Berkaitan dengan Surat Keputusan Rektor Unpaz (Universidade da Paz), nomor referensi: 112/Reitor/Unpaz/XII/2020, tertanggal 5 Desember 2020, di mana, saya ditugaskan untuk menulis buku Biografi Prof. Dr. Lucas da Costa, SE., MSi, maka tiga hari lalu, saya mengumumkan daftar nama dari sejumlah calon narasumber, yang menurut saya, bisa memberikan kesaksian mereka mengenai Prof. Lucas, rektor pertama Unpaz, yang meninggal pada 5 September 2019, di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares, Dili, pasca menjalani dua kali Operasi Laparatomy (operasi pertama dilakukan pada 27 Agustus 2019 dan operasi kedua, dilakukan pada 4 September 2019).
Dalam artikel yang memuat daftar termaksud (sayangnya saya menggunakan bahasa Tetun, sehingga rekan-rekan di Indonesia yang tidak mengerti bahasa Tetun, tidak bisa memahami artikel tersebut), tidak ada satupun nama perempuan di sana. Bukan karena saya pilih kasih atau pilih kisah. Tapi karena saya belum tahu persis, siapakah, Kaum Hawa, yang layak masuk daftar? Karena itulah di bagian akhir daftar tersebut, saya menitipkan pesan di sana, agar rekan-rekan mengusulkan narasumber perempuan, untuk disertakan sebagai narasumber dalam penulsian Biografi Prof. Lucas, agar dengan demikian, ada kuota kaum Hawa di antara nama-nama kaum Adam.
Lalu sejumlah rekan memunculkan nama sejumlah wanita terkenal, di antaranya adalah, Yeni Rosa Damayanti, Lucia Lobato, Jacqueline Aquino Siapno, Vice I Parlamento Nasional Timor Leste, Fernanda Borges, Yayuk Rahayu, dan Manoca da Costa.
Nama-nama kaum Hawa tersebut di atas memang layak untuk dipertimbangkan. Mereka adalah orang-orang hebat. Namun, dengan tidak bermaksud mendeskritkan fihak manapun, apalagi pilih kasih dan pilih kisah, saya harus jujur katakan, bahwa saya lebih memberi prioritas kepada kaum Hawa, yang ada di luar garis keluarga inti (isteri atau anak), tetapi mereka yang bukan keluarga inti ini, benar-benar mengenal Prof. Lucas, agar dengan demikian, kesaksian mereka bersifat faktual, proporsional, tapi imparsial.
1. FAKTUAL, artinya, materi kesaksian mereka (kaum Hawa) memiliki bertumpu pada data empriris. Bukan utopis (hayalan). Yang namanya menulis buku biografi itu, siapapun penulisnya, harus menuliskan hal-hal yang bersifat faktual (bukan emosional). Entah emosional karena cinta, atau emosional karena benci.
2. PROPORSIONAL, artinya informasi yang mereka berikan, logis dan rasional, tidak didramatisir (akibatnya nuansa hyperbolik terlalu kental), sehingga terlihat "lebay" (berlebihan), hanya gara-gara, secara emosi(onal), mereka (kaum Hawa tersebut) terlalu dalam mencintai Prof. Lucas, atau terlalu dalam membenci Prof. Lucas.
3. IMPARSIAL, artinya informasi yang mereka berikan, tidak terlalu bersifat memihak, apalagi mengagung-agungkan Prof. Lucas. Misalnya, hanya karena mereka terlalu mencintai Prof. Lucas, mereka memberikan informasi yang kadar keberfihakannya terlalu tinggi. Mereka akan menyangkal semua informasi yang bersifat negatif mengenai Prof. Lucas.
Misalnya, semasa hidupnya, Prof. Lucas memiliki banyak "haters", baik "haters" terselubung atau bukan. Misalnya, ada isu yang mengatakan bahwa sebagian orang, terutama ribuan tahanan yang pernah menjalani "pembuangan" ke Pulau Atauro pada masa "pendudukan Indonesia" (saya tidak menggunakan terminologi: "masa penjajahan Indonesia", karena terlalu sulit memberi stigma "penjajah" kepada Indonesia yang memproduksi ribuan sarjana hanya dalam waktu kurang dari 24 tahun, dibandingkan dengan Portugal yang menjajah Timor Portugis selama 460 tahun, dari 1515-1975, tapi hanya memproduksi sarjana yang bisa dihitung dangan jari tangan manusia, itupun tidak sepuluh jari tangan kepakai). Banyak orang mengkambing-hitamkan Prof. Lucas atas pembuangan ribuan orang ke Pulau Atauro.
Pertanyaannya adalah, "Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Salah satu orang yang bisa memberikan kesaksian mengenai isu ini adalah Senhor Filomeno Paixao, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan Timor Leste. Keduanya sama-sama ditahan dalam satu sel di Dili. Lalu menurut penggalan informasi yang saya terima dari Prof. Lucas sendiri, pada suatu hari, keduanya dibawa dengan Helikopter menuju salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Viqueque. Apa yang terjadi di sana, sehingga banyak orang yang berasal dari wilayah itu dibuang ke Pulau Atauro, pasca kehadiran Lucas da Costa dan Filomeno Paixao, tidak ada yang tahu persis, kecuali sang Menteri Pertahanan Timor Leste.
Potongan informasi yang sempat saya terima dari Prof. Lucas, pada dini hari, 28 Februari 1998, di Perumahan Babatan Pilang Surabaya Jawa Timur, adalah, bahwa saat itu, ketika Prof. Lucas dan sang Menteri Pertahanan Timor Leste saat ini, di bawa ke sana, Prof. Lucas mengetahui kalau TNI (Tentara Nasional Indonesia) sedang merencanakan, akan mengangkut penduduk di sana untuk "dibuang ke laut", menggunakan Helikopter. Lalu Prof. Lucas mengusulkan; dari pada mereka "dibuang ke laut", akan lebih baik, mereka "dibuang saja" ke Pulau Atauro. Prof. Lucas bilang begini ke saya;
"Manumean bayangkan saja, sebagai tahanan politik, yang bukan turun dari hutan untuk menyerahkan diri kepada TNI, melainkan datang ke kota, memimpin satu regu pasukan Falintil dengan tujuan menyerang pos TNI, lalu tertembak dan tertangkap, maka ketika itu, kepala saya, setiap saat bisa dipenggal. Dalam posisi seperti itu, saya tidak memiliki otoritas apapun untuk disampaikan kepada fihak TNI, kecuali hanya mencoba menawarkan sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Maka menurutku, dari pada penduduk itu diangkut dengan Helikopter untuk dibuang ke laut, saya berusaha mencoba menawarkan alternatif terbaik yang terlintas di benak saya saat itu. Sebagai tahanan politik, saya dan Filomeno Paixao, tidak memiliki kuasa apapun pada saat itu, untuk meminta, apalagi memerintahkan TNI untuk membebaskan penduduk yang hendak diangkut dengan Helikopter untuk dibuang ke laut".
Isu ini menjadi alasan fundamental, kenapa saya memasukkan nama Menteri Pertahanan Timor Leste, sebagai salah satu narasumber untuk diwawancarai. Karena hanya sang Menteri Pertahanan, yang saat itu ada bersama Prof. Lucas. Anda bayangkan saja, jika isu sensitif seperti ini, ditanyakan kepada keluarga inti Almarhum. Pasti mereka akan mati-matian membela Almarhum, dan menyangkal, bahwa isu ini tidak benar.
Mengenai Mana Lucia Lobato
Kalau saya boleh jujur, di antara nama-nama kaum Hawa yang diusulkan sejumlah rekan, dan yang bukan keluarga inti Prof. Lucas (bukan isteri atau anak), ada dua orang yang saya tahu betul, sepertinya mengenal Prof. Lucas dengan baik, yaitu Mana Lucia Lobato dan Mana Joy (Jacqueline Aquino Siapno), isteri dari Saudozu Fernando La Sama de Araujo, yang saat ini, bersama putera semata-wayangnya, Hadomi, hasil pernikahannya dengan Companheiro Fernando La Sama de Araujo, diam di Amerika Serikat. Mana Lucia (yang tercatat sebagai salah satu pendiri Fundasaun Neon Metin), mengenal baik Prof. Lucas, dalam waktu yang cukup lama, yakni selama masa-masa perjuangan fisik (perjuangan kemerdekaan), karena sama-sama orang Renetil, juga setelah Timor-Timur berpisah dengan Indonesia (saya tidak mengatakan Timor-Timur merdeka dari Indonesia, karena konotasinya pada tataran politik berbeda makna), kebersamaan Mana Lucia dan Prof. Lucas berlanjut.
Prof. Lucas dan Mana Lucia Lobato, (setahu saya, karena saya ada dalam diskusi intensif tersebut), termasuk di antara orang-orang yang pada awal mulanya terlibat secara mendalam dalam diskusi intensif mengenai rencana Renetil akan mendirikan partai politik. Dan diskusi intensif ini, terjadi jauh sebelum cikal bakal nama Partai Demokrat (PD) dipikirkan banyak orang, juga jauh sebelum Mana Lucia Lobato terlibat di PSD (Partai Sosialis Demkorat), partai yang didirikan Almarhum Ir. Mario Viegas Carrascalao (mantan Gubernur Timor-Timur ke-3), tokoh besar yang memiliki "ide dan jasa besar" terhadap ribuan sarjana produk Indonesia yang saat ini menduduki berbagai jabatan kenegaraan di Timor Leste.
Selain itu, kebersamaan Mana Lucia Lobato dengan Prof. Lucas berlanjut saat keduanya terlibat dalam dunia akademis, di mana Prof. Lucas menjabat sebagai Rektor Undil (Universidade Dili) dan Mana Lucia (Alumnus Magister Fakultas Hukum Unair/Universitas Airlangga Surabaya), menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Undil pada tahun 2002-2003, dan saat itu (2002-2003) saya kebetulan tercatat sebagai salah satu dosen di FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) Undil, mengasuh 3 matakuliah: Fisika Kesehatan, Anatomi dan Fisiologi, dan saat itu (2002-2003), Unpaz belum eksis.
Mungkin ada sebagian Anggota Keluarga Prof. Lucas yang tidak menyetujui Mana Lucia Lobato disertakan sebagai salah satu narasumber, mengingat konflik yang bergulir saat ini, yang melibatkan Mana Lucia Lobato sebagai salah satu Pendiri Fundasaun Neon Metin, dengan Ahli Waris (Herdeiro) Prof. Lucas. Saya mencoba memakluminya, jika sikap ini muncul.
Tapi saya berada pada posisi yang berbeda untuk memutuskan, apakah saya akan meneyertakan Mana Lucia sebagai narasumber atau tidak. Konflik masa kini, tidak mungkin bisa merubah fakta masa lalu yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Saya memiliki dua alasan untuk memutuskan, apakah akan menyertakan Mana Lucia Lobato atau tidak?
Alasan pertama, secara legalitas, melalui Keputusan Rektor Unpaz dengan nomor referensi; 112/Reitor/Unpaz/XII/2020, tertanggal 5 Desember 2020, saya mendapat "mandat penuh" dari Rektor Unpaz untuk menulis Biografi Prof. Lucas. Alasan kedua; Saya ingin jujur, sejujur-jujurnya, mengatakan bahwa, sejarah lahirnya Unpaz, walau secara materia(lisme), saya tidak ikut menyumbang "satu dolarpun" sebagai saham untuk mendirikan Unpaz, tapi jika Unpaz diibaratkan sebagai sebatang "pohon hidup", bukan "pohon mati", saya berada di "akar". Lazimnya, yang namanya akar itu, tidak kelihatan. Sementara konflik yang saat ini sedang bergulir, yang melibatkan banyak fihak di dalamnya, termasuk Mana Lucia Lobato, adalah konflik karena memperebutkan "buah" dari "pohon hidup" itu. Bukan memperebutkan akarnya. Dengan posisi sebagai akar, jika saya ditanya, saya memihak kubu yang mana?, dengan jujur saya katakan, saya lebih memilih "posisi diametralis".
Dengan mengambil posisi "diametralis", maka jika saya diberi kesempatan untuk menyampaikan saran, saran saya adalah, sebaiknya semua fihak yang bertikai, berdamai saja. Damai itu indah. Saranku ini mungkin terlalu klise karena terlalu bersifat normatif. Tapi ketahuilah, hal-hal yang normatif itu, lebih kekal dan berlaku di mana-mana, berlaku baik di bumi maupun di surga. Damai itu bukan sekedar indah. Ingat, ketika TUHAN YESUS bangkit dari kematian, kata pertama yang diucapkan ketika menampakkan DiriNya kepada murid-muridNya adalah "Syallom", yang artinya "Damai". Oleh karena itu, walau terdengar klise dan terlalu normatif, tapi hanya ini yang bisa saya sampaikan. Lebih spesifik lagi, khususnya untuk isu yang melibatkan Rektor Unpaz, saya ingin katakan, jika bisa, dengan segala kerendahan hati, saya usulkan, Pak Rektor batalkan "suspensaun" terhadap 5 Staf Unpaz. Damailah kembali dengan mereka.
Teknisnya adalah, undang mereka berlima kembali ke Unpaz, dan kembalikan hak-hak mereka. Ini adalah tindakan KASIH, sebagai bagian dari mengamalkan iman dan moral pada tataran praxis. Jangan pernah berpikir bahwa tindakan KASIH ini, akan mengabaikan hukum positif. Tindakan KASIH itu letaknya di hulu. Sementara hukum positif itu letaknya di hilir. Itu artinya, hukum positif itu, derivat dari hukum KASIH. Sebaik-baiknya hukum positif, apalah gunanya, jika tidak membawa manfaat bagi kepentingan kemanusiaan. Bayangkan saja, jika Pak Rektor kembalikan hak-hak kelima Staf yang "disuspensasi", berapa orang yang ada di belakang mereka yang akan ikut merasakan manfaatnya. Sama halnya saya ingin mengatakan, ketika Pak Rektor memberikan "suspensaun" kepada 5 Staf tersebut, berapa orang yang ada di belakang mereka berlima, yang ikut terkena dampaknya? Pilihannya sederhana sekali. Apakah pak Rektor ingin dikenang sebagai "penguasa", atau sebagai "pemimpin?"
Saya bukan menggurui. Tapi hanya mengingatkan saja. Menanamkan kebaikan itu, hasilnya indah. Cepat atau lambat, entah Pak Rektor yang akan memetiknya sendiri, atau keturunan Pak Rektor yang akan memetiknya.
ALLAH dan alam tidak akan pernah lalai mencatat setiap perbuatan baik umatNya. Dan jika perbuatan baik itu sudah berbuah, akan dipetik oleh mereka yang menanamkannya. Bukan oleh mereka yang tidak pernah menanamnya. Saya menyampaikan saran normatif ini, dengan pertimbangan, jika kasus ini diteruskan, ujung-ujungnya, Anda percaya atau tidak, yang menang akan jadi arang, yang kalah, akan jadi abu. Karena ini hanyalah saran, Pak Rektor boleh mempertimbangkannya, juga boleh mengabaikannya.
Mengenai Mana Joy (Jacqueline Aquino Siapno)
Sementara mengenai Mana Joy (Jacqueline Aquino Siapno), saya yakin bahwa, dengan menjadi "isteri sah" Maun Nando (sah, karena alat ukur yang saya gunakan adalah; "Pernikahan Sakramental"/nikah di Gereja, bukan sekedar kawin), secara otomatis, kebersamaan Mana Joy dan Prof. Lucas, akan terjadi, mengingat hubungan kental antara Prof. Lucas dan Maun Nando.
Hubungan Prof. Lucas dan Maun Nando, yang sudah sama-sama Almarhum, melebihi hubungan suami-isteri. Melebihi "hubungan suami-isteri" yang saya maksudkan di sini, bukan berarti keduanya memiliki "disorientasi sexual" dan menjadi bagian integral dari kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisex & Transgender), melainkan karena di antara keduanya, tidak ada rahasia sama sekali. Itu artinya, apa yang diketahui Maun Nando tentang Prof. Lucas, mengenai aspek apapun, isu apapun, pada level manapun, dengan sendirinya akan diketahui pula oleh Mana Joy.
Pada bidang politik, Mana Joy termasuk salah satu orang yang secara intens, terlibat dalam diskusi-diskusi untuk mendirikan Partai Demokrat. Selain itu, pada tataran akademis, dengan bergelar PhD, kelahiran Filipina, hubungan Prof. Lucas dan Mana Joy berlanjut saat Prof. Lucas menjabat sebagai Rektor Undil. Saat itu (2002-2003), Prof. Lucas mempercayakan Mana Joy untuk menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademis (PR I Undil). Bahkan, pada tahun 2003, ketika Mana Joy yang berstatus sebagai "dosen terbang" harus mengajar di salah satu Universitas di Australia dan harus meninggalkan tugas-tugasnya sebagai PR I di Undil, Prof. Lucas tidak ingin mengganti Mana Joy. Dalam Rapat Senat Universitas, pada 10 Februari 2003, melalui Provisi Rektor Undil, dengan nomor referensi: 57/Provisi/Rektor/Undil/II/2003, tertanggal 10 Februari 2003, saya diangkat sebagai "Dosen Tetap FKM Undil", sekaligus ditunjuk langsung Prof. Lucas, sebagai "Assisten PR I", guna menghendel semua pekerjaan Mana Joy, selama Mana Joy mengajar di Australia.
Maka selama 6 bulan penuh, saya melakukan "dua pekerjaan sekaligus", sebagai Assisten PR I, di samping mengajar, sebelum saya meninggalkan Dili, kembali ke Bali. Dengan informasi di atas, saya ingin mengatakan, Mana Joy layak untuk disertakan sebagai narasumber.
Jujur, saya tidak tahu persis, apakah Mbak Yeni Rosa Damayanti benar-benar mengenai Prof. Lucas? Atau hanya mengenal sekilas? Tapi yang pasti, saya memiliki sekilas "kenangan indah" bersama Mbak Yeni Rosa Damayanti. Setelah "Demo Deplu" (12 Juni 1998), karena kami mendapat tindakan yang sangat represif dari fihak TNI (dari berbagai angkatan yang hari itu diangkut menuju Kantor Deplu), sekitar dua buan mahasiswa lebih yang mengikuti demo di Deplu, terbagi menjadi dua. Sebagian memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, kembali ke Impettu masing-masing di luar Jakarta, karena ancaman "tembak di tempat" yang dilancarkan TNI, sementara ribuan mahasiswa lainnya, termasuk saya di dalamnya, memilih bertahan di Jakarta, untuk meneruskan demo di Kantor Kehakiman Jakarta, pada Selasa, 16 Juni 1998.
Kebetulan, saat Demo Deplu 12 Juni 1998, saya terpilih di antara 20 orang yang mewakili ribuan demosntran, untuk masuk ke Kantor Pak Alatas, guna melakukan dialog dengan Menlu RI. Tapi hari itu, Jum'at, 12 Juni 1998, kami (20 orang) gagal bertemu Pak Ali Alatas yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. Katanya, Pak Menlu sedang berkunjung ke Filipina. Kami hanya ditemui salah satu Staf senior Deplu, kalau saya tidak salah, namanya Hassan Wirajuda, yang di kemudian hari menjabat sebagai Menlu RI.
Pada saat demo di Kantor Kehakiman, Selasa, 16 Juni 1998, saya kembali terpilih di antara 5 orang (Companheiro Mariano Assanami, Companheiro Joaquim Fonseca Russo, Companheiro Francisco Maucura, Companheiro Aderito de Jesus, dan saya sendiri), yang mewakili demonstran untuk masuk ke Kantor Kehakiman, guna melakukan dialog. Dalam demo di kantor Kehakiman, saya smepat membawakan pidato berjudul; "XANANA TIDAK TERJANGKAU HUKUM POSISTIF INDONESIA".
Hari itu, sejatinya saya tidak mempersiapkan pidato apapun. Karena trauma, dilempar keluar dari Kantor Deplu. Lemparannya sangat tinggi, karena tubuh kerempeng saya saat itu, terbang tinggi, melayang di udara, melewati tembok Deplu dan jatuh di luar. Tapi hari itu, 16 Juni 1998, di tengah memanasnya demo, tiba-tiba Maun Nando mendekati saya, dan meminta saya harus berpidato untuk meredam suasana, karena Maun Nando melihat, massa demosntran mulai terlihat lepas kendali saat berorasi di Kantor Kehakiman, terutama dalam menggunakan bahasa verbalnya. Maun Nando mungkin khawatir, tindakan represif TNI, 4 hari sebelumnya di Kantor Deplu, akan terulang kembali hanya gara-gara fihak TNI (saya menggunakan frasa TNI karena tidak terlihat fihak Kepolisian ikut ikut hadir di Kantor Deplu hari itu), akan tersinggung dan kembali melakukan tindakan represif.
Namun sebelum demo di Kantor Kehakiman, saat bertahan di Markas PMKRI Jakarta, ada sejumlah tokoh Aktivis HAM Indonesia, hadir di Markas PMKRI Jakarta untuk melakukan dialog dengan kami. Di antaranya adalah, dua Romo Ordo Jesuit(a), yaitu Romo Filomeno Jacob,SJ, dan Romo Benny Sandiawan,SJ. Selain itu hadir pula Dr. Sri Bintang Pamungkas, salah satu Pejuang HAM yang dikenal luas di Indonesia, terutama pada masa-masa Reformasi. Selain itu, hadir pula Mbak Yeni Rosa Damayanti, salah satu wakil kaum muda yang pada jaman Rezim Orde Baru, berani bersuara melengserkan Soeharto.
Akibat keberaniannya, wanita kelahiran Bandung, 3 Juli ini, sempat dipenjara selama satu tahun. Setelah bebas, wanita yang tercatat sebagai "Chair of the Indonesian Mental Health Association" (IMHA) ini meninggalkan Indonesia, mengungsi ke Belanda, dan di sana, wanita yang oleh sejumlah rekan Renetil, diberi gelar sebagai "Komandante Rejiaun V" ini (karena dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Timor Leste), meneruskan pendidikannya. Setelah Soeharto lengser, beliau kembali ke Indonesia, dan pada, Sabtu, 15 Juni 1998, beliau hadir di Markas Besar PMKRI Jakarta untuk berdialog dengan ribuan mahasiswa Timor-Timur yang saat itu bertahan di Jakarta.
Nah kebetulan sekali, saat kehadiran dua Romo Serikat Jesuit (SJ), Romo Filomeno Jacob,SJ dan Romo Benny Sandiawan,SJ, saya ditunjuk Companheiro Mariano Assanami Sabino, Presiden Partai Demokrat saat ini, yang ketika itu (Juni 1998) menjabat sebagai Ketua Umum DPP Impettu (DPP Impettu dibentuk di Asrama Mahasiswa Tim-Tim, yang terletak di Kaliurang KM 7, Jogjakarta, pada Sabtu, 6 Juni 1998), untuk menjadi moderator, memadu dialog antara dua Romo dari Jesuit, dengan mahasiswa. Setelah itu, saat kehadiran Dr. Sri Bintang Pamungkas untuk berdialog, saya kembali ditunjuk Companheiro Mariano Assanami, untuk menjadi moderator. Demikian pula, saat Mbak Yeni Rosa Damayanti hadir di Markas PMKRI, saya lagi-lagi ditunjuk oleh Companheiro Mariano Assanami untuk menjadi moderator, memadu dialog antara Mbak Yeni dengan ribuan demosntran.
Inilah sekilas pengalaman dan pengetahuan saya yang sangat terbatas mengenai Mbak Yeni Rosa Damayanti. Tapi yang saya tidak tahu persis adalah, "Apakah Mbak Yeni mengenal baik Almarhum Prof. Rama Metan, sehingga harus disertakan sebagai salah satu narasumber dalam penulsian Biografi Prof Lucas?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar