30 Januari, jatuh pada Hari Senin. Pada 28 tahun lalu, tepatnya 30 Januari 1995, juga jatuh pada hari Senen. Ada satu kejadian menarik, yang membuat saya selalu ingat tanggal 30 Januari. Karena itulah, saya menuslikan artikel ini.
B. Kisah Mengenai Dokter WS (Ahli Anestesi) Yang Baik Hati
Pada jamanku, di
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) Bali, ada seorang dosen
senior (Ahli Anestesi), berinisial WS, yang sangat disegani (bahkan ditakuti)
oleh para mahasiswa FK Unud. Beliau orangnya sangat tegas. Tidak suka
main-main. Tidak suka bergurau. Karena itulah, mahasiswa jadi segan sama
Beliau. Satu-satunya Koas yang mampu membuat hati Dokter WS luluh adalah
seniorku dr. Antonio Gusmao, yang saat ini berkarya di Rumah Sakit Nasional
Guido Valadares Dili, sebagai seorang Internist (Ahli Penyakit Dalam).
Spesialisasi Internist-nya diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung Jawa Barat. Jaman saya menjadi mahasiswa FK Unud
(adik angkatan dari dr. Antonio Gusmao), saya tahu kalau dr. Antonio menjadi
anak emas (anak angkatnya) Dokter WS.
FYI (For Your Information):
Pendidikan di FK Unud
Bali, ada dua Jenjang, yaitu, Jenjang Pendidikan Sarjana Kedokteran (S1), dan
Jenjang Pendidikan Profesi Dokter. Untuk memasuki Jenjang Pendidikan Profesi
Dokter, kita harus lebih dulu menyelesaikan Pendidikan di tingkat Sarjana
Kedokteran (S1), yang membutuhkan waktu paling cepat, 4 tahun. Tidak bisa
kurang dari 4 tahun, karena paketnya seperti itu. Ada yang bahkan bisa molor
sampai 5 atau 6 tahun, sebelum memasuki Jenjang Pendidikan Profesi Dokter.
Untungnya, tapi bukan karena pintarnya, saya membutuhkan 4 tahun aja.
Saya angkatan 1989.
Angkatanku dinamakan Angkatan Lecith (Putih Telur). Setiap angkatan memiliki
nama khusus. Misalnya angkatan 1987, yaitu angkatannya Prof. dr. Joao Soares
Martins, MPH.,PhD, yang saat ini menjabat sebagai Rektor UNTL (Universidade
Nacional Timor Lorosa'e), dinamakan Angkatan Trochanter (Ujung Tulang Paha).
Saya menyelesaikan
Pendidikan Sarjana Kedokteran tahun 1993. Karena itulah di ijazahku, ada angka
93. Nomor seri ijazahku adalah "82 Sked 93". Angka 93 ini merupakan
nilai numerik Latin dari frase FRETILIN (F=6, R=18, E=5, T=20, I=9, L=12, I=9,
N=14). Jika ditotal: 6+18+5+20+9+12+9+14 = 93. Jangan-jangan saya menyinggung
FRETILIN dalam artikel ini, adalah sebagai tanda alam (simbol pesan), bahwa
FRETILIN akan memenangkan Pemilihan Parlamen Timor Leste 2023. Nobody knows.
Only GOD knows.
Jadi sejatinya,
Pendidikan Profesi Dokter itu, sama saja dengan Pendidikan Pascasarjana.
Pendidikan Profesi Dokter, membutuhkan waktu paling cepat sekitar 3 tahunan.
Itupun kalau semua ujian kita lulus dengan lancar. Jika macet, bisa membutuhkan
waktu 4 atau 5 tahun, baru lulus jadi dokter. Padahal Pendidikan Master (S2),
hanya butuh 2 tahun. Jadi, untuk menjadi seorang dokter di FK Unud Bali,
membutuhkan waktu paling cepat 7 tahun. Ada yang harus membutuhkan waktu 10
tahunan.
Saat seorang dokter
muda menjalani praktek di Lab Anestesi RSUP Sanglah Denpasar, ada ujian yang
dinamakan ujian utama, yaitu ujian yang dijalani para dokter muda di akhir
siklus saat koskap di Lab Anestesi. Ujian utama ini, dijalani secara lisan.
Bukan ujian tulis. Setiap dokter muda, akan diuji langsung oleh seorang Dokter
Ahli.
Nah, ujian utama di
Lab Anestesi RSUP Sanglah Denpasar, dokter muda yang mendapat jatah diuji oleh
Dokter WS, sudah stress duluan sebelum maju ujian. Biasanya, untuk mengetahui,
kita akan diuji sama Dokter Ahli Anestesi yang mana, akan dilakukan melalui
penarikan undian. Untungnya saat saya praktek di Lab Anestesi (barengan sama
Dokter Sahadewa, Kakak tingkatku yang saat ini menyandang status Dokter Ahli,
Sp.OG), ada satu temanku sangat smart, berasal dari Mataram NTB, bernama Agus
Setyawan, yang berani memilih dokter WS, tanpa harus diundi. Dengan demikian,
kami yang akan menarik undian ujian utama, tidak lagi sport jantung karena
Dokter WS sudah diambil Agus Setyawan.
Dokter muda yang
mendapat jatah diuji Dokter WS, setelah menjalani Ujian Praktek di OK (Ruang
Operasi) saat Operasi pasien berlangsung, setelah itu akan diteruskan dengan
Ujian Teori yang berlangsung di ruang kerja Dokter WS. Begitu dokter muda
memasuki ruang kerja Dokter WS, biasanya Dokter WS sudah menunggu di sana,
dengan sejumlah text book tebal yang diletakkan di hadapannya. Melihat text
book tebal yang menumpuk di meja Dokter WS, jika dokter mudanya tidak siap
mental, maka bisa-bisa semua ilmu yang sudah ada di kepala akan menguap duluan
sebelum Dokter WS mengajukan pertanyaan.
"Silahkan duduk
dik". Ini adalah kalimat sapaan yang biasa diucapkan Dokter WS saat seorang
dokter muda memasuki ruang kerjanya untuk menjalani ujian. Setelah duduk,
Dokter WS akan mengambil salah satu text book tebal di hadapannya dan mulai
buka sana-sini, mencari pertanyaan yang akan diajukan. Atau kadang Dokter WS
tidak membuka text book, tetapi langsung mengajukan pertanyaan.
Nah, saat dua atau
tiga pertanyaan pertama tidak bisa kita jawab, maka sebelah kaki Dokter WS
mulai perlahan diangkat ke atas. Jika pertanyaan berikutnya tetap tidak bisa
kita jawab, maka Dokter WS akan meletakkan salah satu kakinya di atas meja.
Jika ini terjadi, maka itu artinya, nilai tertinggi yang kita peroleh saat itu
adalah D. Alias tidak lulus. Karena untuk lulus, minimal harus C.
Tiba di titik ini,
ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Langsung minta maaf ke Dokter WS dan
meninggalkan ruang ujian, untuk di kemudian hari, kembali ke Lab Anestesi pada
siklus berikutnya, atau kita boleh memilih untuk nekat tetap duduk di sana,
mengadu keberuntungan. Siapa tahu, pada pertanyaan berikutnya, kita bisa
menjawab. Jika kita tetap duduk di sana untuk menunggu pertanyaan berikutnya,
dan jika kita berhasil menjawab pertanyaan berikutnya, maka sebelah kakinya
yang tadi sudah berada di atas meja, akan diturunkan kembali. Tapi jika kita
tidak bisa menjawab satu saja pertanyaan berikutnya, maka Dokter WS akan
langsung meletakkan kedua kakinya di atas meja. Jika ini yang terjadi, maka itu
artinya, ujian kita telah berakhir. Dan nilai kita adalah E. Ini lampu merah.
Kita sebaiknya bilang; 'Maaf Dok, saya belum siap. Saya akan kembali pada
siklus berikutnya".
Dan Dokter WS akan
bilang; "Ya sudah, belajar lagi ya dik". Lalu kita meninggalkan ruang
ujian dengan perasaan GEGANA (Gelisah- Galau dan Merana).
C. Kejadian 30 Januari 1995
Pada tanggal 30
Januari 1995, saya yang saat itu praktek di Lab Bedah, menghadiri Operasi yang
akan berlangsung hari itu. Saat itu, ada temanku satu angkatan (kami sama-sama
Angkatan Lecith), berinisial WS, yang sedang menjalani praktek di Lab Anestesi
dan menghadapi ujian hari itu. Kebetulan Dosen Pengujinya adalah Dokter WS.
Jadi Dokter WS menguji mahasiswa yang juga berinisial WS. Keduanya memiliki
kesamaan di nama W, tetapi berbeda di nama S. Sebelum memasuki Ruang Operasi,
saya sempat ngobrol dengan WS di ruang perawatan. Kebetulan saat itu WS sedang
mempersiapkan pasiennya, termasuk melakukan pramedikasi terhadap pasiennya yang
akan digunakan sebagai bahan ujian.
Saat operasi tiba,
semua Ahli Bedah, para dokter muda yang praktek di Lab Bedah (termasuk saya di
dalamnya) dan juga para Perawat Bedah, sudah berada di ruang operasi. Selain
itu, ada Ahli Anestesi, ada dokter muda yang sedang praktek di Lab Anestesi
(termasuk temanku WS yang hari itu ujian), dan juga ada Perawat Anestesi sudah
siap di ruang operasi. Sementara Dokter Alex Suranadi, satu-satunya Residen
Anestesi jaman itu, tidak terlihat di ruang operasi. Mungkin Beliau sedang ada
kegiatan di ruangan lain.
Sekedar info: Di
ruang operasi, ada pembagian area yang dinamakan area 0, area 1, area 2, dan
area 3 (radius terjauh dari pasien yang sedang berbaring di atas meja operasi).
Kami tim dari Bedah, menunggu orang-orang Anestesi bekerja lebih dulu membius
pasien, baru kami tim Bedah beraksi.
Saat itu, saya
melihat temanku WS dan Dokter WS sebagai Dosen Penguji, berada di area 0. Temanku
WS mulai menyuntikkan Obat Anestesi yang dinamakan Ketalar (Ketamin HCL),
melalui wing needle yang terpasang di lengan pasien. Temanku WS terus mendorong
obat masuk ke wing needle, tetapi tanpa melihat pasien. WS fokus melihat ke
obat yang sedang disuntikkan. Lalu tiba-tiba Dokter WS bertanya dengan nada
suara tinggi:
"Obat apa yang
kamu pakai?"
Temanku WS menjawab:
"Ketalar, Dok".
Dokter WS meneruskan
bertanya:
"Kalau kamu
suntik Ketalar, resiko apa yang kemungkinan terjadi pada pasien?"
Temanku WS menjawab:
"Apnue, Dok".
"Kalau begitu,
di saat kamu menyuntik Ketalar, yang harus kamu perhatikan adalah pasiennya.
Bukan obatnya yang kamu pelototin".
Suara Dokter WS makin
meninggi. Temanku WS mulai gugup dan panik. Saya tahu betul WS. Orangnya
gugupan dan panikan. Keringat dingin mulai deras mengalir. Padahal ruang
operasi sangat-sangat dingin. Bisa dimaklumi. Temanku WS berada di bawah
tekanan tinggi. Ada banyak orang di ruangan itu.
Karena diminta harus
melihat pasien, maka temanku WS yang tadinya fokus melihat ke obat, kini
pandangannya beralih dari obat ke pasien, tetapi tangannya terus mendorong obat
ke wing needle.
Tiba-tiba Dokter WS
kembali bertanya dengan nada tinggi.
"Berapa CC yang
kamu suntik?"
Pada saat itu, semua
obat yang ada di dalam spoit, telah disuntikkan ke dalam wing needle. Maka WS
menjawab gugup.
"Waduh habis
dok. Obatnya kesuntik semuanya".
"Ya, berapa CC
yang kamu suntik?" Nada suaranya makin kencang.
Temanku WS makin
gugup. Lalu jarum suntik di tangannya terlepas, jatuh ke kolong meja operasi.
Seharusnya saat itu temanku WS tidak perlu membungkuk untuk mencoba memungut
jarum suntik yang telah jatuh ke lantai. Karena salah satu aspek penting di
ruang operasi adalah "sterilitas" (suci hama). Apalagi di area 0.
Tangan yang sudah menyentuh lantai, jangan sampai terkena ke selang yang
terpasang di tubuh pasien, apalagi terkena ke tubuh pasien. Sangat berbahaya
kalau terjadi transmisi kuman. Bisa muncul sepsis, yang sangat mengancam nyawa
pasien.
Temanku WS nungging
sana, nungging sini, mencari jarum suntik yang jatuh, tetapi gagal
menemukannya, karena sudah keburu diambil Perawat Anestesi yang berdiri tepat
di belakangnya. Maka begitu temanku WS berdiri tegak kembali, Dokter WS mulai
murka. Tangannya mencabut semua selang, termasuk selang infus yang terpasang di
tubuh pasien dan melemparkannya ke tembok, lalu berjalan keluar meninggalkan
ruang operasi. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba pada saat yang bersamaan,
muncul lah dr. Alex Suranadi, satu-satunya Residen Anestesi di RSUP Sanglah
Denpasar jaman itu. Saat itu, dr. Alex Suranadi, dibantu sejumlah Perawat
Anestesi, langsung mengambil alih semuanya.
Intermezzo: Dokter
Alex Suranadi memilih melanjutkan Pendidikan Spesialisasinya di Anestesi,
karena konon, saat masih menjadi koas, ketika menjalani praktek di Lab
Anestesi, dr. Alex Suranadi berani melakukan tindakan BSA (Block Spinal
Anestesi), salah satu jenis tindakan anestesi, yang memiliki tingkat kesulitan
tinggi, dan karenanya, para koas tidak berani melakukannya. Tapi dr. Alex
Suranadi berani melakukannya. Karena itulah banyak Dokter Spesialisasi Anestesi
di RSUP Sanglah, menganjurkan dr. Alex Suranadi untuk mengambil Spesialisasi
Anestesi.
Pada hari pertama
menjalani praktek di Lab Anestesi, saya dan temanku Zeto (Jose Antonio Gusmao
Guterres, teman satu angkatan yang kini menyandang status Dokter Spesialis
Kebidanan & Kandungan), mengira dr. Alex Suranadi adalah seorang perawat.
Tubuhnya kurus kering, karena pekerjaannya sebagai seorang Residen Anestesi,
jarang tidur, dan harus mengcover semua operasi di RSUP Sanglah Denpasar. Baru
lah pada hari kedua, saya dan Zeto tahu kalau orang ceking itu adalah seorang
Residen. Residen itu adalah sebutan untuk seorang Dokter Umum yang sedang
melanjutkan Pendidikan Dokter Spesialis. Di kemudian hari, dr. Alex Suranadi
yang merupakan tamatan dari Perancis ini, menjadi Ahli Anestesi andalan RSUP
Sanglah Denpasar. Pernah menjuarai Lomba yang diikuti para Ahli Anestesi
Seluruh Indonesia. Orangnya sangat smart dan skillful.
D. Harus Selalu Membawa Epinefrine Kemanapun Pergi
Saya mengakhiri
kisah: Januari di Pulau Bali ini, dengan meneruskan pesan Dokter WS yang amat
penting. Dokter WS selalu mengingatkan kami. Selama kalian menjadi dokter,
kemana pun kalian pergi, jangan lupa untuk selalu membawa Epinefrine
(Adrenalin) dalam kantong kalian. Obat apapun yang kalian suntikkan ke pasien,
entah sekedar Vitamin, apalagi obat-obatan Antibiotika, pastikan bahwa di
kantong kalian sudah tersedia Epinefrine. Karena kita tidak pernah tahu, apa
reaksi pasien terhadap semua jenis zat yang kita masukkan ke tubuh mereka.
Dengan demikian, jika terjadi keadaan emergency, misalnya pasien mengalami
Reaksi Syok Anafilakasis, kalian sudah menyediakan antidotnya. Jika tidak maka
nyawa pasien tidak akan tertolong hanya karena kalian lupa membawa Epinephrine.
Semoga
catatan ini bermanfaat. Terima-kasih bagi mereka yang sudah bersedia membaca
kisah Januari ini sampai kata terakhir.
TUHAN YESUS
memberkati kita semua (hitam & putih). Amen.
Catatan Kaki:
Gambar yang saya lampirkan dalam artikel ini, diambil dari google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar