Oleh: Rama Cristo
Dosen Universidade da Paz (UNPAZ), mengasuh Matakuliah:
1. Health Physics (Fisika Kesehatan),
2. Human Anatomy and Physiology.
3. Psychosocial Aspect of Reproductive Health.
Dan saat ini mengemban posisi sebagai Pro Reitor Bidang Penelitian & Publikasi.
A. Pengantar Singkat
====================================
"Konstitusi pada dasarnya adalah kontrak antara generasi
hari ini, masa lalu, dan masa depan". Ini kata Marc Coleman. Bukan kata
saya (Rama Cristo).
====================================
Berhubung artikel ini membicarakan isu Konstitusi, maka sekedar
informasi awal; Pada beberapa bulan lalu, ketika Fakultas Hukum Universitas
Udayana (UNUD) Bali dan Universidade da Paz (UNPAZ) menyelenggarakan Seminar
Internasional, Guru Besar Fakultas Hukum UNUD, Prof. Dr. Yohanes
Usfunan,MHum,Drs, sampai harus "membolong-bolongi" Konstitusi Timor Leste.
Terasa agak sedikit "mengerikan". Prof. Usfunan (yang merupakan teman
baik Prof. Lucas, Rektor UNPAZ I), memulai pekerjaannya dari Pasal 13 yang
mengatur mengenai bahasa resmi (Mengapa orang Timot Leste lebih mengelu-elukan
Bahasa Portugis), dan menempatkan Bahasa Indonesia hanya sebagai "bahasa
kaum proletariat" (di Pasal 159). Padahal secara geografis, letak Portugal
nun jauh di seberang lautan, sementara letak Indonesia, ada di depan mata,
bahkan kedua negara satu rumpun ini, berbagi sebuah pulau kecil. Portugal
menjajah Timor Portugis selama 460 tahun (1515-1975), tapi hanya menghasilkan
Sarjana, yang jika dihitung dengan jari sebelah tangan, tidak habis, sementara
Indonesia yang hanya menduduki (bukan menjajah) Timor-Timur selama 24 tahun,
mampu menghasilkan ribuan Sarjana. Tetapi kenapa Bahasa Indonesia
dimarjinalkan? Timor Leste "memohon-mohon" ingin bergabung ke ASEAN,
tetapi mengabaikan kultur (Bahasa Indonesia), yang merupakan pengguna terbanyak
di ASEAN?
Ucapan Terima-Kasih
Berhubung saya telah menyebutkan nama salah satu Jurnalis top
Indonesia, yang cantik dan smart, juga berkharisma, sampai harus dielu-elukan
oleh pemimpin top Timor Leste, maka perkenankanlah saya mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Najwa Shihab, karena pernah membagikan
salah satu artikel saya di situs pribadinya.
Jika Mbak Najwa Shihab membaca tulisan ini, dan masih ada di Kota Dili, coba lakukan percobaan sederhana ini. Ambil lah lima batu, lalu sambil menutup mata Mbak, lemparkanlah lima batu itu secara random (acak) ke segala arah. Ada kemungkinan, 4 dari 5 batu yang Mbak Najwa lempar, yang artinya 80% lemparan Mbak Najwa, akan jatuh di atas rumah orang, yang secara resmi beragama, meskipun pada level praxis, belum tentu beriman.
Setelah itu, jika tidak keberatan, coba Mbak Najwa memeriksa 170
pasal Konstitusi Timor Leste. Dan hitunglah, berapa persen Nama ALLAH tertulis
di sana. Dijamin, hasilnya pasti 0% (nol persen). Karena, dari 170 pasal
Konstitusi Timor Leste, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama ALLAH,
kecuali hanya disebutkan sambil lalu (ogah-ogahan) sebanyak 1X dalam Preamblue
(Pembukaan)?”
Ternyata, lemparan batu Mbak Najwa yang menghasilkan 80%, berbanding terbalik dengan konsep(si) orang Timor Leste, dalam mendirikan negara. Jika Konstitusi Timor Leste dijadikan alat ukur, maka wajah negara Timor Leste bukanlah wajah negara beragama, apalagi beriman. Inilah yang menyebabkan, pada Pertemuan Camp David, Saptu, 5 Juli 1975, Presiden Soeharto, di hadapan Presiden Gerald Ford dan Menlunya Henry Kissinger, menyebutkan kata “komunis” sebanyak lebih dari 20X, dan kata “komunis” selalu dikaitkan dengan eksistensi Fretilin, yang pada jaman itu (1975), terkooptasi oleh ideologi kiri dan ideology kiri inilah, yang di kemudian hari menjadi instrumen justifikasi bagi Amerika untuk memberikan “green light” kepada Indonesia guna menginvasi wilayah Timor Portugis pada 7 Desember 1975, hanya sehari setelah Presiden Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger meninggalkan Jakarta, kembali ke Amerika.
B. Timor Leste Adalah Negara Ultra Sekuler
Hari ini, 20 Mei 2022, di Indonesia dirayakan sebagai Hari
Kebangkitan Nasional yang ke-114 (1908 – 2022), sementara di Timor Leste,
dirayakan sebagai hari Restaurasi Kemerdekaan Timor Leste yang ke-20 (2002 –
2022).
Restaurasi Kemerdekaan Timor tahun lalu, mengambil tempat di
Tassi Tolu Dili, situs bersejarah yang pernah digunakan Bapa Suci Paus Yohanes
Paulus II untuk merayakan Missa Agung pada Kamis, 12 Oktober 1989.
Deklarasi Restaurasi Kemerdekaan (versi orang Timor Leste), atau
oleh komunitas internasional dikenal sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Timor
Leste, dihadiri sejumlah pemimpin dunia, antara lain;
1. Kofi Annan, Sekjen PBB.
2. Bill Jefferson Clinton, Presiden ke-42, Amerika Serikat.
3. Jorge Fernando Branco de Sampaio, Presiden Portugal, keturunan
Yahudi).
4. Megawati Soekarnoputeri, Presiden-ke 5 RI.
5. John Howard, Perdana Menteri Australia.
6. Helen Clark, Perdana Menteri Selandia Baru.
7. James Wolfenson, Presiden Bank Dunia.
Di antara pemimpin dunia yang disebutkan di atas, pemimpin yang
tiba di Tassi Tolu paling akhir, adalah Ibu Megawati Soekarnoputri. Beliau tiba
di Tassi Tolu malam hari, tepatnya pada pukul 21.15, Waktu Dili.
Menjelang detik-detik Proklamasi, Sekjen PBB Kofi Annan,
memanggil Presiden Timor Leste, José Alexandre Kayrala Xanana Gusmão, naik ke
panggung untuk menyaksikan penurunan bendera UNTAET (United Nations
Transitional Administration in East Timor), dan diganti dengan pengibaran
bendera Timor Leste sambil diiringi lagu kebangsaan Timor Leste, Patria Patria.
Kemudian Bendera UNTAET diserahkan kepada Sekjen PBB.
Perayaan Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste, 20 Mei 2002,
sejatinya dimulai pada pukul 16.00 Waktu Dili, dibuka dengan Missa yang
dipimpin Pemenang Nobel Perdamaian 1996, yang saat itu menjabat sebagai Uskup
Dili, Mgr. Dom Carlos Felipe Ximenes Belo,SDB, didampingi Uskup Baucau, Mgr.
Dom Basilio do Nascimento,Pr, dan dihadiri sekitar 20 Uskup dan ratusan Wakil
Gereja Katolik Roma sedunia, termasuk utusan Khusus Paus Yohanes Paulus II,
Renato Martinho, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Renzo Fratini, dan Ketua
KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Kardinal Julius Darmaatmadja.
Pada 30 Juli 2012, tengah malam, salah satu TV Nasional
Indonesia menayangkan satu acara dengan thema sentral: “Timor Leste Adalah
Negara Ultra Sekuler”. Dalam tayangan tersebut, Sekjen Fretilin, yang juga
mantan Perdana Menteri Timor Leste, Dr. Mari Alkatiri, diwawancarai.
Tentunya TV Nasional Indonesia tidak salah mengangkat thema
tersebut (Timor Leste adalah negara ultra sekuler), karena alat ukurnya jelas,
yakni Konstitusi Timor Leste. Dari 170 pasal, tidak satu pasal pun yang
menyebutkan Nama TUHAN. Sementara negara-negara dengan sebutan sekuler lainnya
seperti misalnya Amerika Serikat, masih sempat-sempatnya menyebutkan Nama
TUHAN. Tapi kenapa Timor Leste sama sekali tidak menyebutkan? Di sinilah letak
“ultra sekulernya”.
Faktor Penghambat dan Pendukung Kemerdekaan
a. Faktor Penghambat
Coba Anda ambil peta, dan lihat baik-baik letak geografis
wilayah Timor Leste. Di Barat, ada negara raksasa, Indonesia yang melakukan
invasi atas wilayah Timor Portugis, pada 7 Desember 1975, kemudian menduduki
Timor-Timur dan menentang perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Di Selatan, ada negara
raksasa Australia, yang bersama Amerika Serikat (lebih tepatnya sering menjadi
satelitnya Amerika), lebih sering memperlihatkan politik luar negerinya yang
memiliki standar ganda, dalam menyikapi perjuangan Kemerdekaan Timor Leste.
Pada saat tertentu, mendukung. Tapi pada saat yang lain, menentang. Australia
lebih memprioritaskan kepentingannya dengan Indonesia, dari pada mementingkan
kepentingan perjuangan Kemerdekaan Timor Leste.
Hanya saat-saat terakhir, setelah Indonesia dihantam krisis
moneter pada 1998 dan suksesi nasional berjalan tidak normal dengan lengsernya
Presdien Soeharto pada Kamis, 21 Mei 1998, dan naiknya Wakil Presiden Habibie,
lalu pada 27 Januari 1999, Presiden Habibie secara tiba-tiba mengejutkan
komunitas internasional dengan mengumumkan dua opsi untuk penyelesaian masalah
Timor-Timur (memilih Otonomi atau keluar dari bingkai NKRI), Perdana Menteri
John Howard langsung mengontak Presiden Habibie dan mengusulkan teknis
penyelesaian masalah Timor-Timur. PM John Howard menyarankan Indonesia untuk
mengadopsi pola yang digunakan Perancis dalam menyelesaikan masalah Kale-Donia
Baru. Presiden Habibie marah besar dan berkata; “Indonesia bukan penjajah
seperti Perancis”.
Faktor penghambat lainnya adalah Amerika Serikat yang menerapkan
politik standar ganda, minimal sebelum munculnya Presiden Bill Clinton. Di
depan, Pemerintah Amerika mencoba mengecam Indonesia atas pelanggaran HAM di
Timor-Timur, namun di belakang, bantuan militer terus mengalir ke Indonesia.
Faktor penghambat terbesar lainnya adalah dari dalam negeri Timor-Timur
sendiri. Adanya fakta bahwa sebagian masyarakat Timor-Timur memang menginginkan
Timor-Timur menjadi bagian integral NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
b. Faktor Pendukung
Terlalu sulit untuk menemukan faktor pendukung yang signifikan
guna meringankan beban perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Secara matematis,
porsinya sangat kecil. Kebetulan saja, proses dekolonisasi Timor Portugis masih
dianggap belum selesai oleh PBB. Portugal gagal menyelesaikan proses
dekolonisasi pasca Revolusi Bunga di Lisabon 25 April 1974. Begitu pecah perang
sipil di wilayah Timor Portugis, orang Timor Portugis saling membantai,
Indonesia melakukan invasi pada 7 Desember 1975, pejabat Portugis terakhir di
Dili, Gubernur Lemos Pires, digambarkan oleh pejabat Indonesia, dalam apa yang
disebut: “lari terbirit-birit” meninggalkan Dili, menuju Atauro (Pulau
kambing).
Walau lari terbirit-birit, namun karena dihadapkan pada
tanggung-jawab moral, karena telah menjajah Timor Portugis selama 460 tahun
(1515-1975), Portugal dengan susah payah, tetap memberikan dukungannya untuk
Kemerdekaan Timor Leste. Namun berhubung Portugal bukanlah negara yang secara
politis, memiliki pengaruh kuat di dunia internasional seperti Amerika, dan
juga secara ekonomi, Portugal bukanlah negara kaya, belum lagi secara
geografis, letaknya yang nun jauh di seberang lautan, dukungan Portugal sering
mentok. Satu-satunya kekuatan yang memberikan energi terbesar bagi perjuangan
Kemerdekaan Timor Leste adalah “Gereja Katolik Roma”. Boleh dibilang: “Gereja
Katolik Roma memainkan peran sentralisitik dalam perjuangan Kemerdekaan Timor
Leste yang beradarh-darah.
Ini fakta. Bukan cerita utopis. Salah satu alat ukurnya adalah;
“Nobel Perdamaian yang diterima Uskup Belo pada Desember 1996”. Pada masa-masa
perjuangan fisik, para pejuang Kemerdekaan Timor Leste sering “ngumpet di bawah
jubah Gereja Katolik Roma”. Banyak Praktisi Gereja Katolik yang diberi stigma
“GPK” kepala dua, hanya karena keterlibatan mereka dalam ikut memperjuangkan
Kemerdekaan Timor Leste. Tapi ironinya; setelah Timor Leste mencapai
Kemerdekaannya, dari 170 pasal yang disusun Majelis Konstituante yang terdiri
dari 88 orang (55 orang dari Fretilin), tidak satu pasal pun yang menyebutkan
Nama TUHAN. Sekali lagi, di sinilah letak ironi besar itu.
Maka hari ini, bertepatan dengan 20 tahun perayaan Restaurasi
Kemerdekaan Timor Leste, saya secara pribadi mempertanyakan, kenapa dari 170
pasal, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN, bukan karena saya
berkaca pada Konstitusi negara lain yang secara eksplisit mengakui peran
sentralisitik TUHAN dalam berdirinya negara-negara besar di berbagai belahan
bumi, melainkan karena saya berkaca pada sejarah perjuangan bangsa ini sebagai
referensi utama.
Jika disimak lebih jauh lagi, tersaji fakta bahwa, negara-negara
besar yang terlibat dalam sejarah Timor Leste yang berdarah-darah (Indonesia
harus kehilangan lebih dari 35 ribu prajuritnya di Timor-Timur, belum terhitung
ribuan lainnya yang cacat), adalah negara-negara yang Konstitusinya selalu
menyebutkan Nama TUHAN. Contohnya; Indonesia, Australia dan Amerika, memiliki
Konstitusi yang secara khusus menyebutkan “Nama TUHAN” pada tempat yang paling
pertama dan utama.
Tapi sekali lagi, pertanyaan ironinya adalah, “Kenapa Timor
Leste yang wilayah geografisnya sangat kecil (hanya setengah pulau) dan secara
ekonomi, sangat miskin di mata dunia, justeru menolak menyebutkan Nama TUHAN?
Kecuali hanya 1x disebutkan secara “sambil lalu” (ogah-ogahan) di Preamblu
(Pembukaan). Kenapa? Apakah karena Majelis Konstituante yang terdiri dari 88
orang yang menyusun Konstitusi Timor Leste, sebagian besar didominasi oleh
Fretilin (55 orang?), yang artinya, Fretilin tetap konsisten mempertahankan
ideologi kirinya? Ataukah karena memang watak asli orang Timor Leste, yang
dengan ketegaran tengkuk dan kecongkakan hati, sengaja menyingkirkan TUHAN dari
konstitusi negara, karena menganggap bahwa TUHAN sama sekali tidak memiliki
andil dalam berdirinya Negara Timor Leste ?”
B. Mengintip Ungkapan Konstitusi Negara Lain Tentang TUHAN
1.Konstitusi Argentina:
“Kami memohon perlindungan Tuhan, sumber dari semua alasan dan
keadilan…”
2.Konstitusi Albania:
“Kami bangsa Albania, bangga dan sadar akan sejarah kami, dengan
tanggung-jawab untuk masa depan dan iman kepada Tuhan”.
3.Konstitusi Aljazair:
“Dalam Nama Tuhan Yang Maha Penyayang dan Penuh Welas Asih….”
4.Konstitusi Indonesia
“Atas berkat dan rahmat Allah….” (alinea 3 Pembukaan UUD 45).
Indonesia adalah negara besar yang paling dekat dengan Timor
Leste (berbatasan darat), dengan wilayahnya yang sangat luas, dengan kekayaan
alamnya yang tidak akan habis dimakan 77 turunan, memiliki jumlah populasi
penduduk nomor 4 dunia (setelah Cina, India dan Amerika), memberikan tempat
yang pertama dan utama untuk TUHAN. Falsafah hidup Indonesia (Pancasila) yang
terdiri dari 5 sila, sila pertama mengakui adanya TUHAN Yang Maha Esa. Selain
itu, dalam Pembukaan UUD 45, peran sentral(istik) ALLAH dalam pencapaian
Kemerdekaan Indonesia, diakui seara nyata oleh rakyat Indonesia dan ditulis
secara eksplisit di alinea 3, yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa..dst). Juga dalam Batang Tubuh UUD 45, pasal 29, diatur mengenai
agama dan kepercayaan warga negaranya.
5. Konstitusi Australia.
“Kami dengan rendah hati mengandalkan berkah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa…”
Coba simak lebih jauh, apa kata Konstitusi orang-orang Australia
berikut ini: “Kami orang-orang New South Wales, Victoria, Australia Selatan,
Queensland, dan Tasmania, bergantung pada berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan
telah sepakat untuk bersatu dalam satu Persemakmuran Federal yang tak
terpisahkan di bawah Mahkota Ratu Britania Raya dan Irlandia dan di bawah
konstitusi ini, menetapkan…dst).
6. Konstitusi Amerika Serikat
“In God we trust…” “For God and Country” (Untuk Tuhan dan
Negara). Amerika Serikat, dengan jelas memberikan tempat yang spesial untuk
TUHAN. Dalam mata uang lembaran dolar Amerika, tertulis kalimat: “In God we
trust”. Bukan hanya itu. Coba simak motto Lembaga Veteran Amerika Serikat. Para
Veteran bersemboyan: “For God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara).
Di setiap hotel di AS selalu tersedia Injil di setiap kamarnya,
bahkan ada yang menyediakan dua Injil tiap kamar. Padahal AS adalah negeri
sekular. Pun demikian dengan prosesi pelantikan presiden atau wakil presiden,
tak pernah luput dari ikrar atas nama Tuhan dan di hadapan pemimpin agama. Di
setiap kontitusi negara bagian (ada 50 negara bagian), selalu ada Nama TUHAN disebutkan.
Minimal 1x.
Ada trend saat ini, di mana AS berada dalam genggaman yang oleh
sebagian warga AS sendiri disebut sebagai kaum konservatif, bahkan
fundamentalis Kristen. Pada jaman pemerintahan Presiden Bush Jr, Bush sendiri
'kelepasan lidah' saat menyebut kata “Crusade” (Perang Suci) setelah tragedi
9/11. Bayangkan, pemimpin dari negara adidaya seperti Amerika Serikat,
memperlihatkan sisi Spiritulitas mereka yang kental. Tapi anehnya, kok Timor
Leste yang kecil dan miskin justeru memperlihatkan “ketegaran tengkuk dan
kecongkakan hatinya?” Apakah TUHAN akan memperlihatkan murkaNya di masa depan,
saat Timor Leste benar-benar kolaps setelah Greater Sunrise terkuras habis,
lalu negara-negara besar berlomba untuk “mengakuisisi” Timor Leste yang bangkrut?
Pada saat drama ini terjadi, mungkin banyak di antara kita yang membaca catatan
ini, sudah berada di “dunia lain”.
C. Gerakan Sekularisasi Jaman Ini
Saat ini, tampaknya, manusia didominasi peradaban Barat modern
yang berlandaskan pada paham sekularisme, rasionalisme, utilitarianisme, dan
materialisme. Peradaban ini mendekatkan manusia ke ambang kehancuran, walau
kita tidak menutup mata, ada berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh
peradaban ini. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban modern ini
juga telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimbangan sosial,
kerusakan lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat
sosial atau standar etika dan moral dalam diri individu atau masyarakat). Tidak
terdapat keseimbangan dan ketertiban di masyarakat.
Peradaban Barat modern sebagai mana ditulis sejarawan Marvin
Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis
(a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan
besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat berbagai
kemudahan fasilitas hidup, tapi pada sisi lain, peradaban ini memberi
kontribusi yang tidak kecil kepada penghancuran alam semesta. (Marvin Perry,
Western Civilization : A Brief History, Boston New York : Hough ton Mifflin
Company, 1997, hlm. xxi.).
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sekularisme adalah
faham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan
pada ajaran agama. Sementara sekuler berarti, bersifat duniawi atau kebendaan
(bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Lalu sekularitas adalah:
1. Kehidupan duniawi;
2. Kedudukan seorang pejabat duniawi (bukan jabatan keagamaan);
3. Daerah kekuasaan hukum duniawi dari organisasi keagamaan.
Sementara menurut Kamus Teologi karya dua orang Imam Jesuita
(Collins dan Farrugia), hal. 291, berjudul asli: A Concise Dictionary of
Theology, terbitan Paulist Press New Jersey, 1991, menjelaskan sebagai-berikut;
Secularisme (Bahasa Latin, yang artinya percaya kepada dunia):
a. Ideologi ateis atau agnostik yang mengesampingkan kepercayaan
dan nilai-nilai religius dan menjelaskan segala sesuatu, melulu dalam lingkup
dunia ini.
b. Yang disebutkan pada poin a di atas, harus dibedakan dari
"sekularitas", yaitu suatu sikap yang menunjukkan keterlibatan dengan
dunia ini dan masalah-masalahnya, tetapi tidak dengan sendirinya anti religius.
c. Sekularisasi, yaitu menunjukkan setiap proses sosial dan
historis yang membawa perubahan, yaitu semakin dijauhinya pengaturan gerejawi
dan tujuan-tujuan yang suci, misalnya perlakuan keras terhadap biara-biara di
Inggris pada abad ke-16, pengaruh Revolusi Prancis di Prancis, dan politik
Napoleon Bonaparte (1769-1821) di Jerman. Tanah dan bangunan yang pada mulanya
dipakai untuk kepentingan hidup religius, dikuasai oleh para bangsawan,
pedagang dan lain-lain, untuk kepentingan yang melulu duniawi.
d. Imam sekulir adalah imam-imam diosesean yang taat kepada
uskupnya, berbeda dari imam-imam anggota ordo atau tarekat religius.
D. Apakah Masih Relevan Mementingkan Nama TUHAN Dalam
Konstitusi?
Negara-negara Eropa Tengah dan Barat, mengutip Konrad Schmid
dalam “In the Name of God? The Problem of Religious or Non-religious Preambles
of State Constitutions in Post-atheistic Context” (2004), beranggapan
penyertaan agama dan Tuhan dalam konstitusi sudah tidak lagi relevan. Perancis
dan Jerman, contohnya, mulai memisahkan agama dan negara ke dalam dua ruang
yang berbeda. Polandia, yang dikenal sebagai negara dengan penduduk Katolik
terbanyak di dunia pun, perlahan menempatkan agama dan negara tidak pada satu
ruangan.
Bagi negara-negara Eropa Barat dan Tengah, negara harus netral
dari urusan agama. Pasalnya, tanpa negara pun, agama sudah punya tempat untuk
menafsirkan aturannya sendiri.
Dikhawatirkan, ketika agama masuk dalam instrumen negara (baca:
konstitusi), yang ada hanyalah konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di
Ceko pada 1940-1950-an ketika Gereja Katolik menjadi target pemberangusan rezim
komunis.
Konstitusi, tegas Coleman, pada dasarnya adalah kontrak yang tak
hanya melibatkan warga negara, pemerintah, dan sistem hukum. Konstitusi juga
merupakan kontrak yang melibatkan generasi sekarang, masa lalu, dan masa depan.
Konstitusi harus mengakui nilai-nilai yang tak cuma dipercayai orang beragama
(mayoritas), tapi juga oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dan
sebaik-baiknya konstitusi adalah yang merangkul semua warga negara, alih-alih
menjadi tameng bagi kelompok agama tertentu.
Orang-orang penganut faham sekuler yang kental beranggapan
bahwa, tak ada jaminan, konstitusi yang memuat unsur agama atau ketuhanan, bisa
mengubah masyarakat di dalamnya menjadi lebih religius. Contohnya ada pada
Massachusetts, New Hampshire, dan Vermont. Konstitusi ketiga negara bagian ini
paling banyak menyertakan terma “Tuhan.” Namun, berdasarkan riset Pew Center
pada 2016, ketiganya justru menjadi negara bagian paling tidak religius di AS.
E. Faktor Sejarah
Rujukan kepada Tuhan, tulis Marc Coleman dalam “God and the EU
Constitution: The Case for a “New Covenant” (2004) yang dipublikasikan di
Studies: An Irish Quarterly Review, memang sering dijumpai di bagian pembuka
konstitusi. Rujukan ini dibedakan menjadi dua, yakni "Permohonan kepada
Tuhan" (Invocatio Dei) dan "Penyebutan Tuhan" (Nominatio Dei).
Sebagaimana dijelaskan Randall Lesaffer dalam “Peace Treaties
and International Law in European History: from the Late Middle Ages to World
War One” (2004) yang diterbitkan American Historical Review, Invocatio Dei
punya riwayat historis yang panjang dalam hierarki hukum Eropa. Pada zaman kuno
dan Abad Pertengahan, sosok dewa atau Tuhan biasanya disertakan dalam kontrak
sebagai jaminan.
Formula seperti “Atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus”, lazim
dipakai di awal dokumen hukum guna menekankan keadilan dari norma yang dibuat.
Perjanjian semacam ini diterapkan di antara negara-negara Kristen sampai akhir
abad 19. Sedangkan “Nominatio Dei” sendiri dapat ditemukan di beberapa tradisi
konstitusi Eropa yang mencerminkan kekuatan posisi gereja di atas negara.
Dalam perjalanannya, konsep Invocatio Dei dan Nominatio Dei
punya beberapa tujuan. Pertama, memberi legitimasi negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan di mana raja dianggap sebagai manifestasi Tuhan
di bumi sehingga berwenang untuk memerintah sesuai kehendak ilahi. Kedua,
menunjukkan dukungan negara untuk agama tertentu. Ketiga, melanggengkan sejarah
dan tradisi sebuah negara.
Seiring waktu, konstitusi tertulis menjadi norma bagi
negara-negara modern pada abad 19. Beberapa negara Eropa pun mempertahankan
tradisi agama ke dalam dokumen pendirian mereka. Sekalipun ingin
menyelenggarakan pemerintahan sekuler dan republikan, yang berbeda dari
pemerintahan ala monarki, kata "Tuhan" kerap dikutip sebagai alat
legitimasi. Namun, tak sedikit negara yang mulai memisahkan urusan agama dengan
negara dengan alasan menjaga netralitas agama. Negara-negara Eropa yang
menerapkan aturan main semacam ini antara lain Islandia, Italia, Portugal,
Jerman, Perancis, dan Spanyol.
F. Warisan Para Veteranus Untuk Generasi Masa Depan
Markus Tullius Cicero, ahli hukum, filsuf, orator ulung, yang
hidup di Italia pada jaman Romawi Kuno (lahir di pada 3 Januari 106 Sebelum
Masehi, meninggal pada 7 Desember 43 Sebelum Masehi), terkenal dengan ucapannya
yang dipopulerlkan oleh Presiden ke-35 Amerika Serikat, John Fitgerald Kennedy
(Presiden Katolik yang tertembak di Dallas pada 22 November 1963): “Jangan
bertanya, apa yang negara berikan kepadamu. Tetapi bertanyalah, apa yang kamu
berikan kepada negara?”
Pada kekinian, pasca 20 Mei 2002, para Veteran Perang Timor
Leste tidak lagi bertanya; “Apa yang akan saya berikan kepada negara?” Tapi
mereka (termasuk saya yang menuliskan catatan ini), lebih senang bertanya; “Apa
yang akan negara berikan kepada saya?”
Pola bahasa wajib para pemimpin Timor Leste saat ini, termasuk
pengikut-pengikut fanatiknya (salah satunya mungkin saya yang menuliskan
catatan ini), adalah; “Di masa lalu, kami telah berjuang untuk negara ini. Kami
lah kausa prima dari berdirinya negara ini. Negara ini merdeka karena kami.
Bukan karena TUHAN. Maka kami, bukan hanya menutut hak-hak kami untuk hidup
secara layak, tetapi kami ingin dihormati dan dielu-elukan. Bahkan kalau perlu,
kami harus dikultuskan hingga ajal menjemput”.
Coba lihat fakta saat ini. Hampir semua lembaga negara penting
di Timor Leste, dipimpin para Veteranus. Yang menjadi Presiden Republik saat
ini (Francisco Guterres Lu-Olo), adalah Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata
(Falintil). Yang memimpin Lembaga Exekutif dengan menduduki kursi Perdana
Menteri saat ini (Taur Matan Ruak), adalah Veteranus dari Front Angkatan
Bersenjata (Falintil). Sementara yang memimpin Partai Oposisi di Parlamen saat
ini, walau berada di luar sistim (José Alexandre Kayrala Xanana Gusmão), adalah
Komandan Tertinggi Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Bahkan,
the rising star, yang saat ini memimpin Lembaga Legislatif dengan menduduki
Kursi Presiden Parlamen Nasional (Companheiro Aniceto Guterres), yang kadang
terlalu reaktif dan sering melakukan blunder melalui komentar-komentarnya, juga
adalah Veteranus dari Front Klandestin (Renetil).
Kesimpulannya, jika saat ini muncul banyak masalah gegara
konflik politik yang tidak ada ujung-pangkalnya, yang melahirkan berbagai
pathologi sosial, termasuk korupsi yang meraja-lela, peggunaan anggaran negara
yag tiak pada tempatnya, pengangguran yang tumbuh bagaikan cendawan di musim
penghujan, starvasi dan malnutrisi yang melanda rakyat kecil, dan berbagai
masalah negara lainnya, secara moral maupun secara politik, yang harus
bertanggung-jawab adalah para Veteranus, karena, sedikit atau banyak, mereka
memiliki saham atas berbagai masalah yang terjadi di negeri ini. Itu artinya,
jika di kemudian hari, negara ini harus kolaps dan kemudian jatuh ke dalam
status “negara gagal (failed state), itu karena ulah para Veteranus yang lebih
mementingkan ego, ketimbang mementingkan kepentingan rakyat kecil.
Pertanyaan menggodanya adalah; “Jika motto Lembaga Veteran
Amerika Serikat, berbunyi: “For God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara), lalu
apa motto Veteranus Timor Leste? Dengan berkaca pada perilaku “egosentris”
Veteranus Timor Leste saat ini, maka mungkin motto yang paling tepat dari
Veteranus Timor Leste, bunyinya adalah: “Untuk dolar dan kekuasaan”. Bukan
untuk “Tuhan dan Negara”. Bayangkan, demi dolar dan kekuasaan, ribuan veteranus
palsu memenuhi daftar Veteranus yang ada di Ministeriu Assuntu Kombantente
Libertasaun Nasional, yang saat ini dipimpin oleh seorang menteri yang juga
memiliki latar belakang Veteranus, yaitu Senhor Julio da Costa Sarmento
“Meta-Mali”.
KESIMPULAN
1. Diakui atau tidak, berkat dan rahmat Allah, tetap merupakan
kausa prima, bukan hanya bagi lahirnya negara ini, tapi juga sekaligus bagi
tetap eksisnya negara ini di masa depan.
2. Konstitusi itu, pada hakikatnya adalah merupakan ekspresi
kolektif terdalam yang memanifestasikan identitas sebuah bangsa.
3. Selama 20 tahun restaurasi kemerdekaan, pembangunan di Timor
Leste mengalami “set-back” (kemunduran signifikan), dan salah satu faktor
penyebabnya adalah perilaku egosentris para Veteran yang menyebabkan lahirnya
berbagai kebijakan publik yang tidak populer, yang ujung-ujungnya merugikan
kepentingan banyak orang.
4. Melihat kenyataan saat ini, maka ada keniscayaan, warisan
terbesar yang akan ditinggalkan para pendiri negara (Veteran) untuk generasi
muda di masa depan adalah “negara gagal” (failed state).
SARAN
1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan amandamen Konstitusi
Timor Leste. Amandamen untuk isu yang mana? Saya yakin Anda tahu ke arah mana
tujuan saya. Banyak negara yang berkali-kali melakukan amandamen terhadap
konstitusi mereka, karena konstitusi bukan Kitab Suci yang berisi ajaran-ajaran
dogmatis. Contohnya, Indonesia sudah 4x melakukan amandamen terhadap UUD 1945.
2. Jujur saja, saya sebenarnya ingin memberikan saran kedua
begini: Sudah saatnya, secara gradual, perlu dilakukan peralihan kepemimpinan
nasional, dari generasi tua ke generasi muda. Karena, jika Generasi Tua tetap
memegang kepemimpinan nasional, maka polarisasi konflik (politik) yang akan
terjadi adalah “perang opini” antar kaum konservatif-orthodox, untuk
mempertahankan egonya masing-masing, tapi bukan”perang pengetahuan” antar kaum
demokrat-moderat, untuk membangun negara ini menjadi lebih baik. Namun dengan
melihat data statistik, saya menjadi ragu untuk memberikan saran tersebut di
atas.
Coba Anda lihat faktanya. Selama 20 tahun restaurasi kemerdekaan, hampir tidak ada sama sekali, generasi tua (Generasi 75) yang menghuni hotel prodeo karena kasus korupsi. Bahkan 99,99% penghuni hotel prodeo karena kasus korupsi, adalah generasi yang lebih muda. Maka saya membenarkan pesan Uskup Belo, bahwa kita memang berhasil memperoleh kemerdekaan, tapi kita mengalami degradasi moral(itas). Dengan demikian, masalah moralitas, menjadi tantangan terbesar bagi kaum muda Timor Leste untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Mungkin ini menjadi salah satu alasan, mengapa tidak satu pun dari Kaum Muda yang berhasil memenangkan Pemilihan Presiden 2022. Oleh karena itu, kaum muda Timor Leste perlu memperbaiki diri, agar dengan demikian, yang lebih berkembang dalam diri kita adalah, fungsi-fungsi luhur, yang diletakkan Allah di tempat yang paling tinggi (yaitu otak), dan berusaha keras, untuk mengendalikan nafsu-nafsu rendah yang tersembunyi di antara “selangkangan” kita.
"A drop of ink can move a million of people to think" (n.n).
Catatan Kaki:
Terminologi: “resmi beragama, praxis tak beriman”, saya meminjam terminologi yang pernah digunakan Almarhum Romo YB Mangunjaya semasa hidupnya.
Sekedar info: Saya terakhir kali bertemu Romo Mangun, pada Hari Minggu, 7 Juni 1998, di Asrama Mahasiswa Timor-Timur, yang terletak di Jl. Kaliurang KM 7 Jogjakarta, saat Almarhum memimpin Perayaan Eakristi, untuk mendo’akan mahasiswa Timor Leste yang akan mengambil bagian dalam demo akbar, di Kantor Deplu Jakarta, pada 12 Juni 1998, yang berakhir dengan tindakan represif fihak Aparat Keamanan Indonesia. Hari itu, ribuan demonstran (salah satunya adalah keponakan Menlu Ali Alatas sendiri, yakni Alamuddin Alatas), ikut diangkut. Banyak aktivis Reformasi jaman itu, merupakan kaum muda asli kelahiran Indoensia, yang hari itu, ikut diangkut. Gegara mereka, tanpa pamrih, memberikan dukungan penuh kepada perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Beberapa di antara mereka, setelah Timor-Timur berpisah dengan Indonesia (saya tidak menggunakan terminologi: Timor-Timur merdeka dari Indonesia), sempat berkunjung ke Timor Leste. Tapi sayang, sambutan pemimpin Timor Leste tidak seheboh sambutan mereka terhadap Mbak Najwa Shihab. Bahkan pemimpin Timor Leste bersikap “cuek-bebek”.
Sebagian isi artikel ini, disadur dari sejumlah sumber.
Foto-foto dalam artikel ini, saya ambil dari google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar