“Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan
rahasia yang sebelum dunia dijadikan telah disediakan Allah bagi
kemuliaan kita” (1Korintus 2:7).
Hari ini 12 Oktober 2019. Genap 30 tahun lalu, Kamis, 12 Oktober 1989,
Paus Yohanes Paulus II, yang merupakan Paus ke-264 Gereja Katolik Roma,
menapakkan kakinya di Kota Dili. Saat itu saya tidak berada di
Dili. Saya berada di Denpasar Bali. Jadi saya hanya menyaksikan
kunjungan Paus ke-264 itu di Kota Dili melalui siaran televisi, dan
membaca beritanya di koran-koran.
Sesuai janji saya
sebelum-sebelumnya (janjinya dimulai semenjak tahun 2012), bahwa hari ini, 12 Oktober
2019, genap 30 tahun kunjungan paus bernomor urut 264, saya akan
menjawab pertanyaan: “Kenapa paus yang menapakkan kakinya di Pulau Timor
harus paus bernomor urut 264?” Jawaban saya, boleh diterima, boleh juga ditolak. Diterima, atau ditolak, tidak akan membawa pengaruh apa pun terhadap saya. Artinya, diterima, saya tidak untung. Ditolak, saya tidak buntung.
Berdasarkan pengetahuan saya (jadi bukan berdasarkan opini saya), di balik angka “264” ini, mengandung sejumlah PI (Pesan Ilahi).
PI pertama; 264 Melambangkan Mesir, Israel & Timor Leste.
Angka 264 melambangkan nama 3 negara, yaitu: “Mesir, Israel dan Timor
Leste. Coba Anda konversikan ke dalam bilangan Gematria Latin, 21 huruf
yang ada dalam nama 3 negera tersebut di atas. Hasilnya pasti 264. Mesir
= 64, Israel = 64, Timor Leste = 136. Total: 64 + 64 + 136 = 264.
Dengan demikian, “Bilangan 264” yang menapakkan kakinya pada 30 tahun
lalu di Kota Dili, membawa “PI” (Pesan Ilahi), bahwa di atas Pulau Timor
ini, pernah lahir “anak manusia” yang mewarisi darah dari 3 negara,
yaitu; “Mesir, Israel dan Timor Leste”.
Perhatikan baik-baik
cara penulisan frasa “anak manusia” dalam catatan ini. Saya
menuliskannya dengan menggunakan huruf kecil semua. Ini untuk membedakan
“anak manusia” dari frasa “Anak Manusia” yang merujuk kepada Putera
Allah Yang Maha Tinggi, yaitu Yesus Kristus sendiri. Sehingga tidak
terjadi “penyesatan”. Karena antara “Anak Manusia” dan "anak manusia" adalah dua entitas yang sangat jauh berbeda. Anak Manusia itu hanya ada
Satu, Esa dan Tunggal.
Jika waktunya genap, “anak manusia” yang
mewarisi darah 3 negara ini (Mesir, Israel dan Timor Leste), akan harus
“disembelih” untuk menggenapi firman Tuhan, sebagaimana tertulis dalam
Kitab Suci, yang direduksi menjadi "Petisi 13 Juli" (2017).
Penyembelihan “anak manusia” adalah sebuah “thesis”.
Jika ada yang membantah “thesis” yang saya tuliskan di sini, boleh
saja, tapi wajib hukumnya, harus memiliki “antithesis” yang paralel.
Misalnya Anda mengajukan “anak manusia” lain di luar “anak manusia” yang
diperknalkan Allah di Bukit Ratapan Ramelau, pada 20 Februari 1994.
Berkaitan dengan isu “anak manusia” yang mewarisi darah dari 3 negara
ini (Mesir, Isarel dan Timor Leste), untuk kesekian kalinya, saya
ajukan kembali pertanyaan ini kepada 8 Pendiri RENETIL; “Siapakah di
antara 8 Pendiri RENETIL yang merasa diri sebagai orang yang mewarisi
darah Mesir?”
Pertanyaan krusial ini sengaja saya tujukan secara
khusus kepada 8 Pendiri RENETIL, karena ada hubungannya dengan kejadian
aneh yang terjadi pada tanggal 29 November 2013, saat, tanpa sengaja,
terjadi pertemuan dengan Prof. Rama Metan di Bandara Internasional
Ngurah Rai Bali.
Saat itu Prof. Rama Metan dan sejumlah Stafnya,
termasuk Dekan Fakultas Pertanian UNPAZ saat ini (Dr. Domingos Caeresi), sedang
menunggu jam keberangkatan ke Surabaya untuk menghadiri Acara Wisuda
Bapak Dr. Elidio De Araujo,SE (salah satu Staf Dosen UNPAZ), yang
menyelesaikan studi Doktoralnya di Surabaya.
Sebelum bertemu
Prof. Rama Metan di Bandara Ngurah Rai, salah satu dari 8 Pendiri
RENETIL mengalami “missing flight”
(ketinggalan pesawat) ke Selandia Baru. Maka Pendiri RENETIL terebut mengajak saya pergi ke sebuah hotel di kawasan
Legian Kuta. Nama hotel tersebut (S), tertulis dalam Kitab Suci. Dan nomor
kamar hotel tersebut, melambangkan “Darah Dinasti”.
Saya diajak
ke hotel tersebut untuk mengambil suatu cairan dalam botol, yang juga, lagi-lagi melambangkan “Darah
Dinasti”. Lalu dari hotel S, saya dan Pendiri RENETIL yang bersangkutan
berangkat ke Air Port Ngurah Rai untuk membooking ticket pesawat, karena
Pendiri RENETIL yang bersangkutan akan kembali ke Dili pada 30 November
2013. Tidak tahunya, saat tiba di Bandara, ketika berada dalam lift
yang sedang bergerak turun, kami melihat Prof. Rama Metan bersama
sejumlah Stafnya sedang minum kopi di Kafetaria Bandara (area
penerbangan domestik).
Kami berdua menghampiri Beliau dan Stafnya.
Saat itu Prof. Rama Metan memberikan sesuatu kepada saya. Sesuatu yang
diberikan Prof. Rama Metan, jika dibaca akan berbunyi; “Keturunan
Salomo”.
Dengan demikian, ketika saya mengajukan pertanyaan tentang “Darah Mesir’ kepada para Pendiri RENETIL,
bukan berdasarkan “preferensi”, tapi bertanya berdasarkan “referensi”
(peristiwa empiris) yang terjadi pada 29 November 2013, yang merupakan
bagian dari PI (Penyelenggaraan Ilahi).
Dengan segala kerendahan
hati, saya sarankan, siapapun Pendiri RENETIL yang bersama saya, pada 29 November 2013, menjadi dua orang pertama yang simbol meminum "Darah Dinasti" di hotel S, sebaiknya
membuka Kitab Suci dan mencari nama hotel tersebut, sebagaimana tertulis
dalam Kitab Suci. Karena penelusuran “Darah Mesir’, hukumnya wajib,
harus dimulai dari nama tersebut. Itu artinya, saya tidak menganggap
kejadian aneh 29 November 2013, adalah sebagai bagian dari berlakunya
“teori coinsidensi” (teori kebetulan).
SUKSESOR PROF. LUCAS PASTI SEORANG BANGSAWAN
Sekedar Intermezzo. Satu kilas balik singkat. Pada Februari 1994, saya sedang menjalani Koskap (Praktek sebagai dokter muda) di Lab Anesthesi Rumah Sakit Pusat, Sanglah Denpasar. Hari itu, tanggal 3 Februari 1994, dini hari, dua Malaikat-Nya menemui saya. Malam itu, sehabis melakukan observasi ketat terhadap seorang pasien pria paruh baya asal Perancis, yang menjalani Operasi Laparatomy di RSUP Sanglah Denpasar, tiba-tiba saya mengalami hal aneh. Saya jatuh ke dalam keadaan "trance". Dalam keadaan "trance" itulah, muncul dua Malaikat, yang disertai ribuan orang. Saat itu, kedua Malaikat berkata, saya dipanggil ALLAH ke Kaki Gunung Ramelau, karena ALLAH berkenan memberkati Program Catur Mobilisasi. Kisah misteri ini sudah kerap kali saya kisahkan.
Nah saat itu, kedua Malaikat meminta saya membawa serta Ijazah saya (Ijazah S1), yang dikeluarkan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali, pada 25 Oktober 1993. Ijazah tersebut, selama ini saya gunakan untuk melamar pekerjaan di Timor Leste, tetapi tidak laku-laku. Padahal Ijazah tersebut telah diberi "Sfargis (Cap ALLAH), di Kaki Gunung Ramelau, pada Minggu, 20 Februari 1994.
Berhubung artikel ini berbicara mengenai "Misteri UNPAZ", maka berdasarkan angka "82" (Simbol Bangsawan) yang tertera dalam Ijazah saya, maka saya bisa pastikan bahwa Calon Suksesor (pengganti) Prof. Rama Metan untuk menduduki Kursi Rektor UNPAZ berikutnya, adalah seseorang yang "Berdarah Bangsawan" (Keturunan Raja). Dengan kata lain, saya ingin memastikan bahwa pengganti Prof. Rama Metan, wajib hukumnya, haruslah seseorang yang dalam dirinya mewarisi "Darah Bangsawan". Yang tidak mewarisi "Darah Bangsawan" (Darah Biru), tidak akan pernah terpilih menjadi Rektor UNPAZ. Karena nomor Ijazahku ditulis dengan Angka Bangsawan.
Jika di kemudian hari teryata hipothesa saya ini terbukti benar (bahwa Suksesor Prof. Rama Metan adalah seorang Bangsawan), maka pada saat angka 82 (Simbol Bangsawan) yang tertera dalam Ijazah saya, genap berusia 30 tahun (25 Oktober 2023), saya berjanji kepada ALLAH Yang Maha Mengetahui segala rahasia, saya akan harus berada di Denpasar Bali untuk memperingati genap 30 tahun usia Ijazah Bangsawan saya, dengan cara; pergi berdoa di Gereja Santo Yosef Kepundung, untuk bersyukur kepada ALLAH.
PI kedua; 264 Melambangkan Yesus Sang Juru Selamat.
Kunjungan Bilangan 264 ke Kota Dili pada 12 Oktober 1989, membawa PI
(Pesan Ilahi), yang melambangkan “Yesus Sang Juru Selamat”. Coba Anda
baca bilangan “264” menggunakan Bahasa Indoensia, menjadi “DUA RATUS
ENAM PULUH EMPAT”. Lalu konversikan semua huruf dalam kalimat DUA RATUS
ENAM PULUH EMPAT. Hasilnya = 271.
Saya sudah membahas dalam
sejumlah artikel sebelumnya, bahwa bilangan “271” ini adalah simbol dari
“Yesus Sang Juru Selamat”. Coba Anda konversikan frasa “Yesus Sang Juru
Selamat” ke dalam Gematria Latin. Hasilnya pasti = 271. Yesus = 89, Sang = 41, Juru = 70, Selamat = 71. Total; 89 + 41 + 70 + 71 = 271.
Dengan demikian, kunjungan Bilangan 264 pada 30 tahun lalu membawa PI
(Pesan Ilahi) bahwa hanya Yesus, satu-satnya “Fihak”, yang bisa
menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran massif. Bukan para pahlawan
Timor Leste yang bermunculan bagaikan cendawan di musim penghujan.
PI keempat; 264 Melambangkan Rasul Sabat.
Angka 264 jika dilafalkan menjadi: DUA ENAM EMPAT, lalu hasil pelafalan
itu dijumlahkan, akan memunculkan simbo bilangan “Rasul Sabat”, 114.
Rasul = 71, Sabat = 43. Total: 71+43 = 114.
Dengan demikian,
kunjungan Bilangan 264 pada 30 tahun lalu, membawa PI (Pesan Ilahi),
bahwa Pulau Timor ini pernah melahirkan “Rasul Sabat”, yaitu “Rasul
Terakhir” yang hukumnya wajib, harus “disembelih” suatu saat setelah
waktunya genap, untuk “Merestaurasi Hukum Sabat dan Dinasti Daud”. Tapi
bukan untuk merestaurasi RDTL.
Karena pada hakiktanya, Allah
tidak pernah menghapus “Hukum Sabat”. Masalahnya, Allah bukan mahkluk
pemikir layaknya manusia, yang hari ini berpikir seperti ini, besok
berubah pikiran, berpikir seperti itu. Atas alasan itu pula, kenapa
hasil referendum, yang sebelumnya, berdasarkan ketatapan 5 Mei 1999 di
Markas Besar di New York Amerika Serikat, akan diumumkan pada hari
Selasa, 7 September 1999, tapi oleh UNAMET (United Nations
Administration Mission for East Timor), diumumkan pada hari Sabat, 4
September 1999, untuk memastikan bahwa Allah tidak pernah menghapus
pengudusan “Hari Sabat”.
Gara-gara perubahan jadwal pengumuman
hasil referendum ini, banyak fihak yang menuding: “UNAMET melakukan
kecurangan”. Padahal ada “Invisible Hands” yang mengatur ini semua,
sebagaimana saya tuliskan melalui artikel berjudul; “Mengirim Patung
Dewa Siwa Ke Kanada”.
Dari data dan fakta empiris sejarah ini,
mengandung PI (Pesan Ilabi) bahwa siapapun orangnya yang hidup di negara
ini, wajib hukumnya, harus memelihara Perintah Allah yang ke-4
sebagaimana diterima Nabi Musa di Gunung Sinai, yaitu memelihara
“pengudusan Hari Sabat”.
“Imam-imamnya memperkosa hukum Taurat-Ku dan menajiskan hal-hal yang
kudus bagi-Ku, mereka tidak membedakan antara yang kudus dengan yang
tidak kudus, tidak mengajarkan perbedaan yang najis dengan yang tahir,
mereka menutup mata terhadap hari-hari Sabat-Ku. Demikianlah Aku
dinajiskan di tengah-tengah mereka” (Kitab Yehezkiel; 22:26).
Catatan Kaki;
Melalui seri ke-8 ini, secara sekilas saja saya akan menjawab mengenai isu
“Perjanjian Yosua”. Ada beberapa sahabat yang bertanya; "Jika Pak Xanana berubah pikiran, apakah Pak Xanana masih bisa
menanda-tangani Perjanjian Yosua?"
Jawaban saya secara singkat kira-kira begini:
Tokoh selevel Pak Xanana, tidak akan gampang berubah pikiran. Sekali mmbuat keputusan, pasti akan mempertahankan keputusan itu untuk selamanya. Tetapi sekiranya suatu saat Pak Xanana berubah pikiran, dan mau menanda-tangani Dokumen Perjanjian Yosua" yang ditolak pada 12 Mei 2018, maka berdasarkan simbol dari pesan Kakek Misterius, saya tetap akan mengatakan dua hal berikut ini;
Pertama; "Karena Kakek Misterius melarang keras Pak Xanana untuk kembali menduduki Kursi Perdana Menteri, maka jika suatu saat Pak Xanana ingin kembali menduduki Kursi Perdana Menteri, sebaiknya "halo tuir tiha uluk". Jika tidak, maka resikonya, ada kemungkinan besar Pak Xanana akan lengser di tengah jalan."
Kedua; "Kadoras alias pipeline belum bisa mengalirkan isi Gretaer Sunrise ke Timor Leste, selama Pak Xanana masih hidup. Entah benar atau tidak, kita lihat aja nanti.
.
Terima-kasih. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.
Artikel ini bisa diakses di laman face book saya. klik saja di link ini: