BENARKAH UNAMET MELAKUKAN KECURANGAN DALAM REFERENDUM 1999? (Ijazahku Ditolak Staf Internasional Asal Kanada)
Pengantar Singkat:
Artikel ini adalah sebuah ‘Kesaksian Iman”. Bukan “Kesaksian Politik”. Tujuan saya menulis artikel ini, bukan untuk mencari “Subsidi Veteranus”, atau mencari “Pensaun Vitalisia”. Terlebih lagi, artikel ini tidak saya tulis dengan tujuan, agar saya harus diakui sebagai 'Pahlawan Kemerdekaan" Timor Leste. Tapi saya menulis artikel ini, karena saya harus patuh pada Perintah Allah.
Prof. Eric Fromm, Tokoh Psikoanalis Sosial asal Jerman bilang; “Ketaatan manusia terhadap perintah berhala, adalah penyangkalan manusia terhadap Perintah Allah”.
Jika dalam artikel ini, ada hal-hal tertentu yang kurang berkenan di hati Anda, maka itu terjadi bukan karena Bunda kita salah mengandung. Tapi karena Anda adalah politikus, sementara saya adalah “misticus”. Antara politikus dan misticus, terbentang jurang yang amat dalam.
BENARKAH UNAMET MELAKUKAN KECURANGAN DALAM REFERENDUM 1999?
Hari ini adalah ‘Hari Sabat’, 4 September 2021. Kota Dili terasa sejuk karena diguyur hujan, seakan-akan alam semesta memberi tanda, ikut merayakan genap 22 tahun pengumuman hasil referendum 1999. Seperti kita semua tahu, Referendum atau Jajak Pendapat (one person one vote = satu orang satu suara) yang diselenggarakan pada 30 Agustus 1999, diumumkan pada “Hari Sabat”, 4 September 1999. Padahal berdasarkan “New York Agreement” yang ditanda-tangani Tri Partied (Portugal, PBB dan Indonesia), pada 5 Mei 1999 di New York Amerika Serikat, sepakat bahwa hasil Referendum akan diumumkan pada hari Selasa, 7 September 1999. Tapi entah kenapa, tanpa ada badai sebelumnya, tiba-tiba saja, Unamet (United Nations Administration Mission for East Timor) yang merupakan perpanjangan tangan PBB, yang mensupervisi jalannya pelaksanaan Jajak Pendapat, memutuskan untuk mengumumkan hasil referendum pada Hari Sabat, 4 September 1999.
Karena Jajak Pendapat dimenangkan fihak Pro Kemerdekaan, maka fihak Pro Otonomi menuduh, dimajukannya pengumuman hasil Jajak Pendapat (dari 7 September menjadi 4 September), adalah merupakan bagian integral dari berbagai “kecurangan” yang dilakukan Unamet dengan tujuan untuk memenangkan fihak Pro Kemerdekaan.
Dan saya yakin, seandainya saja, Jajak Pendapat dimenangkan fihak Pro Otonomi, maka ada keniscayaan, fihak Pro Kemerdekaan lah yang akan menuduh bahwa PBB telah dengan sengaja melakukan kecurangan untuk memenangkan fihak Pro Otonomi dengan memajukan tanggal pengumuman hasil Jajak Pendapat.
Jika Anda membaca
bukunya Mayjen Kiky Syahnakri (mantan Pangdam IX Udayana, yang juga sekaligus
mantan Danrem 164/Wira Dharma Dili), berjudul: TIMOR-TIMUR: The Untold Story,
yang diterbitkan pada Januari 2013, hampir sepanjang buku itu, banyak sekali
tertulis kata “kecurangan” atau kata “curang”.
Terjadinya "September Negra" yang menyebabkan ribuan orang Pro Kemerdekaan menjadi korban, adalah bukti paling nyata bahwa fihak Pro Otonomi memang tidak menerima hasil Referendum.
Pertanyaan sentralnya adalah; “Benarkah Unamet telah melakukan kecurangan?” Jawabannya, hanya Allah yang maha mengetahui.
Tapi jika pertanyaan
tersebut ditanyakan kepada fihak Pro Kemerdekaan, maka jawabannya, pasti
“Unamet tidak melakukan kecurangan”. Lalu jika diminta, apa referensinya kalau
Unamet tidak melakukan kecurangan? Pasti fihak Pro Kemerdekaan akan kebingungan
membuktikannya.
Sebaliknya, jika
pertanyaan tersebut ditanyakan kepada fihak Pro Otonomi, jawabannya pasti
“Unamet telah melakukan kecurangan”. Jika diminta, apa referensinya jika Unamet
telah melakukan kecurangan, pasti fihak Pro Otonomi juga akan kebingungan
membuktikannya.
Tapi seandainya saya (Rama Cristo), yang mendapat pertanyaan tersebut, maka tanpa ragu, saya akan menjawab: “Khusus untuk hasil Referendum (munculnya angka kemenangan: 344580 & 78,5%), Unamet sama sekali tidak melakukan kecurangan".
Pertanyaan selanjutnya adalah; “Apa referensi yang saya gunakan untuk memastikan bahwa Unamet tidak melakukan kecurangan?”
Satu-satunya referensi yang saya miliki adalah: “IJAZAHKU”.
Selembar kertas yang dikeluarkan oleh FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA pada tahun 1993. Ijazah tersebut, sudah berkali-kali saya gunakan untuk melamar pekerjaan di Kementerian Kesehatan Timor Leste dan Rumah Sakit Nasional Guido Valadares, tapi sayangnya, Ijazahku itu tidak diterima.
Padahal, saat Allah
mengutus dua MalaikatNya untuk memanggil saya ke Bukit Sio(n), pada Februari
1994, saya diminta harus membawa serta Ijazah tersebut.
“Kenapa Allah meminta saya membawa Ijazah tersebut?”
SAYA DIPANGGIL ALLAH DALAM STATUSKU SEBAGAI DOKTER MUDA (484)
Sebagaimana sudah saya kisahkan berkali-kali melalui sejumlah artikel, semenjak tahun 2011, bahwa pada tanggal 3 Februari 1994, melalui mimpiku yang aneh, dua Malaikat menemui saya di Ruang HCU (High Care Unit) RSUP Sanglah Denpasar. Dalam mimpiku, kedua Malaikat mengatakan, Allah memanggil saya ke Bukit Sio(n), karena Allah ingin memberkati Program Catur Mobilisasi yang ditolak fihak Pembina (Kodam IX Udayana dan Korem 163/Wira Satya Denpasar).
Nah, salah satu pesan kedua Malaikat dalam mimpi, bahwa saya dipanggil Allah ke Bukit Sio(n), dalam statusku sebagai seorang “Dokter Muda” (484). Kebetulan pada Februari 1994, saya telah menyandang status sebagai Dokter Muda (484), dan sedang menjalani stasi (praktek) di Lab Anesthesi RSUP Sanglah Denpasar Bali. Karena dipanggil sebagai “Dokter Muda” (484), maka hukumnya wajib, saya diharuskan membawa “Ijazahku” yang dikeluarkan FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA (Saya sengaja menuliskan Almamaterku dengan huruf kapital, karena ada hubungannya dengan angka 8827, simbol dari nilai Z (rentang waktu), yang menghubungkan dua titik waktu, antara 5 Juli 1975, dan 4 september 1999).
Maka saat berangkat
ke Bukit Sio(n), saya membawa serta Ijazahku yang telah dilaminating.
Pada 7 Februari 1994, saya membooking ticket Pesawat Merpati. Uang untuk membeli ticket, saya dapat dari Bapak Manuel Carrascalao, saat saya dan dua teman saya (Sdr. Artur Natalino Corte Real/mahasasiwa Kedokteran Unud dan Sdr. Tadeu Francisco/mahasiswa Fakualtas Ekonomi Undiknas Denpasar) bertemu Pak Manuel bersama Isterinya (wanita asli Indonesia), di Swalayan Tiara Dewata, pada tanggal 7 Februari 1994, sekitar pukul 7 malam.
Tanggal 8 Februari 1994, saya meninggalkan Denpasar, menuju Dili. Tanggal 14 Februari 1994, saya meninggalkan Dili, menuju Atsabe, sebuah kota kecil yang terletak sekitar 94 km barat daya Kota Dili. Kamis, 17 Februari 1994, saya ditemani 4 orang pria yang bersedia mengantarkan saya ke Bukit Sio(n). Karena saya tidak tahu jalan.
Tapi sayangnya, dalam setengah perjalanan, kami berlima harus lari kocar-kacir dan terpaksa harus kembali ke kota, karena hari itu sedang ada kontak senjata antara Falintil dan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Salah satu Anggota Falintil bernama Pedro (masih terhitung pamanku), ibu jari tangannya terputus, terkena tembakan TNI).
Saya kebingunagn saat itu, karena ke-empat pria yang sebelumnya bersedia mengantarkan saya ke Bukit Sio(n), mengurungkan niat mereka, gara-gara trauma dengan kejadian kontak senjata antara Falintil dan TNI. Maka pada malam harinya, saya datang berdoa di Gereja St. Yosef Atsabe, Gereja di mana saya dibaptis. Saya berdoa sampai tengah malam, hingga jatuh ke dalam keadaan “trance” (antara sadar dan tidak). Saat dalam keadaan “trance” itulah, St. Yosef menampakkan diri dan berjanji akan mengirimkan seekor “Anjing” yang akan mengantarkan saya ke Bukit Sio(n).
Puji Tuhan Yesus, pada keesokan harinya, Jum’at, 18 Februari 1994, berkat “Anjing Gaib” kiriman St. Yosef, akhirnya saya berhasil mencapai Bukit Sio(n) yang terletak di Kaki Gunung Ramelau, gunung tertinggi di Pulau Timor. Saat tiba di Gerbang Bukit Sio(n), saya dijemput dua Malaikat yang menemui saya dalam mimpi, pada 3 Februari 1994. Saya berada di Bukit Sio(n) selama 3 hari, dengan mengikuti berbagai acara.
Dan akhirnya pada Minggu dini hari, 20 Februari 1994, Allah memberkati Catur Mobilisasi, juga memberkati Ijazahku, sebagaimana sudah berkali-kali saya kisahkan. Maka saya tidak harus mengulangnya lagi di sini.
Sebelum meninggalkan Bukit Sio(n), salah satu pesan yang saya terima dari seorang Imam ras Kaukasoid (ras bule) adalah, bahwa “Ijazahku” akan digunakan Allah sebagai referensi untuk menetapkan hasil referendum. Tapi saya harus menjaga ketat rahasia ini, sampai ulang tahun pengumuman hasil referendum ke-22, baru boleh membuka kepada public mengenai isu Ijazah ini.
Akhirnya, pada Minggu malam, 20 Februari 1994, saya meninggalkan Bukit Sio(n). Menjelang tengah malam, saya tiba kembali di kota, dengan seluruh tubuh terasa kaku. Karena sepanjang perjalanan pulang, saya diguyur hujan yang amat deras, disertai kilatan (cahaya) petir yang terus menerus. Kilatan cahaya terus menyala, untuk menerangi jalan saya pulang, karena saya harus menempuh keadaan hutan belantara yang gelap gulita.
Apalagi saya tidak membawa penerangan apapun, entah obor atau senter. Sayangnya, Anjing Gaib (berbulu putih bersih) yang dikirim St. Yosef, yang telah berjasa mengantarkan saya mencapai Bukit Sio(n), tidak ikut pulang. Kemanakah Anjiang Gaib tersebut? Hanya Allah yang maha mengetahui keberadaan Anjing Gaib tersebut.
IJAZAHKU DITOLAK STAF INTERNASIONAL ASAL KANADA
Menjelang pelaksanaan
Referendum 30 Agustus 1999, saya direkrut IOM (International Organization for
Migration) yang bekerja sama dengan Unamet, untuk melakukan pekerjaan sebagai
“interpreter” (penerjemah) di TPS (Tempat Pemungutan Suara) Renon Denpasar
Bali.
Karena saya harus mentaati pesan dari Bukit Sio(n), maka pada hari terakhir pendaftaran, sore hari menjelang detik-detik penutupan TPS Renon Denpasar, saya menyodorkan Ijazahku kepada Mike Montegano (MM), Staf Internasional asal Kanada, untuk mendaftar sebagai peserta Referendum. Tapi ternyata apa yang terjadi? Mr. MM, Pimpinan CEO Cabang Denpasar, menolak Ijazahku.
Sambil mengamat-amati
Ijazahku yang diberkati Allah di Bukit Sio(n), Mr. MM bilang begini;
“Berdasarkan New York Agreement”, Ijazah tidak bisa dijadikan sebagai instrumen (alat bukti legal) untuk membuktikan bahwa seseorang adalah asli kelahiran Timor Leste, atau secara biologis berhubungan dengan Timor Leste, sehingga memiliki hak untuk memberikan suaranya dalam Jajak Pendapat 30 Agustus 1999. Alat bukti legal yang dianggap sah, adalah hanya Akte Kelahiran dan atau Akte Permandian yang dikeluarkan Gereja, untuk mereka yang beragama Kristen”.
Kemudian Mr. MM melanjutkan;
“Jika seseorang
adalah kelahiran Timor Leste, atau tidak dilahirkan di Timor Leste, tapi
memiliki kedua orang tua biologis asli kelahiran Timor Leste, atau minimal,
salah satu dari orang tua biologisnya adalah asli kelahiran Timor Leste, tapi
tidak memiliki Akte Kelahiran dan atau Akte Permandian, maka bisa ditempuh
dengan cara lain, yaitu, yang bersangkutan harus mengajukan permohonan ke
“Pengadilan” disertai “Surat Pernyataan” yang menyatakan bahwa orang
bersangkutan adalah benar-benar asli kelahiran Timor Leste atau tidak
dilahirkan di wilayah Timor Leste, tapi memiliki kedua orang tua kandung, atau
salah satu orang tuanya, adalah asli kelahiran Timor Leste. Agar permohonan
dikabulkan Pengadilan, maka yang bersangkutan harus didampingi, paling sedikit
dua orang saksi.
Anda bayangkan, saat itu adalah hari terakhir pendaftaran. Waktu sudah sore hari. Sudah melewati pukul 4 sore. Kantor-kantor sudah pada mau tutup. Termasuk Kantor Pengadilan Denpasar. Juga TPS Renon sendiri sudah mau ditutup. Bagaimana mungkin ada kesempatan bagi saya untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan?
Akhirnya Mr. MM berkata;
“Ok Monteiro, karena kamu adalah staf di sini, dan saya tahu persis, kamu asli kelahiran Timor Leste, tapi saya tetap harus mematuhi peraturan yang berlaku, maka sebagai pimpinan, saya akan usahakan, bagaimana caranya agar kamu bisa mendaftar, tapi bukan menggunakan Ijazah ini. Karena Ijazahmu ini tidak sah sebagai alat bukti. Jika saya menerima Ijazah ini sebagai alat bukti untuk mendaftarkan kamu, maka saya akan disalahkan, karena dinilai telah melanggar New York Agreement”.
Setelah suasana hening sebentar, tiba-tiba Mr. MM mengeluarkan perintah;
“Ari dan Acacio…, dengar…..!!! Sekarang juga, kalian berdua harus pergi mencari seorang Notaris Lokal agar bisa memproses Monteiro, sampai memenuhi syarat untuk mendaftar. Bagaimana pun caranya, Anda berdua harus membawa Notaris Lokal ke sini, barulah TPS ini ditutup.
Mendengar perintah Mr. MM, saya melihat, Sdr. Ari Sanjaya dan Sdr. Acacio Branco saling berpandangan. Saya bertanya dalam hati; “Bagaimana mungkin, Ari dan Acacio bisa menemukan Notaris Lokal?”
Saat itu, kami semua dalam ruangan itu terdiam. Suasana hening. Tapi ada nuansa ketegangan. Saya juga ikut diam, sekaligus tegang, tetapi di otakku terus muncul wajah Imam ras Kaukasian (ras bule) yang memberikan pesan terakhir sebelum saya meninggalkan Bukit Sio(n);
“Jika kamu mendaftar dan Ijazahmu ditolak”, maka kamu tidak perlu mendaftar. Karena tanggal kelahiranmu yang tertulis dalam Ijazah ini, digunakan Allah sebagai referensi tanggal pengumuman hasil referendum. Sementara namamu yang tertulis di Ijazah ini, digunakan Allah sebagai referensi kemenangan referendum. Dan Almamatermu: “Fakultas Kedokteran Universitas Udayana”, digunakan Allah sebagai referensi rentang waktu, yang menghubungkan dua titik waktu, antara 5 Juli 1975 (Pertemuan Camp David antara Presiden Gerald Ford dan Preseden Soeharto), dan 4 September 1999. Jika Ijazahmu ditolak, maka simpanlah suaramu sampai waktunya genap, di mana akan ada perintah dari Allah untuk kamu memanfaatkan SATU SUARA itu sebagai SUARA TUHAN, guna menetapkan masa depan Timor Leste”.
Saat itu, saya melihat Sdr. Ari Sanjaya, mencoba bangkit dari duduknya, menghampiri Sdr. Acacio Branco. Akhirnya, setelah menarik nafas panjang, saya bersuara; “Maaf Mike, karena Ijazahku ditolak sebagai alat bukti legal, maka saya memutuskan untuk tidak mendaftar. Lagi pula waktunya sudah sangat-sangat mepet.
"Bagaimana
caranya, Ari dan Acacio bisa menemukan Notaris Lokal pada jam-jam begini?”.
Mendengar keputusanku untuk tidak ikut mendaftar, Mr. MM tampak agak kaget. Bukan hanya Mr. MM. Semua orang di ruangan itu memperlihastkan ekpresi yang sama dan mereka semua menoleh ke arahku. Keempat Staf Internasional asal Kanada, bergantian bertanya.
1. Mr. MM bertanya,
kenapa Monteiro?
2. Mr. John bertanya,
kenapa?
3. Mrs. Nicole
bertanya, kenapa?
4. Mrs. Marylin bertanya, kenapa?
Hanya Sdr. Ari dan
Sdr. Acacio yang tidak ikutan bertanya, kenapa?
Saya tidak tahu, kenapa kedua temanku tidak ikut bertanya?
Akhirnya, saya mencoba memberi jawaban;
“Maaf, rekan-rekan..Jam segini, sulit untuk menemukan Notaris Lokal. Kantor Pengadilan sudah tutup. Ini sudah pukul 5 lewat. Saya tidak ingin, masalah saya menyusahkan kalian. Karena itulah, saya putuskan untuk tidak mendaftar. Saya rasa, hanya satu suara, sama sekali tidak akan mempengaruhi hasil Referendum”.
Tapi saya tidak mengatakan kepada mereka bahwa, berdasarkan perintah dari Bukit sio(n)…bla..bla..bla…Nanti saya dikira “orang gila…”.
Mr. MM berdiri, dan dengan nada suara tinggi bilang:
“TPS ini tidak akan ditutup, sampai Monteiro mendaftar. Bila perlu, malam ini kita semua menginap di sini, sampai Monteiro merubah keputusannya”.
Setelah berkata demikian, Mr. MM meminta Mr. John, Mrs. Nicole, Mrs. Marylyn dan saya, untuk masuk ke ruang kerjanya. Sementara, Sdr. Ari Sanjaya dan Sdr. Acacio Branco, tetap berada di luar. Saya tidak tahu kenapa kedua temanku tidak diajak?
Untuk sementara saya hentikan dulu artikel “kesaksian iman” ini, di sini. Akan saya lanjutkan pada kesempatan mendatang, jika dipandang perlu (jika publik menghendakinya).
Pertanyaannya adalah;
1. "Kenapa Allah
mau menggunakan Ijazahku sebagai referensi?”
2. “Mengapa Mr. MM
mengundang kami berempat (3 temannya sesama kanada dan saya) untuk memasuki
ruang kerjanya?”
3. “Menurut Anda,
kira-kira pada akhirnya saya mendaftar atau tidak?”
4. “Bagaimana caranya publik bisa membaca dan atau memastikan bahwa simbol-simbol Referendum, terutama angka kemenangan (344580 & 78,5%), tertulis di Ijazahku, untuk meyakinakn fihak Pro Otonomi yang begitu sangat skeptis dan menuduh bahwa Unamet benar-benar telah melakukan kecurangan yang terencana, terstruktur, dan massif?”
Bersambung:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar