Pengantar Singkat
Konstitusi pada dasarnya adalah kontrak antara generasi hari ini, masa lalu, dan masa depan.
Catatan ini sekedar sebuah refleksi pribadi. Tidak mewakili lembaga atau organisasi mana pun. Isu sentral yang diangkat dalam catatan ini adalah: “Mempertanyakan fakta, mengapa, dari 170 pasal Konstitusi Timor Leste, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN, kecuali hanya disebutkan sambil lalu sebanyak 1x dalam Preamblu (Pembukaan)?”
Hari ini, 20 Mei 2021, di
Indonesia dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sementara di Timor
Leste, dirayakan sebagai hari Restaurasi Kemerdekaan. Restaurasi Kemerdekaan Timor
Leste dideklarasikan pada 20 Mei 2002, 19 tahun lalu, mengambil tempat di Tassi
Tolu Dili, situs bersejarah yang pernah digunakan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II untuk merayakan Missa Agung pada Kamis, 12 Oktober 1989.
Deklarasi Restaurasi
Kemerdekaan (versi orang Timor Leste), atau oleh komunitas internasional
dikenal sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste, dihadiri sejumlah
pemimpin dunia, antara lain;
1.
Kofi Annan, Sekjen PBB.
2.
Bill Jefferson Clinton,
Presiden Amerika ke-42.
3.
Jorge Fernando Branco de
Sampaio, Presiden Portugal (kelahiran Portugal, keturunan Yahudi).
4.
Megawati Soekarnoputeri,
Presiden RI ke-5.
5.
John Howard, Perdana
Menteri Australia.
6.
Helen Clark, Perdana Menteri Selandia Baru.
7.
James Wolfenson, Presiden Bank Dunia.
Di antara pemimpin dunia yang disebutkan di atas, pemimpin yang tiba di Tassi Tolu paling akhir, adalah Ibu Megawati Soekarnoputri. Beliau tiba di Tassi Tolu malam hari, tepatnya pada pukul 21.15, Waktu Dili.
Menjelang detik-detik Proklamasi, Sekjen PBB Kofi Annan, memanggil Presiden Timor Leste, José Alexandre Kayrala Xanana Gusmão, naik ke panggung untuk menyaksikan penurunan bendera UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor), dan diganti dengan pengibaran bendera Timor Leste sambil diiringi lagu kebangsaan Timor Leste, Patria Patria. Kemudian Bendera UNTAET diserahkan kepada Sekjen PBB.
Perayaan Proklamasi
Kemerdekaan Timor Leste, 20 Mei 2002, sejatinya dimulai pada pukul 16.00 Waktu
Dili, dibuka dengan Missa yang dipimpin Pemenang Nobel Perdamaian 1996, yang
saat itu menjabat sebagai Uskup Dili, Mgr. Dom Carlos Felipe Ximenes Belo,SDB,
didampingi Uskup Baucau, Mgr. Dom Basilio do Nascimento,Pr, dan dihadiri
sekitar 20 Uskup dan ratusan Wakil Gereja Katolik Roma sedunia, termasuk utusan
Khusus Paus Yohanes Paulus II, Renato Martinho, Duta Besar Vatikan untuk
Indonesia, Renzo Fratini, dan Ketua KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia),
Kardinal Julius Darmaatmadja.
KONSTITUSI TIMOR LESTE
MEMASTIKAN IDENTITAS TIMOR LESTE SEBAGAI NEGARA ULTRA SEKULER
Pada 30 Juli 2012, tengah
malam, salah satu TV Nasional Indonesia menayangkan satu acara dengan thema
sentral: “Timor Leste Adalah Negara Ultra Sekuler”. Dalam tayangan tersebut,
Sekjen Fretilin, yang juga mantan Perdana Menteri Timor Leste, Dr. Mari
Alkatiri, diwawancarai.
Tentunya TV Nasional Indonesia tidak salah mengangkat thema tersebut (Timor Leste adalah negara ultra sekuler), karena alat ukurnya jelas, yakni Konstitusi Timor Leste. Dari 170 pasal, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN. Sementara negara-negara dengan sebutan sekuler lainnya seperti misalnya Amerika Serikat, masih sempat-sempatnya menyebutkan Nama TUHAN. Tapi kenapa Timor Leste sama sekali tidak menyebutkan? Di sinilah letak “ultra sekulernya”.
Coba Anda ambil peta,
dan lihat baik-baik letak geografis wilayah Timor Leste. Di Barat, ada negara
raksasa, Indonesia yang melakukan invasi atas wilayah Timorn Portugis, pada 7
Desember 1975, kemudian menduduki Timor-Timur dan menentang perjuangan
Kemerdekaan Timor Leste. Di Selatan, ada negara raksasa Australia, yang bersama
Amerika Serikat (lebih tepatnya sering menjadi satelitnya Amerika), lebih
sering memperlihatkan politik luar negerinya yang memiliki standar ganda, dalam
menyikapi perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Pada saat tertentu, mendukung.
Tapi pada saat yang lain, menentang. Australia lebih memprioritaskan kepentingannya
dengan Indonesia, dari pada mementingkan kepentingan perjuangan Kemerdekaan
Timor Leste.
Hanya saat-saat
terakhir, setelah Indonesia dihantam krisis moneter dan suksesi nasional
berjalan tidak normal dengan mundurnya Presdien Soeharto dan naiknya Wakil
Presiden Habibie, lalu pada 27 Januari 1999, Presiden Habibie secara tiba-tiba mengejutkan
komunitas internasional dengan mengumumkan dua opsi untuk penyelesaian masalah
Timor-Timur (memilih Otonomi atau keluar dari bingkai NKRI), Perdana Menteri
John Howard langsung mengontak Presiden Habibie dan mengusulkan teknis
penyelesaian masalah Timor-Timur. PM John Howard menyarankan Indonesia untuk
mengadopsi pola yang digunakan Perancis dalam menyelesaikan Kale-Donia Baru.
Presiden Habibie marah besar dan berkata; “Indonesia bukan penjajah seperti
Perancis”.
Faktor penghambat lainnya adalah Amerika Serikat yang menerapkan standar ganda, minimal sebelum munculnya Presiden Bill Clinton. Di depan, Pemerintah Amerika mencoba mengecam Indonesia atas pelanggaran HAM di Timor-Timur, namun di belakang, bantuan militer terus mengalir ke Indonesia. Faktor penghambat terbesar lainnya adalah dari dalam negeri Timor-Timur sendiri. Adanya fakta bahwa sebagian masyarakat Timor-Timur memang menginginkan Timor-Timur menjadi bagian integral NKRI.
Terlalu sulit untuk
menemukan faktor pendukung yang signifikan guna meringankan beban perjuangan
kemerdekaan Timor Leste. Secara matematis porsinya sangat kecil. Kebetulan saja,
proses dekolonisasi Timor Portugis masih dianggap belum selesai oleh PBB. Portugal
gagal menyelesaikan proses dekolonisasi pasca Revolusi Bunga di Lisabon 25
April 1974. Begitu pecah perang sipil di wilayah Timor Portugis, orang Timor
Portugis saling membantai, Indonesia melakukan invasi pada 7 Desember 1975, pejabat
Portugis terakhir di Dili, Gubernur Lemos Pires, digambarkan oleh pejabat
Indonesia, dalam apa yang disebut: “lari terbirit-birit” meninggalkan Dili,
menuju Atauro (Pulau kambing).
Walau lari terbirit-birit,
namun karena dihadapkan pada tanggung-jawab moral, karena telah menjajah Timor
Portugis selama 460 tahun (1515-1975), Portugal dengan susah payah, tetap
memberikan dukungannya untuk Kemerdekaan Timor Leste. Namun berhubung Portugal
bukanlah negara yang secara politis, memiliki pengaruh kuat di dunia
internasional seperti Amerika, dan juga secara ekonomi, Portugal bukanlah
negara kaya, belum lagi secara geografis, letaknya yang nun jauh di seberang
lautan, dukungan Portugal sering mentok. Satu-satunya kekuatan yang memberikan
energi terbesar bagi perjuangan Kemerdekaan Timor Leste adalah “Gereja Katolik
Roma”. Boleh dibilang: “Gereja Katolik Roma memainkan peran sentralisitik dalam
perjuangan Kemerdekaan Timor Leste yang beradarh-darah.
Ini fakta. Bukan cerita
utopis. Salah satu alat ukurnya adalah; “Nobel Perdamaian yang diterima Uskup
Belo pada Desember 1996”. Pada masa-masa perjuangan fisik, para pejuang
Kemerdekaan Timor Leste sering “ngumpet di bawah jubah Gereja Katolik Roma”. Banyak
Praktisi Gereja Katolik yang diberi stigma “GPK” kepala dua, hanya demi
Kemerdekaan Timor Leste. Tapi ironinya; setelah Timor Leste mencapai
Kemerdekaannya, dari 170 pasal yang disusun Majelis Konstituante yang terdiri dari
88 orang (55 orang dari Fretilin), tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama
TUHAN. Sekali lagi, di sinilah letak ironi besar itu.
Maka hari ini,
bertepatan dengan 19 tahun perayaan Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste, saya
secara pribadi mempertanyakan, kenapa dari 170 pasal, tidak satu pasal pun yang
menyebutkan Nama TUHAN, bukan karena saya berkaca pada Konstitusi negara lain
yang secara eksplisit mengakui peran sentralisitik TUHAN dalam berdirinya
negara-negara besar di berbagai belahan bumi, melainkan karena saya berkaca
pada sejarah perjuangan bangsa ini sebagai referensi utama.
Jika disimak lebih jauh lagi, tersaji fakta bahwa, negara-negara besar yang terlibat dalam sejarah Timor Leste yang berdarah-darah (Indonesia harus kehilangan lebih dari 35 ribu prajuritnya di Timor-Timur, belum terhitung ribuan lainnya yang cacat), adalah negara-negara yang Konstitusinya selalu menyebutkan Nama TUHAN. Contohnya; Indonesia, Australia dan Amerika, memiliki Konstitusi yang secara khusus menyebutkan “Nama TUHAN” pada tempat yang paling pertama dan utama.
Tapi sekali lagi, pertanyaan
ironinya adalah, “Kenapa Timor Leste yang wilayah geografisnya sangat kecil (hanya
setengah pulau) dan secara ekonomi, sangat miskin di mata dunia, justeru
menolak menyebutkan Nama TUHAN? Kecuali hanya 1x disebutkan secara “sambil lalu”
(ogah-ogahan) di Preamblu (Pembukaan). Kenapa? Apakah karena Majelis
Konstituante yang terdiri dari 88 orang yang menyusun Konstitusi Timor Leste,
sebagian besar didominasi oleh Fretilin (55 orang?), yang artinya, Fretilin
tetap konsisten mempertahankan ideologi kirinya? Ataukah karena memang watak
asli orang Timor Leste, yang dengan ketegaran tengkuk dan kecongkakan hati,
dengan penuh kesadaran, sengaja menyingkirkan TUHAN dari konstitusi negara,
karena menganggap bahwa TUHAN tidak memiliki andil sama sekali dalam berdirinya
Negara Timor Leste ?”
MENGINTIP POTONGAN
KONSTITUSI NEGARA LAIN
1.Konstitusi Argentina:
“Kami memohon
perlindungan Tuhan, sumber dari semua alasan dan keadilan…”
2.Konstitusi Albania:
“Kami bangsa Albania,
bangga dan sadar akan sejarah kami, dengan tanggung-jawab untuk masa depan dan
iman kepada Tuhan”.
3.Konstitusi Aljazair:
“Dalam Nama Tuhan Yang
Maha Penyayang dan Penuh Welas Asih….”
4.Konstitusi Indonesia
“Atas berkat dan rahmat
Allah….” (alinea 3 Pembukaan UUD 45).
Indonesia adalah negara besar yang paling dekat dengan Timor Leste (berbatasan darat), dengan wilayahnya yang sangat luas, dengan kekayaan alamnya yang tidak akan habis dimakan 77 turunan, memiliki jumlah populasi penduduk nomor 4 dunia (setelah Cina, India dan Amerika), memberikan tempat yang pertama dan utama untuk TUHAN.
Falsafah hidup Indonesia
(Pancasila) yang terdiri dari 5 sila, sila pertama mengakui adanya TUHAN Yang
Maha Esa. Selain itu, dalam Pembukaan UUD 45, peran sentral(istik) ALLAH dalam
pencapaian Kemerdekaan Indonesia, diakui seara nyata oleh rakyat Indonesia dan ditulis
secara eksplisit di alinea 3, yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa..dst). Juga dalam Batang Tubuh UUD 45, pasal 29, diatur mengenai
agama dan kepercayaan warga negaranya.
5. Konstitusi Australia
“Kami dengan rendah hati
mengandalkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa…”
Coba simak lebih jauh, apa
kata Konstitusi orang-orang Australia berikut ini: “Kami orang-orang New South
Wales, Victoria, Australia Selatan, Queensland, dan Tasmania, bergantung pada
berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan telah sepakat untuk bersatu dalam satu
Persemakmuran Federal yang tak terpisahkan di bawah Mahkota Ratu Britania Raya
dan Irlandia dan di bawah konstitusi ini, menetapkan…dst).
6. Konstitusi Amerika
Serikat
“In God we trust…” “For
God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara).
Amerika Serikat, dengan
jelas memberikan tempat yang spesial untuk TUHAN. Dalam mata uang lembaran
dolar Amerika, tertulis kalimat: “In God we trust”. Bukan hanya itu. Coba simak
motto Lembaga Veteran Amerika Serikat. Para
Veteran bersemboyan: “For God and Country” (Untuk Tuhan dan
Negara).
Di setiap hotel di AS selalu tersedia Injil di
setiap kamarnya, bahkan ada yang menyediakan dua Injil tiap kamar. Padahal AS
adalah negeri sekular. Pun demikian dengan prosesi pelantikan presiden atau
wakil presiden, tak pernah luput dari ikrar atas nama Tuhan dan di hadapan
pemimpin agama. Di setiap kontitusi
negara bagian (ada 50 negara bagian), selalu ada Nama TUHAN disebutkan. Minimal
1x.
Ada trend saat ini, di mana AS
berada dalam genggaman yang oleh sebagian warga AS sendiri disebut sebagai kaum
konservatif, bahkan fundamentalis Kristen. Pada jaman pemerintahan Presiden Bush
Jr, Bush sendiri 'kelepasan lidah' saat menyebut kata “Crusade” (Perang Suci)
setelah tragedi 9/11. Bayangkan, pemimpin dari negara adidaya seperti Amerika
Serikat, memperlihatkan sisi Spiritulitas mereka yang kental. Tapi anehnya, kok
Timor Leste yang kecil dan miskin justeru memperlihatkan “ketegaran tengkuk dan
kecongkakan hatinya?” Apakah TUHAN akan memperlihatkan murkaNya di masa depan,
saat Timor Leste benar-benar kolaps setelah Greater Sunrise terkuras habis,
lalu negara-negara besar berlomba untuk “mengakuisisi” Timor Leste yang
bangkrut? Mungkin kita-kita yang membaca catatan ini, saat itu sudah berada di “dunia
lain”.
GERAKAN SEKULARISASI JAMAN INI
Saat ini, tampaknya, manusia
didominasi peradaban Barat modern yang
berlandaskan pada paham sekularisme, rasionalisme, utilitarianisme, dan
materialisme. Peradaban ini mendekatkan manusia ke ambang kehancuran, walau
kita tidak menutup mata, ada berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh
peradaban ini. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban modern ini
juga telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimbangan sosial,
kerusakan lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat
sosial atau standar etika dan moral dalam diri individu atau masyarakat). Tidak
terdapat keseimbangan dan ketertiban di masyarakat.
Peradaban Barat modern sebagai
mana ditulis sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi
sekaligus sebuah drama yang tragis (a
tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi
sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat berbagai
kemudahan fasilitas hidup, tapi pada sisi lain, peradaban ini memberi
kontribusi yang tidak kecil kepada penghancuran alam semesta. (Marvin Perry, Western Civilization : A Brief History,
Boston New York : Hough ton Mifflin Company, 1997, hlm. xxi.).
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sekularisme
adalah faham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu
didasarkan pada ajaran agama. Sementara sekuler berarti, bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat
keagamaan atau kerohanian). Lalu sekularitas adalah: 1 kehidupan
duniawi; 2 kedudukan
seorang pejabat duniawi (bukan jabatan keagamaan); 3 daerah kekuasaan hukum duniawi
dari organisasi keagamaan.
APAKAH MASIH RELEVAN MEMENTINGKAN
NAMA TUHAN DALAM KONSTITUSI?
Negara-negara Eropa Tengah dan Barat, mengutip Konrad Schmid dalam “In the Name of God? The Problem of Religious
or Non-religious Preambles of State Constitutions in Post-atheistic Context”
(2004), beranggapan penyertaan agama dan Tuhan dalam konstitusi sudah tidak
lagi relevan. Perancis dan Jerman, contohnya, mulai memisahkan agama dan negara
ke dalam dua ruang yang berbeda. Polandia, yang dikenal sebagai negara dengan
penduduk Katolik terbanyak di dunia pun, perlahan menempatkan agama dan negara
tidak pada satu ruangan.
Bagi negara-negara Eropa Barat dan Tengah, negara harus netral dari
urusan agama. Pasalnya, tanpa negara pun, agama sudah punya tempat untuk
menafsirkan aturannya sendiri. Dikhawatirkan, ketika agama masuk dalam
instrumen negara (baca: konstitusi), yang ada hanyalah konflik berkepanjangan
seperti yang terjadi di Ceko pada 1940-1950-an ketika Gereja Katolik menjadi
target pemberangusan rezim komunis.
Konstitusi, tegas Coleman, pada dasarnya adalah kontrak yang tak hanya
melibatkan warga negara, pemerintah, dan sistem hukum. Konstitusi juga
merupakan kontrak yang melibatkan generasi sekarang, masa lalu, dan masa depan.
Konstitusi harus mengakui nilai-nilai yang tak cuma dipercayai orang beragama
(mayoritas), tapi juga oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dan
sebaik-baiknya konstitusi adalah yang merangkul semua warga negara, alih-alih
menjadi tameng bagi kelompok agama tertentu.
Orang-orang penganut faham sekuler yang kental beranggapan bahwa, tak
ada jaminan, konstitusi yang memuat unsur agama atau ketuhanan, bisa mengubah
masyarakat di dalamnya menjadi lebih religius. Contohnya ada pada
Massachusetts, New Hampshire, dan Vermont. Konstitusi ketiga negara bagian ini
paling banyak menyertakan terma “Tuhan.” Namun, berdasarkan riset Pew Center
pada 2016, ketiganya justru menjadi negara bagian paling tidak religius di AS.
Faktor Sejarah
Rujukan kepada Tuhan, tulis Marc Coleman dalam “God and the EU Constitution: The Case for a “New Covenant” (2004)
yang dipublikasikan di Studies: An Irish
Quarterly Review, memang sering dijumpai di bagian pembuka konstitusi.
Rujukan ini dibedakan menjadi dua, yakni "Permohonan kepada Tuhan" (Invocatio Dei) dan "Penyebutan Tuhan"
(Nominatio Dei). Sebagaimana
dijelaskan Randall Lesaffer dalam “Peace
Treaties and International Law in European History: from the Late Middle Ages
to World War One” (2004) yang diterbitkan American Historical Review, Invocatio
Dei punya riwayat historis yang panjang dalam hierarki hukum Eropa. Pada
zaman kuno dan Abad Pertengahan, sosok dewa atau Tuhan biasanya disertakan
dalam kontrak sebagai jaminan.
Formula seperti “Atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus” lazim dipakai di
awal dokumen hukum guna menekankan keadilan dari norma yang dibuat. Perjanjian
semacam ini diterapkan di antara negara-negara Kristen sampai akhir abad 19.
Sedangkan “Nominatio Dei” sendiri
dapat ditemukan di beberapa tradisi konstitusi Eropa yang mencerminkan kekuatan
posisi gereja di atas negara.
Dalam perjalanannya, konsep Invocatio
Dei dan Nominatio Dei punya
beberapa tujuan. Pertama, memberi legitimasi negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan di mana raja dianggap sebagai manifestasi Tuhan di bumi sehingga
berwenang untuk memerintah sesuai kehendak ilahi. Kedua, menunjukkan dukungan
negara untuk agama tertentu. Ketiga, melanggengkan sejarah dan tradisi sebuah
negara.
Seiring waktu, konstitusi tertulis menjadi norma bagi negara-negara
modern pada abad 19. Beberapa negara Eropa pun mempertahankan tradisi agama ke
dalam dokumen pendirian mereka. Sekalipun ingin menyelenggarakan pemerintahan
sekuler dan republikan, yang berbeda dari pemerintahan ala monarki, kata
"Tuhan" kerap dikutip sebagai alat legitimasi. Namun, tak sedikit
negara yang mulai memisahkan urusan agama dengan negara dengan alasan menjaga netralitas
agama. Negara-negara Eropa yang menerapkan aturan main semacam ini antara lain
Islandia, Italia, Portugal, Jerman, Perancis, dan Spanyol.
WARISAN VETERANUS UNTUK GENERASI MASA DEPAN
Markus Tullius Cicero,
ahli hukum, filsuf, orator ulung, yang hidup di Italia pada jaman Romawi Kuno
(lahir di pada 3 Januari 106 Sebelum Masehi, meninggal pada 7 Desember 43
Sebelum Masehi), terkenal dengan ucapannya yang dipopulerlkan oleh Presiden ke-35
Amerika Serikat, John Fitgerald Kennedy (Presiden Katolik yang tertembak di
Dallas pada 22 November 1963): “Jangan bertanya, apa yang negara berikan
kepadamu. Tetapi bertanyalah, apa yang kamu berikan kepada negara?”
Pada kekinian, pasca 20
Mei 2002, para Veteran Perang Timor Leste tidak lagi bertanya; “Apa yang akan
saya berikan kepada negara?” Tapi mereka (termasuk saya yang menuliskan catatan
ini), lebih senang bertanya; “Apa yang akan negara berikan kepada saya?”
Pola bahasa wajib para
pemimpin Timor Leste saat ini, termasuk pengikut-pengikut fanatiknya (salah satunya
mungkin saya yang menuliskan catatan ini), adalah; “Di masa lalu, kami telah
berjuang untuk negara ini. Kami lah kausa prima dari berdirinya negara ini.
Negara ini merdeka karena kami. Bukan karena TUHAN. Maka kami, bukan hanya menutut hak-hak kami untuk hidup secara layak,
tetapi kami ingin dihormati dan dielu-elukan. Bahkan kalau perlu, kami harus
dikultuskan hingga ajal menjemput”.
Coba lihat fakta saat
ini. Hampir semua lembaga negara penting di Timor Leste, dipimpin para Veteranus.
Yang menjadi Presiden Republik saat ini (Francisco Guterres Lu-Olo), adalah
Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Yang menduduki kursi
Perdana Menteri saat ini (Taur Matan Ruak) saat ini, adalah Veteranus dari
Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Sementara yang memimpin Partai Oposisi di
Parlamen saat ini, walau berada di luar sistim (José Alexandre Kayrala Xanana
Gusmão), adalah Komandan Tertinggi Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata
(Falintil). Bahkan, the rising star,
yang saat ini menduduki Kursi Presiden Parlamen Nasional (Companheiro Aniceto
Guterres), yang kadang terlalu reaktif dan sering melakukan blunder melalui
komentar-komentarnya, juga adalah Veteranus dari Front Klandestin (Renetil).
Kesimpulannya, jika saat
ini muncul banyak masalah, konflik politik yang tidak ada ujung-pangkalnya,
yang melahirkan berbagai pathologi sosial, termasuk korupsi yang meraja-lela, peggunaan
anggaran negara yag tiak pada tempatnya, pengangguran yang tumbuh bagaikan cendawan
di musim penghujan, starvasi dan malnutrisi yang melanda rakyat kecil, dan
berbagai masalah negara lainnya, secara moral maupun secara politik, yang harus
bertanggung-jawab adalah para Veteranus, karena, sedikit atau banyak, mereka memiliki
saham atas berbagai masalah yang terjadi di negeri ini. Itu artinya, jika di
kemudian hari, negara ini harus kolaps dan kemudian jatuh ke dalam status “negara
gagal (failed state), itu karena ulah
para Veteranus yang lebih mementingkan ego, ketimbang mementingkan kepentingan
rakyat kecil.
Pertanyaan menggodanya adalah; “Jika motto Lembaga Veteran Amerika Serikat, berbunyi: “For
God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara), lalu apa motto Veteranus Timor
Leste? Dengan berkaca pada perilaku “egosentris” Veteranus Timor Leste saat
ini, maka mungkin motto yang paling tepat dari Veteranus Timor Leste, bunyinya
adalah: “Untuk dolar dan kekuasaan”. Bukan untuk “Tuhan dan Negara”. Bayangkan,
demi dolar dan kekuasaan, ribuan veteranus palsu memenuhi daftar Veteranus yang
ada di Ministeriu Assuntu Kombantente Libertasaun Nasional, yang saat ini
dipimpin oleh seorang menteri yang juga memiliki latar belakang Veteranus, yaitu
Senhor Julio da Costa Sarmento “Meta-Mali”.
KESIMPULAN
1.
Diakui atau tidak, berkat dan
rahmat Allah, tetap merupakan kausa prima, bukan hanya bagi lahirnya negara
ini, tapi juga sekaligus bagi tetap eksisnya negara ini di masa depan.
2.
Selama 19
tahun restaurasi kemerdekaan, pembangunan di Timor Leste mengalami “set-back” (kemunduran
signifikan), dan salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku egosentris para
Veteran yang menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan publik yang tidak populer,
yang ujung-ujungnya merugikan kepentingan banyak orang.
3. Melihat kenyataan saat ini, maka ada keniscayaan, warisan terbesar yang akan ditinggalkan para pendiri negara (Veteran) untuk generasi muda di masa depan adalah “negara gagal” (failed state).
SARAN
1.
Perlu
dipertimbangkan untuk melakukan amandamen Konstitusi Timor Leste. Amandamen
untuk isu yang mana? Saya yakin Anda tahu ke arah mana tujuan saya. Banyak
negara yang berkali-kali melakukan amandamen terhadap konstitusi mereka, karena
konstitusi bukan Kitab Suci yang berisi ajaran-ajaran dogmatis. Contohnya,
Indonesia sudah 4x melakukan amandamen terhadap UUD 1945.
2 Jujur saja, saya sebenarnya ingin memberikan saran kedua begini: Sudah saatnya, secara gradual, perlu dilakukan peralihan kepemimpinan nasional, dari generasi tua ke generasi muda. Karena, jika Generasi Tua tetap memegang kepemimpinan nasional, maka polarisasi konflik (politik) yang akan terjadi adalah “perang opini” antar kaum konservatif-orthodox, untuk mempertahankan egonya masing-masing, tapi bukan”perang pengetahuan” antar kaum demokrat-moderat, untuk membangun negara ini menjadi lebih baik. Namun dengan melihat data statistik, saya menjadi ragu untuk memberikan saran tersebut di atas. Coba Anda lihat faktanya. Selama 19 tahun restaurasi kemerdekaan, hampir tidak ada sama sekali, generasi tua (generasi 75) yang menghuni hotel prodeo karena kasus korupsi. Bahkan 99,99% penghuni hotel prodeo karena kasus korupsi, adalah generasi yang lebih muda. Maka saya membenarkan pesan Uskup Belo, bahwa kita memang berhasil memperoleh kemerdekaan, tapi kita mengalami degradasi moral(itas). Dengan demikian, masalah moralitas, menjadi tantangan terbesar bagi kaum muda Timor Leste untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, kaum muda Timor Leste perlu memperbaiki diri, agar dengan demikian, yang lebih berkembang dalam diri kita adalah, fungsi-fungsi luhur, yang diletakkan Allah di tempat yang paling tinggi (yaitu otak), bukan nafsu-nafsu rendah yang tersembunyi di antara “selangkangan”.
Daftar
Referensi:
Seluruh
referensi dalam daftar ini, diakses pada 20 Mei 2021.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jorge_Sampaio.
https://id.wikisource.org/wiki/Konstitusi_Amerika_Serikat.
https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/kristen/Sejarah/Asal-usul.html.
https://nasional.tempo.co/read/1234816/4-kali-amandemen-uud-1945-ini-perubahannya.
https://tet.wikipedia.org/wiki/Konstituisaun-Republika-Demokratika-Timor-Leste-nian.
https://tirto.id/puluhan-konstitusi-sebut-kata-tuhan-segelintir-yang-bertauhid-dalH.
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-38017711
https://www.google.com/Konstituisao+Portugueza&oq=Konstituisao+Portugueza.
https://www.google.com/sekularisme+menurut+kbbi&oq=sekularisme.
https://www.gov.pl/web/indonesia-en/bilateral-relations-timor-leste.
https://www.mountvernon.org/george-washington/constitutional-convention/?gclid.
https://www.umy.ac.id/ajaran-ham-versi-amerika-serikat-merupakan-bagian-dari-sekularisme.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar