SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Rabu, 05 Mei 2021

MEMAKSAKAN KEBIJAKAN YANG TIDAK POPULER DISERTAI BERBAGAI ANCAMAN HANYA AKAN MENYEBABKAN NEGARA TERLIHAT SEPERTI TERORIS & DIKTATOR (seri 1)


Pengantar Singkat

Artikel ini sudah pernah ditayangkan di laman face book Antoninho Benjamin Monteiro. Bisa diklik di link di bawah.
(https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/481375799733538).

Tahun lalu, 28 Maret 2020, negara memutuskan untuk melakukan "lockdown", tujuannya untuk mencegah masuknya virus SARS CoV-2 dari luar negeri, yang menyebabkan penyakit Covid 19.
Tapi kini, virus SARS-CoV-2 telah merajalela di Timor Leste? Tiap hari negara menghitung kata "positif". Itu artinya, jika tujuan dilakukannya lockdown adalah untuk mencegah masuknya virus SARS CoV-2, maka tujuan itu gagal tercapai. Gagal tercapai, kausanya karena multi faktor. Lalu apa tujuan lockdown yang masih diberlakukan saat ini, sementara virus SARS CoV-2 sudah memenuhi seluruh teritori Timor Leste, bahkan, setidaknya untuk Kota Dili telah terjadi penyebaran secara Community Transmission? Tentu harus ada redefinisi tujuan lockdown saat ini. Jika pada level misi, ada redefenisi tujuan lockdown, maka akan memiliki "domino effect" pada level, program, sasaran/target dan implementasinya.
Negara didirikan dengan 2 tujuan elementer, yaitu:
1. Untuk melindungi warganya.
2. Untuk mensejahterakan warganya.
Salah satu saja dari tua tujuan elementer di atas gagal diwujudkan, maka negara tersebut bisa diklafisikan sebagai negara gagal alias failed state (Francis Stewart, 2005).
Dengan menggunakan referensi di atas, maka sejatinya, keputusan negara untuk memperpanjang EE (Estadu Emerjensia) yang ke-13 kemarin, 29 April 2021, itu artinya negara sedang mengimplementasikan tujuan pertama untuk melindungi warganya dari paparan virus SARS CoV-2, kausa dari penyakit Covid 19.
Jadi, negara sebenarnya tidak salah dalam memberlakukan EE, karena tujuannya baik. Bahkan bukan hanya baik, tapi juga mulia. Apa yang baik dan mulia, tidak bertentangan dengan norma agama, norma moral dan juga hukum-hukum positif. Maka seharusnya, semua warga negara wajib mendukung kebijakan negara yang memiliki tujuan baik dan mulia.
EKSESNYA ITU YANG MENJADI MASALAH
Tapi yang menjadi masalah adalah, wujud perlindungan yang diberlakukan negara, memiliki implikasi negatif, bahkan memunculkan ekses yang sangat merugikan. Karena negara terlalu "over-estimate", akhirnya terlalu "over-protective'. Over-estimate yang kemudian membawa negara pada level over-protective, bisa juga disebabkan oleh "teori asumsi" yang diadopsi negara. Saya tidak akan membahas "teori asumsi" pada seri pertama ini. Jika ada waktu, saya akan membahas "teori asumsi" di seri mendatang.
Padahal sejatinya, tidak akan terjadi apa-apa jika kebijakan negara berbasis data, bukan melulu berbasis "teori asumsi" ditambah ketakutan yang berlebihan (FobCov = Fobia Covid)).
Sekali lagi, kebijakan negara harus berpegang pada data, berpegang pada hal-hal empiris yang terjadi di dunia nyata sebagai referensi, kemudian berpikir strategis dan bertindak taktis (meminjam istilah Almarhum Prof. Rama Metan/Rektor Unpaz I), dan kemudian negara memutuskan untuk keluar dari "comfort zone (zona nyaman).
Menurut perspektif saya, kebijakan negara yang terkesan FobCov, memperlihatkan karakter para "decision makers" yang adalah (maaf), "orang-orang penakut" yang suka mendramatisir situasi. Akhirnya mengidap FobCov berat. FobCov tingkat dewa.
Jika negara tetap bermain aman, yang terpenting kepala negaranya tiap bulan memanen ribuan dolar, kepala pemerintah bersama menteri-menterinya tiap bulan memanen ribuan dollar, pimpinan legislatifnya yang sudah "berselingkuh" dengan exekutif, tiap bulan memanen ribuan dolar, maka rakyat kecil yang jadi tumbal besar.
Kenapa?
Karena, hanya gara-gara negara dipimpin oleh orang-orang penakut yang mengalami FobCov tingkat dewa, maka negara akan menghabiskan segala sumber daya hanya untuk mengurus "orang-orang sehat yang terpapar SARS CoV-2, tapi bukan mengurus orang-orang yang sakit yang terinfeksi Covid 19 (yang jumlahnya sangat-sangat sedikit) dan entah atas pertimbangan apa, negara lebih memilih mengorbankan hal-hal fundamental dengan mengurus orang-orang sehat yang terpapar SARS CoV-2??
Bayangkan...aktivitas pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, ditutup. Kegiatan keagamaan ditutup. Aktivitas perekonomian lumpuh total. Transportasi publik berhenti beroperasi. Supir-supir menganggur. Pengusaha-pengusaha transportasi gulung tikar. Pembangunan di bidang infrastruktur, sudah 4 tahun berjalan di tempat, karena sebelum Covid 19 muncul, Timor Leste sudah menderita gara-gara "kebuntuan politik" (impasse politika).
Banyak perusahaan di Timor Leste terpaksa ditutup. Banyak karyawan di-PHK. Pengangguran meningkat drastis. Dengan banyak orang yang kehilangan pekerjaan, imbasnya, banyak orang akan kekurangan gizi, dan ujung-ujungnya, insidensi dan prevalensi TBC akan melonjak drastis (TBC adalah penyakit yang melambangkan negara miskin).
Bukan hanya itu. Saat ini banyak bermunculan orang gila baru (insidensi) ditambah orang gila lama yang kambuh kembali (prevalensi). Data di senter-senter kesehatan memperlihatkan meningkat drastisnya orang-orang yang mengalami depresi. Ingat, depresi, bisa memicu psikosis (psikosis itu memiliki ciri-ciri kehilangan kemampuan menilai realita). Orang-orang yang memiliki bibit psikosis, psikosisnya akan kambuh kembali jika mengalami depresi. Salah satu manifestasi depresi yang paling berat adalah tindakan bunuh diri seorang ibu muda, sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Dili. Jika teori "Ice berg phenomena (fenomena gunung es) dijadikan alat ukur, maka dengan adanya satu orang bunuh diri karena depresi, itu artinya ada ribuan orang di luar sana yang mengalami depresi saat ini.
Dalam keadaan begini, negara tidak produktif sama sekali. Dan ini hanya gara-gara negara sibuk mengurus orang sehat yang terpapar SARS-CoV-2, bukan sibuk mengurus orang sakit yang terinfeksi Covid 19. Tiap hari aparatur negara, ditambah fans-fansnya, rajin menghitung kata "positif".
Padahal yang sakit gara-gara Covid 19, sangat-sangat sedikit. Sudah satu tahun negara rajin menghitung kata "positif", tetapi anehnya, kebijakan negara, berputar di EE dan belakangan ditambah SS (Serka Sanitaria). Padahal CFR Covid 19 di Timor Leste itu sangat, sangat, sangat, sangat sedikit. Dengan CFR yang sangat sangat sedikit (0,137%), tetapi memberlakukan EE ditambah SS, ini bukan hanya aneh, tapi lucu. Freaky and funny too. Masalah utamanya, bukan terletak pada data dan fakta di lapangan. Tetapi terletak di dalam cara berpikir aparatur negara.
Kenapa saya mengatakan ini?

Karena faktanya seperti itu. Referensi saya adalah data dan fakta di lapangan. Saya tidak berbicara berdasarkan "teori asumsi". Tiap hari saya masuk ke "worldometer" untuk mengikuti perkembangan Covid 19. Data Covid 19 untuk Timor Leste yang disajikan di Worldometer hari ini, 30 April 2021, dapat Anda lihat pada gambar-gambar hasil screenshot yang saya lampirkan di sini.
Jumlah akumulasi kasus Covid 19 di Timor Leste, terhitung per 21 Maret 2020 sejak kasus pertama terdeteksi, sampai kemarin, 29 April 2021 adalah 2190 kasus.
Pertanyaan menggodanya adalah; "Dari 2190 kasus, berapa orang yang telah meninggal karena Covid 19? Jawabannya: belum ada. Sekali lagi, yang "meninggal karena Covid 19" belum ada. Tapi yang "meninggal dengan Covid 19", baru 3 orang.
Itu artinya, tingkat CFR (Case Fatality Rate) sangat-sangat kecil, hanya 0,137%. Bilangan yang sangat kecil ini (0,137%), itu disebabkann karena 3 orang yang meninggal, lebih disebabkan oleh Comorbiditas (penyakit bawaan lainnya, terutama penyakit-penyakit metabolik). Jadi kauza utama yang menyebabkan 3 orang itu harus meninggal, adalah gara-gara penyakit lain (under-laying health condition). Bukan karena Covid 19. Data statistik di seluruh dunia, memberikan informasi penting kepada kita bahwa jarang sekali orang meninggal karena murni terinfeksi virus SARS CoV-2.
Sehingga saya agak meragukan ketika ada Staf Kementerian Kesehatan Timor Leste, memberikan pernyataan bahwa ada pasien (berusia muda) yang dirawat di Izolamentu Vera Cruz, dalam kondisi grave, adalah murni karena Covid 19. Sama sekali tidak ditemukan adanya Comorbid (penyakit lainnya).
Pertanyaannya adalah; "Anda yakin demikian?"
Tapi jika pertanyaan ini ditanyakan ke saya, maka dengan pendidikan kedokteranku yang hanya mencapai level "484", saya yakin, pasti ada Comorbid (under-lying health condition). Bukan murni terinfeksi oleh virus SARS CoV-2.
Siapa tahu pasien berusia muda tersebut memiliki riwayat asma? Siapa tahu, ada keluarganya, entah orang tunya, atau leluhurnya, yang memiliki penyakit asma. Atau siapa tahu, pasien tersebut memiliki penyakit autoimun? Atau Reaksi Hipersensitivitas (ada 4 Reaksi Hipersensitivitas), sehingga harus memperlihatkan gejala klinis yang berat setelah terpapar virus SARS CoV-2.
Siapa tahu (ini hanya dugaan), begitu pasien tersebut terpapar oleh virus SARS CoV-2, kemudian tubuhnya melepaskan antibodi dan antibodinya menyerang tubuhnya sendiri dan menimbulkan gejala klinis yang berat. Ini yang disebut autoimun.

MEMANFAATKAN KELEBIHAN TIMOR LESTE
Wabah Covid 19 ini mendapat gelar "pandemik", bukan disebabkan oleh beratnya penyakit (tingkat virulensi virus atau tingkat patogenitas/keganasan virus), melainkan pandemik ditentukan berdasarkan sebaran wilayah (geografis).
Jika negara hanya rajin menghitung kata "positif" tiap hari, dan berdasarkan hitungan kata "positif" itu, kemudian dijadikan negara sebagai alasan untuk menjustifikasi keputusan memperpanjang EE dan ditambah dengan SS, maka mau sampai kapan, EE dan SS ini akan terus diberlakukan? Kalau kata "positif" terus muncul sampai 2 atau 3 tahun ke depan, itu artinya EE dan SS akan terus berjalan? Itu artinya Pilpres 2022 dan Pemilihan Parlamen 2023, ditiadakan?
Padahal ALLAH dan alam telah menganugerahkan Timor Leste "kelebihan khusus", yang seharusnya dimanfaatkan negara untuk menghadapi wabah SARS CoV-2. Yang membuat saya heran adalah, "Kenapa negara tidak memanfaatkan kelebihan ini?"
"Lalu apa kelebihan Timor Leste?

Tanyakan kepada rumput yang bergoyang

Bersambung;

Catatan Kaki:

Artikel ini sudah ditayangkan di laman face book Antoninho Benjamin Monteiro, pada 30 April 2021. Bisa diklik di bawah ini:

(https://www.facebook.com/antoninho.rego.1/posts/481375799733538).

Like
Comment
Share

Tidak ada komentar: