"Sumpah Referendum bertuah pada hari ke-444"
Pada awal Mei 2014, saya menyampaikan satu proposal terbuka kepada Otoritas Renetil untuk melakukan lemparan koin berlambang Ratu Elizabeth II dengan, frekuensi lemparan (sebanyak) 444X.
“Tujuan utama melakukan lemparan koin dengan frekuensi 444X adalah sebagai bagian integral (langkah pertama) untuk memastikan apakah Tanah Timor itu Tanah Terjanji atau bukan?”
Tapi sayang sekali, proposal terbuka tersebut diabaikan Otoritas Renetil. Mungkin, jika yang menyampaikan usulan itu adalah Pak Xanana, ceritanya akan menjadi berbeda.
Karena proposalku ditolak, maka saya membawa proposalku menuju Piala Dunia 2014. Oleh karena itulah pada 23 Mei 2014, dua puluh hari sebelum pembukaan Piala Dunia 2014 di Brazil, saya menerbitkan artikel berjudul; “Juara Piala Dunia 2014 berasal dari “Kelompok 8” (Kelompok Tanah Terjanji).
Kelompok 8 yang saya maksudkan di sini adalah 8 negara yang sudah pernah menjuarai Piala Dunia sebelum perhelatan Piala Dunia 2014.
Dan melalui artikel edisi 23 Mei 2014, saya mengeluarkan daftar yang terdiri dari 8 negara yang sudah pernah menjuarai Piala Dunia, dan menempatkan Jerman di urutan nomor 4.
Penempatan Jerman di urutan nomor 4, sebagai pesan (tersembunyi) bahwa Jerman akan meraih juara yang ke 4X di Brazil. Karena sebelum Piala Dunia 2014, Jerman telah 3X meraih juara Piala Dunia.
“Mengapa lemparan koin harus dilakukan sebanyak 444X?”
Saya tidak tahu, mengapa saat itu Otoritas Renetil menolak proposalku untuk melakukan lemparan koin sebanyak 444X?
Mungkin Otoritas Renetil mengira saya mengusulkan lemparan koin 444X karena saya "kehabisan obat".
Padahal usulan untuk melakukan lemparan koin sebanyak 444X tersebut berhubungan erat dengan “Sumpah Referendum” yang diikrarkan melalui Demo Deplu 12 Juni 1998.
Sebagaimana diketahui, tuntutan utama Demo Deplu 12 Juni 1998 adalah “referendum”. Karena itulah, saat demo berlangsung, saya berulang kali naik ke panggung dan mengajak ribuan demonstran untuk mengikrarkan “Sumpah Referendum” yang terdiri dari 3 poin. Dan ternyata, Sumpah Referendum bertuah pada hari ke-444.
Seperti telah saya sampaikan di seri pertama artikel ini (https://web.facebook.com/liobeino/posts/1573503919425185), bahwa pada level teknis, sayalah yang menyusun teks Sumpah Referendum. Tapi pada level ide(ologi), Sumpah Referendum itu adalah ide(ologi) ALLAH.
Pada 27 Januari 1999, Prof. Dr. BJ Habibie, dalam kapasitasnya sebagi Presiden ke-3 RI, tiba-tiba saja mengeluarkan dua opsi untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur. Dan pada 30 Agustus 1999, referendum benar-benar dilaksanakan. Itu artinya, atas penyelenggaraan Ilahi, Sumpah Referendum bertuah pada hari ke-444.
Coba Anda menghitung sendiri “durasi waktu” dari 12 Juni 1998 (saat Sumpah Referendum diikrarkan) sampai 30 Agustus 1999 (hari pelaksanaan referendum).
"Bukankah durasi waktunya adalah 444 hari?”
"Apakah ada yang menganggap ini kebetulan belaka?"
"Jika usia Sumpah Referendum yang berurasi 444 hari ini, adalah suatu kebetulan, lalu untuk apa ALLAH mengutus 2 MalaikatNya memanggilku ke Bukit Sio(n) untuk menerima ide(ologi) mengenai Sumpah Referendum?"
MENOLAK PROPOSALKU SAMA SAJA DENGAN MENOLAK PESAN KITAB SUCI
Ketika Otoritas Renetil menolak proposalku untuk melakukan lemparan koin 444x, maka saat penolakan itu terjadi, entah sadar atau tidak, sengaja atau tidak, tahu atau tidak, Otoritas Renetil telah menolak “pesan Ilahi yang tertulis dalam Kitab Suci”.
“Pesan Ilahi itu tertulis dalam Kitab Suci yang mana?”
Sebagaimana telah saya sampaikan di seri pertama artikel ini (https://web.facebook.com/liobeino/posts/1573503919425185), bahwa pesan Ilahi itu tertulis dalam Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11, yang poin sentralnya adalah: “ALLAH memanggil “Burung Buas” dari Timur”.
“Apa hubungan antara usia “Sumpah Referendum” (444 hari), dengan pesan Ilahi dalam Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11?”
Kita boleh mengujinya bersama-sama dengan menggunakan metode Gematria.
Coba lafalkan bunyi Kitab Yesaya pasal 46 ayat 11 menjadi: “KITAB YESAYA PASAL EMPAT PULUH ENAM AYAT SEBELAS”, kemudian menggunakan sistim konversi “Gematria Latin” untuk mengkonversikan semua huruf yang ada dalam kalimat tersebut. Pasti hasil konversinya = 444.
KITAB + YESAYA + PASAL + EMPAT + PULUH + ENAM + AYAT + SEBELAS = 43+76+49+55+78+33+47+11 = 444.
Berdasarkan data dan fakta (empiris), saya ingin katakan bahwa, pada saat demo berlangsung 12 Juni 1998, ketika saya berulang kali naik ke panggung untuk mengajak ribuan demonstran mengikrarkan “Sumpah Referendum”, sama halnya saya sedang menyampaikan “pesan Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11”, dalam cara dan metode yang berbeda.
Karena itulah, di seri pertama artikel ini (https://web.facebook.com/liobeino/posts/1573503919425185), saya telah mengingatkan bahwa pada level teknis, memang sayalah yang menyusun redaksional Sumpah Referendum.
Tetapi secara ide(ologi), Sumpah Referendum itu berakar pada Kitab Suci. Artinya Sumpah Referendum itu adalah “ide(ologi) ALLAH. Bukan ide(ologi) saya.
SAYA TIDAK SEDANG MENCBOBA MENGKAPITALISASI JASA DAN MEMBANGUN HEGEMONI
Karena Sumpah Referendum itu adalah ide(ologi) ALLAH, bukan ide(ologi) saya, maka ketika saya menceritakannya di sini, bukan dengan tujuan untuk mengkapitalisasi jasa saya sekaligus membangun hegemoni.
Bukan itu tujuan saya. Tujuan utama saya berkisah adalah untuk mengingatkan semua fihak bahwa keterlibatan Indonesia atas sejarah Timor-Timur yang berdarah-darah, adalah untuk menggenapi pesan Ilahi yang telah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, dalam Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11, mengenai “Burung Buas dari Timur”.
“SIAPAKAH BURUNG BUAS DARI TIMUR ITU?”
Saya ingin mengakhiri seri kedua artikel ini dengan meninggalkan 3 pertanyaan retoris berikut ini untuk direnungkan bersama.
Pertanyaan pertama;
Yang dimaksud dengan “Burung Buas dari Timur” itu, sejatinya merujuk kepada “seseorang”.
Jadi penggunaan “terminologi burung buas” oleh Nabi Yesaya dalam Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11, adalah sebuah “simbolisasi”. Lalu siapakah “Burung Buas yang sebenarnya?”
Pertanyaan pertama ini sengaja saya munculkan, karena untuk membuktikan bahwa keterlibatan Indonesia atas sejarah Timor-Timur itu adalah untuk menggenapi pesan Ilahi dalam Kitab Yesaya pasal 46 ayat 11.
Tapi penggenapan itu, bukan hanya berhenti dengan saya menuliskan artikel berseri ini.
Anggaplah artikel ini adalah sebuah "logika formal". Jika ada logika formal, maka harus ada logi material untuk membuktikan kebenaran dari logika formal tersebut.
Sama halnya dengan para praktisi hukum berkata; "Siapa yang membangun dalil, dia harus membuktikannya".
Jika waktunya genap, ALLAH akan membuktikans egala sesuatunya. Artinya, manusia yang disimbolkan sebagai “Burung Buas dari Timur” oleh Nabi Yesya itu, harus muncul untuk disembelih.
"Jika tidak demikian, bagaimana “dunia” bisa percaya?”
Pertanyaan kedua;
“Jika keterlibatan Indonesia atas sejarah Timor-Timur adalah untuk menggenapi pesan Ilahi yang tertulis dalam Kitab Yesaya pasal 46 ayat 11, maka harsukah para “Pejuang Integrasi atau fihak-fihak Pro Otonomi kehilangan hak mereka untuk hidup secara layak (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dan tidur sama rata) di atas Tanah TIMOR, dan haruskah mereka ditempatkan sebagai penghianat bangsa?”
Pertanyaan ketiga;
Setelah Presiden Gerald Rudolph Ford bersama Menlu Henry Kissinger (dan rombongan) meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, pada Sabtu, 6 Desember 1975, hanya berselang 24 jam, (Minggu, 7 Desember 1975), Otoritas Rezim Orde Baru, tanpa mendapat izin lebih dulu dari DPR, memutuskan untuk melakukan invasi besar-besaran atas wilayah “Timor Portugis” dengan mengangkut Pasukan TNI Linud 501 dari Lapangan Terbang Iswahyudi Madiun Jawa Timur dan menerjunkannya di Kota Dili.
"Jika invasi 7 Desember 1975, sejatinya untuk menggenapi pesan Ilahi dalam Kitab Yesaya, pasal 46 ayat 11, maka haruskah Indonesia disalahkan? Dan terlebih lagi, harsukah para Jenderal Indonesia yang pernah terlibat langsung dalam sejarah Timor-Timur diadili oleh hukum internasional?”
BERSAMBUNG;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar