SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Jumat, 11 Maret 2022

GARA-GARA PIDATO SUPERSEMAR DAN SUMPAH ULAR KUNING SAYA HARUS MELARIKAN DIRI MELINTASI TIGA PULAU SAAT PRESIDEN SOEHARTO LENGSER

A. Pengantar Singkat
Catatan ini adalah sebuah "kesaksian iman", yang kontennya berada di luar orbit. Artinya berada di luar nalar. Bagi mereka yang mau membaca, baca saja, tapi tidak perlu diperdebatkan. Saya hanya ingin menampilkan kembali kisah menegangkan yang terjadi pada 22 tahun lalu, tepatnya, 21 Mei 1998, saat Presiden Soeharto lengser. Kisah ini sudah beberapa kali ditayangkan. Bagi mereka yang sudah pernah membacanya, bisa di-skip saja.
Hari ini, 11 Maret 2022, saya menayangkan kembali kisah misteri ini, karena ada hubungannya dengan pidato saya bertajuk: “Misteri Super Semar” dan Sumpah Ular Kuning yang saya ikrarkan pada hari Sabat, 16 Mei 1998, di depan Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali, yang menyebabkan saya harus melarikan diri melintasi tiga pulau, saat Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Berbicara mengenai "Supersemar", sejatinya kita berbicara mengenai salah satu tonggak sejarah suksesi (transformasi kekuasaan di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto), di mana "Supersemar" (Surat Perintah 11 Maret 1966) menjadi benang merah, di mana apa yang disebut "Executive Order" berubah menjadi "perebutan kekuasaan".
Dan sampai hari ini, di ulang tahunnya yang ke-56 (11 Maret 1966 - 11 Maret 2022), naskah asli Supersemar yang diambil dari tangan Presiden Soekarno di Bogor, oleh 3 tokoh (Basuki Rahmat, Amirmachmud dan M. Yusuf), masih tetap menjadi sebuah "misteri" yang tak terpecahkan. "Apakah Presiden Soekarno hanya sebatas memberikan "Perintah Eksekutif (Executive Order)? Atau dalam naskah Supersemar, Presiden Soekarno menuliskan pengalihan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto?"
============
B. Tragedi Trisakti
============
Pada tanggal 12 Mei 1998, terjadi Tragedi Triskati di mana 4 orang mahasiswa gugur oleh timah panas aparat. Akibatnya, gerakan mahasiswa yang tujuan utamanya adalah menuntut Presiden soeharto harus mundur, sempat kocar-kacir. Maka BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Indonesia berusaha secepatnya mengadakan pertemuan darurat di Jakarta, pada 13 1998. Hasil pertemuan, diputuskan untuk mengadakan "demo akbar" di luar Pulau Jawa. Dan lokasi yang dipilih adalah Denpasar Bali, tepatnya di Kampus Pusat Universitas Udayana Bali. Tujuan demo akbar tersebut adalah untuk mengkonsolidasi kembali gerakan mahasiswa. Tanggal yang ditetapkan adalah Sabtu, 16 Mei 1998.
==================================
C. Pertemuan Renetil di Jl. Pulau Ambon 14 Mei 1998
==================================
Begitu tersiar khabar bahwa pada tanggal 16 Mei 1998 akan berlangsung demo akbar di Bali yang dikoordinir Aktivis Mahasiswa Reformasi yang tergabung dalam wadah yang dinamakan “Pospera” (Posko Perjuangan Rakyat), tiba-tiba ada "perintah dari LP Cipinang Jakarta. Entah dari Pak Xanana Gusmão atau dari Sekjen Renetil, Companheiro Fernando de Araujo La Sama, kurang jelas. Pokoknya yang saya dengar, ada "perintah" dari Jakarta, yang isinya, Renetil Uner Aitana harus mengutus salah satu anggotanya untuk mewakili generasi muda Timor Leste, berpidato dalam demo akbar yang akan dilangsungkan di Bali pada 16 Mei 1998.
Berdasarkan "perintah dadakan" tersebut, RP (Responsabel Prinsipal) Renetil Uner Aitana menginisiasi penyelenggaraan "rapat rahasia" pada 14 Mei 1998, di Jl. Pulau Ambon no. 28X Denpasar Bali. Berhubung rapat itu sifatnya rahasia, maka hanya boleh dihadiri "Membru Renetil Jurado". Dan saya mengambil bagian dalam rapat rahasia tersebut. Dalam rapat yang berlangsung alot tersebut (alot karena sulit memutuskan, siapa yang harus mewakili Renetil untuk tampil berpidato), saya melihat RP Renetil Uner Aitana memperlihatkan sebuah naskah 4 halaman. Secara aklamasi, teman-teman memilih sayalah yang harus tampil untuk berpidato, dengan alasan bahwa perintah dari LP Cipinang, nama saya disebut Pak Xanana.
Lalu saya diminta untuk harus membaca isi naskah 4 halaman tersebut. Saya merasa geli mendengar namaku disebut Pak Xanana. "Bagaimana ceritanya Pak Xanana bisa langsung menunjuk saya, sementara Pak Xanana sama sekali tidak mengenal saya. Seumur-umur, saya belum satu kalipun bertemu muka dengan Pak Xanana. Tapi karena ini adalah "perintah", maka seorang Membru Juradu Renetil, tidak boleh menolak. Menolak perintah dari Pimpinan Renetil, haram hukumnya. Harus siap mengemban misi, walau taruhannya adalah nyawa.
Tapi setelah membaca naskah 4 halaman tersebut, saya menolak untuk tampil. Karena isi naskah tidak mewakili aspirasi ribuan audience yang akan menghadiri acara demo akbar 16 Mei 1998. Saat itu saya mencoba berargumen;
"Tujuan utama gerakan mahasiswa saat ini adalah untuk melengserkan Presiden Soeharto. Bukan membicarakan Kemerdekaan Timor Leste. Jika saya dipaksa naik ke panggung untuk membaca naskah 4 halaman ini, saya yakin, baru membaca kalimat pertama, saya sudah dilempari batu dan dipaksa turun dari panggung. Mahasiswa Indoensia tidak tertarik untuk mendengarkan isu mengenai Kemerdekaan Timor Leste. Kalau saya harus membaca naskah 4 halaman ini, lebih baik teman-teman cari orang lain. Jika saya yang harus maju, maka saya memilih thema sendiri. Sehingga kalau saya harus mengalami nasib seperti 4 mahasiswa Trisakti yang gugur 2 hari lalu di Jakarta, yang terpenting saya gugur karena ide saya. Bukan gugur karena ide orang lain."
Suasana diam. Hening. Tapi tegang. Lalu bagaikan koor, teman-teman bertanya; "Kalau begitu, apa thema pidatomu?"
Tanpa menunggu ditanya dua kali, saya langsung menjawab: "MR. SUPER SEMAR".
Anehnya, atau lucunya, entah karena artikulasi saya yang kurang jelas, atau teman-teman yang salah dengar, mereka malah bilang; "Oke, kalau begitu, melalui MISTERI SUPER SEMAR, pesan utama apa yang ingin kamu sampaikan?"
Mendengar pertanyaan teman-teman, saya bergumam dalam hati; "Yang saya maksudkan, bukan MISTERI SUPER SEMAR, tapi MISTER SUPER SEMAR".
Tapi saya pikir, dari pada buang waktu memperdebatkan antara MISTER dan MISTERI, lebih baik, saya ya kan saja, biar rapat cepat kelar. Lalu saya menjawab sekenanya saja:
"Pesan utama yang akan saya sampaikan melalui pidato berjudul MISTERI SUPER SEMAR adalah 'melengserkan Presiden Soeharto dalam waktu LIMA HARI. Pesan ini akan bikin heboh".
Teman-temanku kaget. Mereka tidak percaya. Bagaimana mungkin Presiden Soeharto bisa lengser dalam waktu LIMA HARI, sementara hari itu Presiden Soeharto baru kembali ke tanah air, setelah melakukan lawatan ke Mesir?
Saya berusaha keras, "membual" sebisa mungkin untuk meyakinkan teman-temanku. Tapi mereka tetap tidak percaya.
"Ya sudah, kalau kalian tidak menerima ideku, silahkan cari orang lain untuk berpidato. Masalahnya, resikonya sangat tinggi. Demo 16 Mei nanti, Kampus UNUD pasti akan dikepung Polisi dan TNI bersama panser-pansernya. Saya tidak mau mati konyol"
Saya meninggalkan ruang rapat dan masuk kamar, lalu tidur ayam. Kurang dari 10 menit, teman sekamarku, Companheiro Clemente Soares (mantan Atase Perdagangan untuk Indonesia), menyusul ke kamar dan berkata; "Teman-teman setuju dengan idemu. Terpaksa setuju karena tidak menemukan orang yang "berani" tampil. Tidak ada orang yang mau mati konyol".
Saya merasa geli mendengarnya. Lalu saya bersama Companheiro Clemente kembali ke ruang rapat. Ruang rapat adalah kamar kosnya Companheiro Domingos Caeiro (mantan Sekretaris Negara Bidang Pekerjaan Umum). Kami berjabatan tangan. Tanda "deal".
=========================
D. Pidato Supersemar dan Sumpah Ular Kuning
=========================
Pada keesokan harinya, 15 Mei 1998, Companheiro João Maupelo (asli Maliana) mendaftarkan namaku ke Panitia Pospera, sebagai salah satu orator yang akan tampil untuk berpidato pada 16 Mei. Setelah mendaftar, temanku itu kembali dan membawa berita: "Maun Toi mendapatkan nomor urut tampil 11".
Saya agak kaget mendengar berita itu. "Kok bisa ya. Saya akan membawakan pidato mengenai Surat Perintah 11 Maret, malah mendapatkan nomor urut 11. Pertanda apakah ini? Jangan-jangan...???
Banyak pertanyaan mencemaskan muncul di benakku saat itu. Masalahnya, angka 11 itu adalah angka karma, berdasarkan penelitian Ahli Numerologi India, Prof. Ravindra Kumar, sebagaimana disampaikan melalui bukunya: The Scret of Numerology. Belum lagi tanggal 16, tanggal di mana akan berlangsungnya demo akbar, juga adalah angka karma. Karmanya double, 11 dan 16. Jangan-jangan akan ada 'sniper' membidik kepalaku pada 16 Mei?
Jika Anda memiliki bukunya Prof. Ravindra Kumar (THE SECRET OF NUMEROLOGY), Anda akan membaca di sana, ada 6 jenis angka karma, yaitu: 11, 13, 14, 16, 19 dan 22. Dalam buku Prof. Ravindra Kumar, dijelaskan bahwa di antara 6 angka karma tersebut di atas, Karma 16 adalah karma yang paling menghancurkan ketika energi negatif sedang melintasi kehidupan seseorang. Nyaliku mulai ciut mengingat itu semua.
"Apa sebaiknya saya batalkan saja? Atau merubah judul pidatoku?"
Apalagi Presiden Soeharto tiba kembali di tanah air, juga pada angka karma 14, yaitu tanggal 14 Mei 1998. Kok serba angka karma ya? Sejatinya Presiden Soeharto maish harus mengikuti Pertemuan G15 di Kairo Mesir hingga kelar. Tapi karena keadaan di tanah air semakin genting, beliau mempersingkat lawatannya. Rupanya Mesir adalah negara terakhir yang dikunjungi Presiden Soeharto selama 32 tahun menduduki Kursi RI Satu.
Akhirnya tanggal 16 Mei tiba. Hari itu, Kampus Pusat UNUD, Jl. Panglima Besar Sudirman Denpasar, penuh dengan lautan manusia, membludak hingga ke jalan raya. Aparat keamanan (Polisi dengan segala perangkatnya, bersama TNI dan pansernya) mengepung Kampus UNUD. Satu per satu, para orator dipanggil naik ke panggung untuk berpidato. Setelah Orator ke-10, yaitu Pak Cusmeru (salah satu dosen UNUD) selesai berpidato, nama saya dipanggil oleh Koordinator Pospera, Adolf Tapilatu, asal Irian Jaya (saat itu, 1998, belum bernama Papua).
Saat akan melangkah ke atas panggung, Companheiro Elvis Caeiro Lopes, mendekatiku dan berbisik; "Maun Toi... Koidadu. Intel iha nee nakonu. Sira lori kilat". (Kak Toi... Hati-hati. Banyak Intel berkeliaran di sini. Mereka membawa senjata").
Setelah mendengar bisikan maut itu, saya hanya pasrah. Saya tidak bisa lagi mundur. Soalnya namaku sudah dipanggil untuk segera naik ke atas panggung. Saya cuma bergumam dalam hati:
"Kalau memang takdir menetapkan bahwa hari ini saya harus gugur, ya apa boleh buat".
Saya pun melangkah ke atas panggung diiringi teriakan dan tepukan tangan riuh redah. Setelah berada di atas panggung, saya sempat melihat, sebagian mahasiswa dengan jas yang melambangkan Almamater Trisakti, yang berada di sisi panggung menangis tersedu-sedu. Suasana haru terasa, tapi juga tegang sekali. Di atas panggung, saya memperkenalkan diri: "Saya ULAR KUNING dari Bukit Sion, akan membawakan pidato berjudul: MISTERI SUPER SEMAR".
Mendengar judul pidatoku, Kampus Pusat UNUD rasanya mau pecah. Teriakan dan dan tepuk tangan bergemuruh. Singkat cerita, pidatoku tanpa teks, berjudul: MISTERI SUPER SEMAR yang berlangsung selama sekitar 55 menit itu, mendapat sambutan luar biasa. Sejatinya saya hanya mendapat jatah waktu 30 menit. Tapi harus molor karena setiap ada tepuk tangan, saya harus berhenti dulu, memberi jeda hingga tepuk tangan berakhir, baru melanjutkan kembali.
Setelah pidato berakhir, saya memanfaatkan 5 menit terakhir untuk mengikrarkan SUMPAH ULAR KUNING. Pesan terpenting dari SUMPAH ULAR KUNING adalah;
=================================
"Saya ULAR KUNING dari Bukit Sio(n) bersumpah, bahwa pada 21 Mei 1998, sebelum waktu menunjukkan "Jam Kerahiman Ilahi”, Pak Harto sudah bukan lagi Presiden Indonesia. Jika sumpahku ini tidak terbukti, silahkan gantung saya di atas Salib besar yang akan didirikan di Kampus Pusat UNUD".
=================================
Begitu melangkah turun dari panggung, saya dikepung banyak orang, terutama rekan-rekan mahasiswa sesama Kristiani. Saya dibilang "akan membuat malu Umat Kristen, karena menyebut Salib. Mereka bilang: “Presiden DSoeharto mungkin akan lengser. Tapai untuk lengser dalam waktu LIMA HARI, itu tidak mungkin”.
Satu-satunya orang yang percaya bahwa sumpahku aklan bertuah adalah dr. Gabriel, dosenku di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Beliau Dosen Fisika Kedokteran. Ketika saya turun dari panggung, beliau mendekati saya dari belakang dan memegang telinga kananku, berbisik bahwa sumpahku akan bertuah. Melalui keponakannya yang bernama Willy, sebanyak 3x, beliau memintaku untuk mampir ke rumahnya. Tapi sayang, saya tidak pernah mampir, hingga saat ini.
Hari itu, setelah berpesan kepada Saudara Adolf dan Panitia Pospera lainnya untuk mendirikan Salib besar di kampus, saya lalu digiring menuju Jl. Pulau Ambon 28X untuk mempertanggung-jawbakan Sumpah Ular Kuning. Rekan-rekan Renetil merasa tidak nyaman. Masalah utamanya adalah Sumpah Ular Kuning, tidak sedikit pun dibicarakan dalam rapat 14 Mei 1998. Mereka tidak percaya kalau Presiden Soeharto akan lengser dalam waktu 5 hari. Mereka bilang; saya akan membuat malu, bukan hanya orang Tim-Tim, tapi juga membuat malu orang Kristen. Saat itu saya dikepung kiri-kanan. Mereka yakin, Presiden Soeharto tidak mungkin lengser dalam lima hari ke depan. Saya mendapat tekanan mental yang amat berat.
Belum lagi seorang temanku (Maun Costantino Soares), pemain basket yang berbadan paling tinggi di Impettu Bali, tiba-tiba muncul di Denpasar. Padahal sebelumnya, temanku itu sudah pulang ke Dili. Tapi tiba-tiba muncul di Denapasar. Sambil meletakkan tangannya di pundakku, Maun Costa bilang; “Monteiro, saya diutus oleh rakyat Tim-Tim kembali ke Denpasar, dengan misi utama untuk mengantarkan kamu ke kampus guna digantung pada 21 Mei 1998, jika sumpahmu tidak bertuah. Seluruh rakyat Timor Leste saat ini sedang menunggu hari paling bersejarah itu.
Akhirnya dari pada saya mendapat tekanan terus-menerus, saya meninggalkan kos dan pergi tidur di "Pasar Burung". Di Denpasar ada sebuah lokasi yang dinamakan “Pasar Burung”. Dinamakan demikian, karena yang dijual di sana hanyalah “Burung”. Saya baru kembali ke kos pada 20 Mei malam hari. Tujuan kembali ke kos pada hari itu, untuk mempersipakan diri guna digantung pada keesokan harinya, 21 Mei 1998, jika Pak Harto tidak jadi lengser.
=================================
E. Orang-Orang Mulai Berdatangan Ke Pulau Ambon
=================================
Hari itu, pagi hari, Kamis 21 Mei 1998, bertepatan dengan hari libur nasional (Hari Kenaikan Isa Almasih). Pagi itu saya masih tertidur lelap di kamar kos, di Jl. Pulau Ambon 28X Sanglah Denpasar. Pagi itu, saat saya sedang bermimpi indah, tiba-tiba mimpi indahku terputus. Saya kaget dan terbangun karena adanya bunyi keras. Ternyata bunyi mengagetkan itu dikarenakan temanku Clemente Soares menendang pintu kamar kos, sampai-sampai engsel pintu terlepas. Temanku menendang pintu, sebagai ekspersi melepaskan “ketegangan” selama 5 hari penuh, menunggu hasil Sumpah Ular Kuning.
Begitu terbangun, belum sempat reda rasa kagetku, Companheiro Clemente dan teman-teman yang lain, termasuk maun Costa, ramai-ramai menggendong saya keluar dari kamar menuju beranda induk semang (Pak Made), untuk menonton TV. Waktu itu sekitar pukul 10 pagi. Acara TV saat itu sedang menayangkan “peristiwa bersejarah”, di mana Presiden Soeharto memutuskan lengser dari kursi RI Satu yang telah diduduki beliau selama 32 tahun. Saya melihat Pak Harto menyerahkan sebuah map kepada Pak Habibie.
Saat melihat itu, saya masih belum percaya, apakah yang saya saksikan di TV itu nyata atau sekadar mimpi. Saya mencoba mencubit pahaku. Ternyata sakit. Ini bukan mimpi. Ini nyata.Teman-temanku mengucapkan selamat atas bertuahnya “Sumpah Ular Kuning”. Saya senang mendapat ucapan selamat, tapi perasaanku bukan hanya gado-gado, tapi juga nano-nano. Di satu sisi, saya sangat “happy”. Benar-benar “happy”, sampai adrenalinku seakan-akan bertumpah ruah. Tapi di sudut hatiku yang lain, ada rasa cemas. Sangat-sangat cemas memikirkan keselamatanku.
========================
F. Saya Melarikan Diri Ke Pulau Jawa
========================
Saat itu, banyak orang mulai berdatangan ke Pulau Ambon 28X. Ada yang saya kenal. Tapi lebih banyak yang tidak saya kenal. Wajah mereka asing sekali. Naluriku mengatakan sesuatu. Saya tidak lagi konsentrasi menonton TV, karena rekan-rekan yang tergabung dalam wadah Pospera mulai berdatangan ke Pulau Ambon 28X untuk memberikan ucapan selamat atas bertuahnya sumpahku.
Di antara tamau-tamu yang berdatangan, banyak yang sama sekali tidak saya kenal. Wajah mereka sangat asing. Firasatku mulai tidak enak. Saya cemas, kalau-kalau sesuatu yang serius akan terjadi. Keselamatanku terancam. Sumpah Ular Kuning memang telah bertuah. Pak Harto telah lengser. Tapi belum tentu saya selamat dengan lengsernya Pak Harto, karena banyak yang mengincar “Tongkat Ular Nabi Musa” yang saya acung-acungkan dari atas panggung saat mengikrarkan Sumpah Ular Kuning.
Saya harus segera meninggalkan tempat ini”, gumamku dalam hati. Saya mohon pamit pada teman-teman dengan alasan mau mandi dulu. Saya masuk kamar, cepat-cepat mandi (mandi kuda). Lalu packing (berkemas). Saya memasukkan pakaian ala kadarnya ke sebuah tas kecil (tas ransel). Saya memeriksa dompetku. Ternyata cukup untuk bisa melarikan diri dari Pulau Bali menyeberang ke Pulau Jawa. Pelarian (penyeberangan) antar pulau harus saya lakoni, hanya gara-gara Sumpah Ular Kuning. Saya telah menarik semua sisa uangku dari tabungan beberapa hari sebelumnya sebagai persiapan amankan diri. Saya keluar dari kamar, berjalan melewati teman-teman yang sedang keasyikan menonton acara penyerahan kekuasaan yang masih berlangsung. Saya mohon pamit mau keluar sebentar cari “modal” dan akan segera kembali untuk merayakan bertuahnya Sumpah Ular Kuning. Mereka mungkin berpikir; “saya akan segera kembali untuk merayakan bertuahnya Sumpah Ular Kuning”. Tidak tahunya, saya malah kabur menghilang, mengamankan diri ke Pulau Jawa!
Saya meninggalkan Pulau Ambon 28X Sanglah. Tiba di Jl. Teuku Umar, depan Kantor Telkom jaman itu, saya menyetop taxi. Saya naik taxi biar lebih cepat mencapai terminal Ubung, terminal antar kota (Jawa-Bali). Tiba di Ubung, saya memutuskan naik “bis estafet”. Tiba di penyeberangan Gilimanuk, saya pindah naik kapal fery. Akhirnya saya tiba di Ketapang Banyuwangi dengan aman.
Di Ketapang saya ganti naik bis estafet. Saya meneruskan perjalananku (lebih tepatnya pelarianku) dengan tujuan Surabaya. Pada malam harinya, saya berhasil tiba dengan selamat di Surabaya, tepatnya Terminal Bungurasih Surabaya, terminal yang tidak pernah tidur. Selalu ramai 24 jam. Saya benar-benar merasa sangat lelah. Saya memutuskan mandi di Terminal Bungurasih. Karena di sana ada kamar mandi (ala kadarnya) yang disediakan bagi yang membutuhkan untuk mandi tapi dengan syarat harus bayar Rp 2000.-
=============================
G. Mengunjungi Makam Suci Dusun Temu Lor
=============================
Selesai mandi, saya makan malam di terminal. Sekadar ganjal perut. Selesai makan, saya booking ticket bis malam; Surabaya-Jogja. Malam itu saya meninggalkan Surabaya menuju Jogjakarta. Tiba di Jogjakarta saya sempat “nginap” di sebuah penginapan murah, “berkelas “melati”. Nama penginapan itu juga Melati. Pada keesokan harinya saya meneruskan perjalananku menuju Sleman (konon, entah benar atau tidak, nama Kabupaten Sleman diadopsi dari nama Sulaiman alias Salomo, Anak Kandung Raja Daud, Pendiri Bangsa Israel).
Dari Sleman saya meneruskan perjalananku menuju Kecamatan Batu Gamping. Dari Batu Gamping, saya sewa ojek menuju Desa Bale Catur. Dari Bale Catur saya teruskan perjalananku menuju Dusun Temuw Lor. Di Dusun Temuw Lor saya menginap di tempat seseorang yang pekerjaaanya menjaga “makam suci”. Selama 3 hari saya tinggal bersama “penjaga makam suci itu”. Makam suci itu masih ada hubungan erat dengan “Darah Majapahit”. Setelah itu saya meninggalkan Dusun Temuw Lor kembali ke Desa Bale Catur, kembali ke Batu Gamping, dan seterusnya, meninggalkan Sulaiman alias Sleman,meninggalkan Jogja dan tiba kembali di Surabaya pada 27 Mei 1998.
=================================
H. Diminta Malaikat Menyingkir Ke Ujung-Pandang
=================================
Saat tiba di Surabaya, rencananya mau langsung balik ke Denpasar. Tapi saya memperoleh “mimpi aneh”. Malaikat muncul dalam mimpiku dan menyampaikan pesan agar saya jangan kembali dulu ke Denpasar, karena belum aman. Masih banyak orang yang mencari saya karena mereka benar-benar mengincar “Tongkat Ular Nabi Musa” yang saya bawa naik ke panggung saat mengikrarkan Sumpah Ular Kuning ada 16 Mei 1998. Dalam mimpi, saya dianjurkan Malaikat untuk mengungsi ke Ujung-Pandnag (saat ini telah ganti nama jadi Makassar). Tanggal 28 Mei 1998, saya meninggalkan Bandara Juanda Surabaya, terbang menuju Ujung-Pandang.
Di Ujung-Pandang saya tinggal di Wisma Rama (Asrama Mahasiswa Kristen) yang terletak di Jl. Sunu Ujung-Pandang Sulawesi Selatan. Selama 2 hari di Ujung-Pandang, saya mengamankan diri di Pulau Samalona bergantian dengan Pulau Khayangan (dua pulu kecil yang terletak di tengah laut, tapi masih sangat dekat dengan Kota Ujung-Pandang). Pulau Samalona memiliki pemandangan yang sangat indah karena pasir putihnya. Saya sedikit penasaran dengan nama Samalona. Karena frasa Samalona dalam Bahasa Tetun, Bahasa Nasional Timor Leste, artinya; “menginjak terpal”, atau menginjak selimut.
Tanggal 30 Mei 1998, saya kembali ke Denpasar. Tanggal 31 Mei 1998 ada dialog (pertemuan) antara Mahasiswa Impettu Bali dengan Reverendo Romo Filomeno Jacob,SJ, bertempat di Komsos St. Yosef Denpasar.
================
I. Berangkat Ke Jakarta
================
Pada Jum’at 5 Juni 1998, saya dan satu rombongan kecil (di antaranya Ibu Isabel Ferreira, Isteri Perdana Menteri Taur Matan Ruak), meninggalkan Denpasar dengan bis menuju Banyuwangi. Dari Banyuwangi kami naik kereta api menuju Jogjakarta. Pada Minggu, 7 Juni 1998, kami mengikuti Perayaan Ekaristi di Asrama Mahasiswa Tim-Tim yang terletak di Jl. Kaliurang KM 7 Jogja. Missa hari itu dipimpin oleh Almarhum Romo Mangun. Dalam kotbahnya, Romo Mangun percaya, Kemerdekaan Timor-Timur semakin dekat. Entah kenapa, beliau sempat menitikkan air mata. Beliau berharap, suatu saat bisa mengunjungi negara baru, Timor Leste.
Pada hari Rabu, 10 Juni 1998, kami meninggalkan Kota Jogja yang indah, menumpang kereta api menuju Jakarta untuk mengikuti demo akbar yang terkenal dengan nama; “Demo Deplu” pada Jumat, 12 Juni 1998. Melalui Demo Deplu itulah, lahir apa yang saya sebut; “SUMPAH REFERENDUM”. Ada yang menamakannya “Sumpah Pemuda Timor Leste”.

===========================
J. Melakoni Puasa VVV Selama 13 Tahun
===========================
Setelah Timor-Timur berpisah dari Indonesia (saya tidak mengatakan: “Timor-Timur merdeka dari Indonesia”, karena Pak Habibie bilang: Indonesia bukan penjajah seperti Perancis), pada tahun 2003, saya kembali ke Denpasar, kota yang penuh kenangan. Tujuan utama saya kembali ke Denpasar untuk menjalani PUASA VVV selama 13 tahun. Bukan 13 bulan. Saya jalani Puasa VVV dari bulan Agustus 2003 sampai Desember 2016. Salah satu tujuan (tapi bukan satu-satunya) melakoni Puasa VVV adalah untuk “membayar nazarku” kepada ALLAH Yang Maha Kuasa, karena telah memberkati sumpahku, “Sumpah Ular Kuning”, sehingga sumpah itu bertuah pada hari ke-5. Seandainya saja “Sumpah Ular Kuning″ tidak bertuah, maka artikel ini tidak akan pernah ada. Setelah melakoni Puasa VVV selama 13 tahun (2003 – 2016), memasuki tahun 2017, saya memunculkan apa yang disebut: PETISI 13 JULI, yang ditanda-tangani 13 orang yang mewakili Fretilin dan PD (Partai Demokrat). Anda bisa melihat nama dari 13 orang Petisioner yang menanda-tangani PETISI 13 JULI, dalam naskah Petisi 13 Juli, terlampir.
========================================
K. Sumpah Ular Kuning dan Petisi 13 Juli Ibarat Dua Sisi Mata Uang
========================================
Dari aspek Gematris, ada kesamaan DNA antara SUMPAH ULAR KUNING dan PETISI 13 JULI. Jika kita konversikan frasa SUMPAH ULAR KUNING dan PETISI 13 JULI ke dalam bilangan Latin, akan menghasilkan bilangan yang sama, yaitu 206.
SUMPAH(78) + ULAR(52) + KUNING(76) = 206
PETISI(78) + TIGA(37) + BELAS(39) + JULI(52) = 206.

Jadi Petisi 13 Juli itu bukan ide “karbitan” yang muncul secara tiba-tiba. Tapi melalui satu proses yang sangat panjang dan penuh liku. Petisi 13 Juli, sejatinya adalah rancangan ALLAH, sebagaimana tertulis dalam Kirab Suci. Bukan ide saya. Saya hanyalah alat, yang secara teknis-mekanis, digunakan ALLAH untuk memindahkan firman TUHAN yang tertulis dalam Kitab Suci, ke atas lembaran kertas dengan kop: PETISI 13 JULI (lihat foto terlampir).
Karena esensi Petisi 13 Juli adalah derivat(isasi) dari Firman TUHAN yang tertulis dalam Kitab Suci, maka begitu saya munculkan Petisi 13 Juli untuk pertama kalinya di akun saya (akun lama: Rama Cristo), hanya kurang dari satu jam, langsung muncul “13 Merpati” di Langit Liquisa. Anda bisa melihat foto 13 Merpati dalam foto terlampir, hasil karya Companheiro Antonio Ramos Naikoli (salah satu Kader PD), yang juga iku menanda-tangani Petisi 13 Juli.
Anehnya, formasi dari 13 Merpati yang muncul di Langit Lquisa (saat PD berkampanye di sana, pada 8 Juli 2017), seakan-akan melambangkan posisi 13 orang yang menanda-tangani Petisi Juli. Ada 11 Merpati bergerombol di satu tempat, yang melambangkan 11 orang yang menanda-tangani Petisi 13 Juli di Dili, sementara 2 Merpati lagi terpisah dari kelompok 11. Dua Merpati itu melambangkan 2 orang petisioner yang menanda-tangani Petisi 13 Juli di Bali, yakni Companheiro SBY (Sang Bangsawan Yahudi) dan Companheiro Leonito Ribeiro,SH.,MHum, yang baru saja menyelesaikan Ujian Tertutup Tingkat Doktoral/S3, untuk Bidang Hukum, pada 10 Maret 2022, di Program Pascasarjana Universitas Udayana Bali.
Esensi utama dari Petisi 13 Juli adalah: “Menyembelih Manusia Perjanjian yang merupakan Keturunan Daud”. Anda bisa membaca kalimat berbunyi: “Menyembelih Manusia Perjanjian yang merupakan Keturunan Daud”, dalam teks Petisi 13 Juli terlmpir. Tapi untuk mewujudkan hal itu (Menyembelih Manusia Perjanjian), kekuasaan negeri ini harus berada di tangan Fretilin dan PD yang telah ditetapkan ALLAH untuk menanda-tangani Petisi 13 Juli. Wajib hukumnya, Fretilin dan PD harus menjadi “episentrum kekuasaan”, untuk mewujudkan esensi Petisi 13 Juli.
Tapi sayangnya, saat itu, Fretilin dan PD yang telah membentuk Kabinet 7 (bermodalkan 30 kursi di Parlamen Nasional), malah digugurkan oleh AMP (Aliansi Mayoritas Parlamen) pada 17 Oktober 2017. Semenjak saat itulah “kebuntuan politik” (impasse politica) muncul dan berlangsung sampai saat ini (2022).
Saya mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena atas perlindunganNya lah, hari ini, 11 Maret 2022, saya masih diberi nafas kehidupan untuk menuliskan “kesaksian” ini. Semoga bermanfaat. TUHAN YESUS memberkati kita semua. Amen.
“Sebuah revolusi berhasil atau gagal, orang-orang kecil selalu menjadi korban” (n.n).

Tidak ada komentar: