Oleh: Rama Cristo.
1. Dosen Tetap
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universidade da Paz.
2. Wakil Rektor
Bidang Penelitian & Publikasi Universidade da Paz.
A. Prefasi
=======
Kemarin, 2 Januari 2023, saya menerbitkan satu artikel dalam Bahasa Tetun (Bahasa Nasional Timor Leste), berjudul: LA'OS NAI MAROMAK DEIT MAK BELE TERMINA PASIENTE NIA DESTIŇU - MÉDIKUS SIRA MOS BELE TERMINA PASIENTE NIA DESTIŇU, dengan sub judul: "Konsellu Medicina Timor Leste Eziste Ona Ka Ladauk?
Jika judul utama di
atas diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka akan menjadi: Bukan Hanya
TUHAN Yang Bisa Menentukan Ajal Pasien, Tetapi Para Dokter Juga Bisa Menentukan
Ajal Pasien". Sementara sub judulnya dapat diterjemahkan menjadi:
"Dewan Kedokteran Timor Leste Sudah Eksis Atau Belum?"
Kemudian ada pembaca
(seorang Dokter Spesialis) yang memberikan komentarnya dengan mengatakan:
"Kenapa dengan begitu gampangnya meyematkan Mal Praktek. Bagaimana batasan
Mal Praktek itu sendiri?" Karena itulah saya menuliskan artikel ini. Jadi
artikel ini ditulis khusus untuk menanggapi komentar pembaca termaksud, yang
kebetulan adalah seorang Dokter Spesialis.
B. Dokter Bukan TUHAN
================
Judul utama artikel ini
hanya terdiri dari 3 kata, yaitu: "Dokter Bukan TUHAN". Sekiranya
konstruksi judul utama ini dirubah ke dalam varian (format) lain, maka varian
terbaik menurutku adalah; "Jika ada Dokter yang juga adalah TUHAN pada
saat yang bersamaan, maka satu-satuNya Dokter tersebut adalah TUHAN YESUS
sendiri. KRISTUS adalah Maha Dokter. Karena Dia mampu membuat orang buta bisa
kembali melihat, orang bisu bisa kembali bicara, orang tuli bisa kembali
mendengar, dan orang lumpuh bisa kembali berjalan. Bahkan Lazarus yang sudah
meninggal dan dikuburkan selama 4 hari, Dia memiliki Kuasa Ilahi untuk
menghidupkannya kembali. Tapi berhubung eksistensi Kemanusiaan dan Divinitas
(Keilahian) KRISTUS ada di luar konteks tulisan ini, maka terlalu eksklusif
(berada di luar orbit) untuk dibicarakan di sini. Maka saya menggunakan
Filsafat Isolasi untuk mengisolasiNya.
C. Secara Kodrati
Manusia Itu Tidak Bebas Dari Bersalah
====================================
"Adakah manusia
yang bebas dari melakukan kesalahan?" Jawabannya: pasti tidak ada. Tapi
jika pertanyaan di atas berbunyi: "Adakah manusia yang bukan TUHAN tetapi
bebas dari dosa asal?" Maka jawabannya: ada, yaitu Bunda Suci Perawan
Maria Yang Dikandung Tanpa Noda". Karena ini menyangkut masalah Doktrin
Iman (Teologi Katolik), maka isu tersebut ada di luar konteks artikel ini.
Kagak usah dibahas di sini karena bukan tempatnya.
Kembali kepada
konstruksi judul utama tulisan ini: Dokter Bukan TUHAN. Di dalam 3 kata ini,
ada kata negasi di dalamnya. Kata negasi tersebut ingin memastikan bahwa
"Karena dokter bukan TUHAN, maka dokter juga tidak luput dari
kesalahan". Penalarannya dapat diformulasikan dalam premis dan konklusi di
bawah ini:
Premis Mayor:
Insan yang bukan
TUHAN pasti pernah melakukan kesalahan.
Premis Minor:
Dokter bukan TUHAN.
Konklusi:
Dokter pasti pernah
melakukan kesalahan.
Nah, jika konklusi di
atas memiliki karakter keniscayaan yang bisa diterapkan kepada semua dokter
tanpa kecuali, maka pertanyaannya adalah: "Adakah dokter di Rumah Sakit
Nasional Guido Valadares (RSNGV) Dili yang tidak pernah melakukan
kesalahan?"
Jika jawabannya: ADA,
maka saya hanya bisa bilang: Waaooo...!!! Bisa diusulkan ke Otoritas Vatican
untuk diangkat jadi Santo/Santa.
D. Arguments Based Evidences
====================
Dalam artikelku
kemarin, saya menuliskan kata Mal Praktek 2X. Lalu ada pembaca berkomentar,
mengatakan: "Kenapa begitu gampangnya menyematkan Mal Praktek?"
Kesan saya terhadap
komentar di atas, dapat diterjemahkan menjadi: "Seakan-akan, saya
menyematkan stigma Mal Praktek kepada oknum dokter tertentu di RSNGV Dili,
tanpa data dan fakta, alias asbun dan asbak (asal bunyi dan asal tebak)?"
Jika komentar Dokter
Spesialis tersebut, mewakili perspektif (sudut pandang) para dokter di RSNGV
Dili, maka gampang saja cara menyelesaikannya. Fihak RSNGV Dili bisa melakukan
counter, untuk menggugurkan pernyataan saya yang telah menyematkan stigma Mal
Praktek kepada oknum dokter di RSVGV Dili.
Caranya gampang,
yaitu melakukan pembuktian. Ada dua cara pembuktian. Pembuktian lurus dan
pembuktian terbalik. Tentunya, pembuktian pada level mana pun, baik pembutkian
lurus dan maupun pembuktian terbalik, harus menyertakan data dan fakta untuk
memastikan bahwa dokter yang saya beri stigma, tidak melakukan Mal Praktek.
Jadi pembuktian bukan sekedar mengandalkan opini atau persepsi.
Saya tidak asal
membangun narasi sebagai seorang Professor Sotoy tanpa berpegang pada fakta empiris. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam artikel saya kemarin,
ketika saya tiba pada konklusi bahwa telah terjadi Mal Praktek di Bagian
Neurologi, RSVGV Dili, pada 25 Agustus 2016, itu berdasarkan data dan fakta
yang memiliki nilai empiris yang sahih. Saya berbicara berdasarkan fakta. Fakta
terbentuk karena ada data. Jadi argumen saya adalah "Arguments based
evidences". Bukan asbun (asal bunyi), apalagi asbak (asal tebak). Bahkan,
dalam artikel saya kemarin, saya menuliskan di sana, jika sistim (ke)arsip(an)
RSNGV berfungsi baik, maka fihak RSBGV Dili bisa membuka kembali data base
untuk melihat "medical records" (rekam medis) pasien, tertanggal 25
Agustus 2016, seorang wanita muda, kelahiran 10 Juni 1994, beralamat di Comoro.
E. Bagaimana Dengan Batasan
Mal Praktek?
======================
Bersambung:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar