SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Jumat, 20 Mei 2022

KONSTITUSI TIMOR LESTE BERBANDING TERBALIK DENGAN KONSTITUSI DARI NEGARANYA MBAK NAJWA SHIHAB


Oleh: Rama Cristo

Dosen Universidade da Paz (UNPAZ), mengasuh Matakuliah:

1. Health Physics (Fisika Kesehatan),

2. Human Anatomy and Physiology.

3. Psychosocial Aspect of Reproductive Health.

Dan saat ini mengemban posisi sebagai Pro Reitor Bidang Penelitian & Publikasi.

A. Pengantar Singkat

====================================

"Konstitusi pada dasarnya adalah kontrak antara generasi hari ini, masa lalu, dan masa depan". Ini kata Marc Coleman. Bukan kata saya (Rama Cristo).

====================================

Berhubung artikel ini membicarakan isu Konstitusi, maka sekedar informasi awal; Pada beberapa bulan lalu, ketika Fakultas Hukum Universitas Udayana (UNUD) Bali dan Universidade da Paz (UNPAZ) menyelenggarakan Seminar Internasional, Guru Besar Fakultas Hukum UNUD, Prof. Dr. Yohanes Usfunan,MHum,Drs, sampai harus "membolong-bolongi" Konstitusi Timor Leste. Terasa agak sedikit "mengerikan". Prof. Usfunan (yang merupakan teman baik Prof. Lucas, Rektor UNPAZ I), memulai pekerjaannya dari Pasal 13 yang mengatur mengenai bahasa resmi (Mengapa orang Timot Leste lebih mengelu-elukan Bahasa Portugis), dan menempatkan Bahasa Indonesia hanya sebagai "bahasa kaum proletariat" (di Pasal 159). Padahal secara geografis, letak Portugal nun jauh di seberang lautan, sementara letak Indonesia, ada di depan mata, bahkan kedua negara satu rumpun ini, berbagi sebuah pulau kecil. Portugal menjajah Timor Portugis selama 460 tahun (1515-1975), tapi hanya menghasilkan Sarjana, yang jika dihitung dengan jari sebelah tangan, tidak habis, sementara Indonesia yang hanya menduduki (bukan menjajah) Timor-Timur selama 24 tahun, mampu menghasilkan ribuan Sarjana. Tetapi kenapa Bahasa Indonesia dimarjinalkan? Timor Leste "memohon-mohon" ingin bergabung ke ASEAN, tetapi mengabaikan kultur (Bahasa Indonesia), yang merupakan pengguna terbanyak di ASEAN?


Ucapan Terima-Kasih

Berhubung saya telah menyebutkan nama salah satu Jurnalis top Indonesia, yang cantik dan smart, juga berkharisma, sampai harus dielu-elukan oleh pemimpin top Timor Leste, maka perkenankanlah saya mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Najwa Shihab, karena pernah membagikan salah satu artikel saya di situs pribadinya.

Jika Mbak Najwa Shihab membaca tulisan ini, dan masih ada di Kota Dili, coba lakukan percobaan sederhana ini. Ambil lah lima batu, lalu sambil menutup mata Mbak, lemparkanlah lima batu itu secara random (acak) ke segala arah. Ada kemungkinan, 4 dari 5 batu yang Mbak Najwa lempar, yang artinya 80% lemparan Mbak Najwa, akan jatuh di atas rumah orang, yang secara resmi beragama, meskipun pada level praxis, belum tentu beriman.

Setelah itu, jika tidak keberatan, coba Mbak Najwa memeriksa 170 pasal Konstitusi Timor Leste. Dan hitunglah, berapa persen Nama ALLAH tertulis di sana. Dijamin, hasilnya pasti 0% (nol persen). Karena, dari 170 pasal Konstitusi Timor Leste, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama ALLAH, kecuali hanya disebutkan sambil lalu (ogah-ogahan) sebanyak 1X dalam Preamblue (Pembukaan)?”


Ternyata, lemparan batu Mbak Najwa yang menghasilkan 80%, berbanding terbalik dengan konsep(si) orang Timor Leste, dalam mendirikan negara. Jika Konstitusi Timor Leste dijadikan alat ukur, maka wajah negara Timor Leste bukanlah wajah negara beragama, apalagi beriman. Inilah yang menyebabkan, pada Pertemuan Camp David, Saptu, 5 Juli 1975, Presiden Soeharto, di hadapan Presiden Gerald Ford dan Menlunya Henry Kissinger, menyebutkan kata “komunis” sebanyak lebih dari 20X, dan kata “komunis” selalu dikaitkan dengan eksistensi Fretilin, yang pada jaman itu (1975), terkooptasi oleh ideologi kiri dan ideology kiri inilah, yang di kemudian hari menjadi instrumen justifikasi bagi Amerika untuk memberikan “green light” kepada Indonesia guna menginvasi wilayah Timor Portugis pada 7 Desember 1975, hanya sehari setelah Presiden Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger meninggalkan Jakarta, kembali ke Amerika.

B. Timor Leste Adalah Negara Ultra Sekuler

Hari ini, 20 Mei 2022, di Indonesia dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang ke-114 (1908 – 2022), sementara di Timor Leste, dirayakan sebagai hari Restaurasi Kemerdekaan Timor Leste yang ke-20 (2002 – 2022).

Restaurasi Kemerdekaan Timor tahun lalu, mengambil tempat di Tassi Tolu Dili, situs bersejarah yang pernah digunakan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II untuk merayakan Missa Agung pada Kamis, 12 Oktober 1989.

Deklarasi Restaurasi Kemerdekaan (versi orang Timor Leste), atau oleh komunitas internasional dikenal sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste, dihadiri sejumlah pemimpin dunia, antara lain;

1. Kofi Annan, Sekjen PBB.

2. Bill Jefferson Clinton, Presiden ke-42, Amerika Serikat.

3. Jorge Fernando Branco de Sampaio, Presiden Portugal, keturunan Yahudi).

4. Megawati Soekarnoputeri, Presiden-ke 5 RI.

5. John Howard, Perdana Menteri Australia.

6. Helen Clark, Perdana Menteri Selandia Baru.

7. James Wolfenson, Presiden Bank Dunia.

Di antara pemimpin dunia yang disebutkan di atas, pemimpin yang tiba di Tassi Tolu paling akhir, adalah Ibu Megawati Soekarnoputri. Beliau tiba di Tassi Tolu malam hari, tepatnya pada pukul 21.15, Waktu Dili.

Menjelang detik-detik Proklamasi, Sekjen PBB Kofi Annan, memanggil Presiden Timor Leste, José Alexandre Kayrala Xanana Gusmão, naik ke panggung untuk menyaksikan penurunan bendera UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor), dan diganti dengan pengibaran bendera Timor Leste sambil diiringi lagu kebangsaan Timor Leste, Patria Patria. Kemudian Bendera UNTAET diserahkan kepada Sekjen PBB.

Perayaan Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste, 20 Mei 2002, sejatinya dimulai pada pukul 16.00 Waktu Dili, dibuka dengan Missa yang dipimpin Pemenang Nobel Perdamaian 1996, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Dili, Mgr. Dom Carlos Felipe Ximenes Belo,SDB, didampingi Uskup Baucau, Mgr. Dom Basilio do Nascimento,Pr, dan dihadiri sekitar 20 Uskup dan ratusan Wakil Gereja Katolik Roma sedunia, termasuk utusan Khusus Paus Yohanes Paulus II, Renato Martinho, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Renzo Fratini, dan Ketua KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Kardinal Julius Darmaatmadja.

Pada 30 Juli 2012, tengah malam, salah satu TV Nasional Indonesia menayangkan satu acara dengan thema sentral: “Timor Leste Adalah Negara Ultra Sekuler”. Dalam tayangan tersebut, Sekjen Fretilin, yang juga mantan Perdana Menteri Timor Leste, Dr. Mari Alkatiri, diwawancarai.

Tentunya TV Nasional Indonesia tidak salah mengangkat thema tersebut (Timor Leste adalah negara ultra sekuler), karena alat ukurnya jelas, yakni Konstitusi Timor Leste. Dari 170 pasal, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN. Sementara negara-negara dengan sebutan sekuler lainnya seperti misalnya Amerika Serikat, masih sempat-sempatnya menyebutkan Nama TUHAN. Tapi kenapa Timor Leste sama sekali tidak menyebutkan? Di sinilah letak “ultra sekulernya”.

Faktor Penghambat dan Pendukung Kemerdekaan

a. Faktor Penghambat

Coba Anda ambil peta, dan lihat baik-baik letak geografis wilayah Timor Leste. Di Barat, ada negara raksasa, Indonesia yang melakukan invasi atas wilayah Timor Portugis, pada 7 Desember 1975, kemudian menduduki Timor-Timur dan menentang perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Di Selatan, ada negara raksasa Australia, yang bersama Amerika Serikat (lebih tepatnya sering menjadi satelitnya Amerika), lebih sering memperlihatkan politik luar negerinya yang memiliki standar ganda, dalam menyikapi perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Pada saat tertentu, mendukung. Tapi pada saat yang lain, menentang. Australia lebih memprioritaskan kepentingannya dengan Indonesia, dari pada mementingkan kepentingan perjuangan Kemerdekaan Timor Leste.

Hanya saat-saat terakhir, setelah Indonesia dihantam krisis moneter pada 1998 dan suksesi nasional berjalan tidak normal dengan lengsernya Presdien Soeharto pada Kamis, 21 Mei 1998, dan naiknya Wakil Presiden Habibie, lalu pada 27 Januari 1999, Presiden Habibie secara tiba-tiba mengejutkan komunitas internasional dengan mengumumkan dua opsi untuk penyelesaian masalah Timor-Timur (memilih Otonomi atau keluar dari bingkai NKRI), Perdana Menteri John Howard langsung mengontak Presiden Habibie dan mengusulkan teknis penyelesaian masalah Timor-Timur. PM John Howard menyarankan Indonesia untuk mengadopsi pola yang digunakan Perancis dalam menyelesaikan masalah Kale-Donia Baru. Presiden Habibie marah besar dan berkata; “Indonesia bukan penjajah seperti Perancis”.

Faktor penghambat lainnya adalah Amerika Serikat yang menerapkan politik standar ganda, minimal sebelum munculnya Presiden Bill Clinton. Di depan, Pemerintah Amerika mencoba mengecam Indonesia atas pelanggaran HAM di Timor-Timur, namun di belakang, bantuan militer terus mengalir ke Indonesia. Faktor penghambat terbesar lainnya adalah dari dalam negeri Timor-Timur sendiri. Adanya fakta bahwa sebagian masyarakat Timor-Timur memang menginginkan Timor-Timur menjadi bagian integral NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

b. Faktor Pendukung

Terlalu sulit untuk menemukan faktor pendukung yang signifikan guna meringankan beban perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Secara matematis, porsinya sangat kecil. Kebetulan saja, proses dekolonisasi Timor Portugis masih dianggap belum selesai oleh PBB. Portugal gagal menyelesaikan proses dekolonisasi pasca Revolusi Bunga di Lisabon 25 April 1974. Begitu pecah perang sipil di wilayah Timor Portugis, orang Timor Portugis saling membantai, Indonesia melakukan invasi pada 7 Desember 1975, pejabat Portugis terakhir di Dili, Gubernur Lemos Pires, digambarkan oleh pejabat Indonesia, dalam apa yang disebut: “lari terbirit-birit” meninggalkan Dili, menuju Atauro (Pulau kambing).

Walau lari terbirit-birit, namun karena dihadapkan pada tanggung-jawab moral, karena telah menjajah Timor Portugis selama 460 tahun (1515-1975), Portugal dengan susah payah, tetap memberikan dukungannya untuk Kemerdekaan Timor Leste. Namun berhubung Portugal bukanlah negara yang secara politis, memiliki pengaruh kuat di dunia internasional seperti Amerika, dan juga secara ekonomi, Portugal bukanlah negara kaya, belum lagi secara geografis, letaknya yang nun jauh di seberang lautan, dukungan Portugal sering mentok. Satu-satunya kekuatan yang memberikan energi terbesar bagi perjuangan Kemerdekaan Timor Leste adalah “Gereja Katolik Roma”. Boleh dibilang: “Gereja Katolik Roma memainkan peran sentralisitik dalam perjuangan Kemerdekaan Timor Leste yang beradarh-darah.

Ini fakta. Bukan cerita utopis. Salah satu alat ukurnya adalah; “Nobel Perdamaian yang diterima Uskup Belo pada Desember 1996”. Pada masa-masa perjuangan fisik, para pejuang Kemerdekaan Timor Leste sering “ngumpet di bawah jubah Gereja Katolik Roma”. Banyak Praktisi Gereja Katolik yang diberi stigma “GPK” kepala dua, hanya karena keterlibatan mereka dalam ikut memperjuangkan Kemerdekaan Timor Leste. Tapi ironinya; setelah Timor Leste mencapai Kemerdekaannya, dari 170 pasal yang disusun Majelis Konstituante yang terdiri dari 88 orang (55 orang dari Fretilin), tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN. Sekali lagi, di sinilah letak ironi besar itu.

Maka hari ini, bertepatan dengan 20 tahun perayaan Restaurasi Kemerdekaan Timor Leste, saya secara pribadi mempertanyakan, kenapa dari 170 pasal, tidak satu pasal pun yang menyebutkan Nama TUHAN, bukan karena saya berkaca pada Konstitusi negara lain yang secara eksplisit mengakui peran sentralisitik TUHAN dalam berdirinya negara-negara besar di berbagai belahan bumi, melainkan karena saya berkaca pada sejarah perjuangan bangsa ini sebagai referensi utama.

Jika disimak lebih jauh lagi, tersaji fakta bahwa, negara-negara besar yang terlibat dalam sejarah Timor Leste yang berdarah-darah (Indonesia harus kehilangan lebih dari 35 ribu prajuritnya di Timor-Timur, belum terhitung ribuan lainnya yang cacat), adalah negara-negara yang Konstitusinya selalu menyebutkan Nama TUHAN. Contohnya; Indonesia, Australia dan Amerika, memiliki Konstitusi yang secara khusus menyebutkan “Nama TUHAN” pada tempat yang paling pertama dan utama.

Tapi sekali lagi, pertanyaan ironinya adalah, “Kenapa Timor Leste yang wilayah geografisnya sangat kecil (hanya setengah pulau) dan secara ekonomi, sangat miskin di mata dunia, justeru menolak menyebutkan Nama TUHAN? Kecuali hanya 1x disebutkan secara “sambil lalu” (ogah-ogahan) di Preamblu (Pembukaan). Kenapa? Apakah karena Majelis Konstituante yang terdiri dari 88 orang yang menyusun Konstitusi Timor Leste, sebagian besar didominasi oleh Fretilin (55 orang?), yang artinya, Fretilin tetap konsisten mempertahankan ideologi kirinya? Ataukah karena memang watak asli orang Timor Leste, yang dengan ketegaran tengkuk dan kecongkakan hati, sengaja menyingkirkan TUHAN dari konstitusi negara, karena menganggap bahwa TUHAN sama sekali tidak memiliki andil dalam berdirinya Negara Timor Leste ?”

B. Mengintip Ungkapan Konstitusi Negara Lain Tentang TUHAN

1.Konstitusi Argentina:

“Kami memohon perlindungan Tuhan, sumber dari semua alasan dan keadilan…”

2.Konstitusi Albania:

“Kami bangsa Albania, bangga dan sadar akan sejarah kami, dengan tanggung-jawab untuk masa depan dan iman kepada Tuhan”.

3.Konstitusi Aljazair:

“Dalam Nama Tuhan Yang Maha Penyayang dan Penuh Welas Asih….”

4.Konstitusi Indonesia

“Atas berkat dan rahmat Allah….” (alinea 3 Pembukaan UUD 45).

Indonesia adalah negara besar yang paling dekat dengan Timor Leste (berbatasan darat), dengan wilayahnya yang sangat luas, dengan kekayaan alamnya yang tidak akan habis dimakan 77 turunan, memiliki jumlah populasi penduduk nomor 4 dunia (setelah Cina, India dan Amerika), memberikan tempat yang pertama dan utama untuk TUHAN. Falsafah hidup Indonesia (Pancasila) yang terdiri dari 5 sila, sila pertama mengakui adanya TUHAN Yang Maha Esa. Selain itu, dalam Pembukaan UUD 45, peran sentral(istik) ALLAH dalam pencapaian Kemerdekaan Indonesia, diakui seara nyata oleh rakyat Indonesia dan ditulis secara eksplisit di alinea 3, yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa..dst). Juga dalam Batang Tubuh UUD 45, pasal 29, diatur mengenai agama dan kepercayaan warga negaranya.

5. Konstitusi Australia.

“Kami dengan rendah hati mengandalkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa…”

Coba simak lebih jauh, apa kata Konstitusi orang-orang Australia berikut ini: “Kami orang-orang New South Wales, Victoria, Australia Selatan, Queensland, dan Tasmania, bergantung pada berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan telah sepakat untuk bersatu dalam satu Persemakmuran Federal yang tak terpisahkan di bawah Mahkota Ratu Britania Raya dan Irlandia dan di bawah konstitusi ini, menetapkan…dst).

6. Konstitusi Amerika Serikat

“In God we trust…” “For God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara). Amerika Serikat, dengan jelas memberikan tempat yang spesial untuk TUHAN. Dalam mata uang lembaran dolar Amerika, tertulis kalimat: “In God we trust”. Bukan hanya itu. Coba simak motto Lembaga Veteran Amerika Serikat. Para Veteran bersemboyan: “For God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara).

Di setiap hotel di AS selalu tersedia Injil di setiap kamarnya, bahkan ada yang menyediakan dua Injil tiap kamar. Padahal AS adalah negeri sekular. Pun demikian dengan prosesi pelantikan presiden atau wakil presiden, tak pernah luput dari ikrar atas nama Tuhan dan di hadapan pemimpin agama. Di setiap kontitusi negara bagian (ada 50 negara bagian), selalu ada Nama TUHAN disebutkan. Minimal 1x.

Ada trend saat ini, di mana AS berada dalam genggaman yang oleh sebagian warga AS sendiri disebut sebagai kaum konservatif, bahkan fundamentalis Kristen. Pada jaman pemerintahan Presiden Bush Jr, Bush sendiri 'kelepasan lidah' saat menyebut kata “Crusade” (Perang Suci) setelah tragedi 9/11. Bayangkan, pemimpin dari negara adidaya seperti Amerika Serikat, memperlihatkan sisi Spiritulitas mereka yang kental. Tapi anehnya, kok Timor Leste yang kecil dan miskin justeru memperlihatkan “ketegaran tengkuk dan kecongkakan hatinya?” Apakah TUHAN akan memperlihatkan murkaNya di masa depan, saat Timor Leste benar-benar kolaps setelah Greater Sunrise terkuras habis, lalu negara-negara besar berlomba untuk “mengakuisisi” Timor Leste yang bangkrut? Pada saat drama ini terjadi, mungkin banyak di antara kita yang membaca catatan ini, sudah berada di “dunia lain”.

C. Gerakan Sekularisasi Jaman Ini

Saat ini, tampaknya, manusia didominasi peradaban Barat modern yang berlandaskan pada paham sekularisme, rasionalisme, utilitarianisme, dan materialisme. Peradaban ini mendekatkan manusia ke ambang kehancuran, walau kita tidak menutup mata, ada berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban modern ini juga telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimbangan sosial, kerusakan lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar etika dan moral dalam diri individu atau masyarakat). Tidak terdapat keseimbangan dan ketertiban di masyarakat.

Peradaban Barat modern sebagai mana ditulis sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat berbagai kemudahan fasilitas hidup, tapi pada sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi yang tidak kecil kepada penghancuran alam semesta. (Marvin Perry, Western Civilization : A Brief History, Boston New York : Hough ton Mifflin Company, 1997, hlm. xxi.).

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sekularisme adalah faham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sementara sekuler berarti, bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Lalu sekularitas adalah:

1. Kehidupan duniawi;

2. Kedudukan seorang pejabat duniawi (bukan jabatan keagamaan);

3. Daerah kekuasaan hukum duniawi dari organisasi keagamaan.

Sementara menurut Kamus Teologi karya dua orang Imam Jesuita (Collins dan Farrugia), hal. 291, berjudul asli: A Concise Dictionary of Theology, terbitan Paulist Press New Jersey, 1991, menjelaskan sebagai-berikut;

Secularisme (Bahasa Latin, yang artinya percaya kepada dunia):

a. Ideologi ateis atau agnostik yang mengesampingkan kepercayaan dan nilai-nilai religius dan menjelaskan segala sesuatu, melulu dalam lingkup dunia ini.

b. Yang disebutkan pada poin a di atas, harus dibedakan dari "sekularitas", yaitu suatu sikap yang menunjukkan keterlibatan dengan dunia ini dan masalah-masalahnya, tetapi tidak dengan sendirinya anti religius.

c. Sekularisasi, yaitu menunjukkan setiap proses sosial dan historis yang membawa perubahan, yaitu semakin dijauhinya pengaturan gerejawi dan tujuan-tujuan yang suci, misalnya perlakuan keras terhadap biara-biara di Inggris pada abad ke-16, pengaruh Revolusi Prancis di Prancis, dan politik Napoleon Bonaparte (1769-1821) di Jerman. Tanah dan bangunan yang pada mulanya dipakai untuk kepentingan hidup religius, dikuasai oleh para bangsawan, pedagang dan lain-lain, untuk kepentingan yang melulu duniawi.

d. Imam sekulir adalah imam-imam diosesean yang taat kepada uskupnya, berbeda dari imam-imam anggota ordo atau tarekat religius.

D. Apakah Masih Relevan Mementingkan Nama TUHAN Dalam Konstitusi?

Negara-negara Eropa Tengah dan Barat, mengutip Konrad Schmid dalam “In the Name of God? The Problem of Religious or Non-religious Preambles of State Constitutions in Post-atheistic Context” (2004), beranggapan penyertaan agama dan Tuhan dalam konstitusi sudah tidak lagi relevan. Perancis dan Jerman, contohnya, mulai memisahkan agama dan negara ke dalam dua ruang yang berbeda. Polandia, yang dikenal sebagai negara dengan penduduk Katolik terbanyak di dunia pun, perlahan menempatkan agama dan negara tidak pada satu ruangan.

Bagi negara-negara Eropa Barat dan Tengah, negara harus netral dari urusan agama. Pasalnya, tanpa negara pun, agama sudah punya tempat untuk menafsirkan aturannya sendiri.

Dikhawatirkan, ketika agama masuk dalam instrumen negara (baca: konstitusi), yang ada hanyalah konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Ceko pada 1940-1950-an ketika Gereja Katolik menjadi target pemberangusan rezim komunis.

Konstitusi, tegas Coleman, pada dasarnya adalah kontrak yang tak hanya melibatkan warga negara, pemerintah, dan sistem hukum. Konstitusi juga merupakan kontrak yang melibatkan generasi sekarang, masa lalu, dan masa depan. Konstitusi harus mengakui nilai-nilai yang tak cuma dipercayai orang beragama (mayoritas), tapi juga oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dan sebaik-baiknya konstitusi adalah yang merangkul semua warga negara, alih-alih menjadi tameng bagi kelompok agama tertentu.

Orang-orang penganut faham sekuler yang kental beranggapan bahwa, tak ada jaminan, konstitusi yang memuat unsur agama atau ketuhanan, bisa mengubah masyarakat di dalamnya menjadi lebih religius. Contohnya ada pada Massachusetts, New Hampshire, dan Vermont. Konstitusi ketiga negara bagian ini paling banyak menyertakan terma “Tuhan.” Namun, berdasarkan riset Pew Center pada 2016, ketiganya justru menjadi negara bagian paling tidak religius di AS.

E. Faktor Sejarah

Rujukan kepada Tuhan, tulis Marc Coleman dalam “God and the EU Constitution: The Case for a “New Covenant” (2004) yang dipublikasikan di Studies: An Irish Quarterly Review, memang sering dijumpai di bagian pembuka konstitusi. Rujukan ini dibedakan menjadi dua, yakni "Permohonan kepada Tuhan" (Invocatio Dei) dan "Penyebutan Tuhan" (Nominatio Dei).

Sebagaimana dijelaskan Randall Lesaffer dalam “Peace Treaties and International Law in European History: from the Late Middle Ages to World War One” (2004) yang diterbitkan American Historical Review, Invocatio Dei punya riwayat historis yang panjang dalam hierarki hukum Eropa. Pada zaman kuno dan Abad Pertengahan, sosok dewa atau Tuhan biasanya disertakan dalam kontrak sebagai jaminan.

Formula seperti “Atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus”, lazim dipakai di awal dokumen hukum guna menekankan keadilan dari norma yang dibuat. Perjanjian semacam ini diterapkan di antara negara-negara Kristen sampai akhir abad 19. Sedangkan “Nominatio Dei” sendiri dapat ditemukan di beberapa tradisi konstitusi Eropa yang mencerminkan kekuatan posisi gereja di atas negara.

Dalam perjalanannya, konsep Invocatio Dei dan Nominatio Dei punya beberapa tujuan. Pertama, memberi legitimasi negara untuk menyelenggarakan pemerintahan di mana raja dianggap sebagai manifestasi Tuhan di bumi sehingga berwenang untuk memerintah sesuai kehendak ilahi. Kedua, menunjukkan dukungan negara untuk agama tertentu. Ketiga, melanggengkan sejarah dan tradisi sebuah negara.

Seiring waktu, konstitusi tertulis menjadi norma bagi negara-negara modern pada abad 19. Beberapa negara Eropa pun mempertahankan tradisi agama ke dalam dokumen pendirian mereka. Sekalipun ingin menyelenggarakan pemerintahan sekuler dan republikan, yang berbeda dari pemerintahan ala monarki, kata "Tuhan" kerap dikutip sebagai alat legitimasi. Namun, tak sedikit negara yang mulai memisahkan urusan agama dengan negara dengan alasan menjaga netralitas agama. Negara-negara Eropa yang menerapkan aturan main semacam ini antara lain Islandia, Italia, Portugal, Jerman, Perancis, dan Spanyol.

F. Warisan Para Veteranus Untuk Generasi Masa Depan

Markus Tullius Cicero, ahli hukum, filsuf, orator ulung, yang hidup di Italia pada jaman Romawi Kuno (lahir di pada 3 Januari 106 Sebelum Masehi, meninggal pada 7 Desember 43 Sebelum Masehi), terkenal dengan ucapannya yang dipopulerlkan oleh Presiden ke-35 Amerika Serikat, John Fitgerald Kennedy (Presiden Katolik yang tertembak di Dallas pada 22 November 1963): “Jangan bertanya, apa yang negara berikan kepadamu. Tetapi bertanyalah, apa yang kamu berikan kepada negara?”

Pada kekinian, pasca 20 Mei 2002, para Veteran Perang Timor Leste tidak lagi bertanya; “Apa yang akan saya berikan kepada negara?” Tapi mereka (termasuk saya yang menuliskan catatan ini), lebih senang bertanya; “Apa yang akan negara berikan kepada saya?”

Pola bahasa wajib para pemimpin Timor Leste saat ini, termasuk pengikut-pengikut fanatiknya (salah satunya mungkin saya yang menuliskan catatan ini), adalah; “Di masa lalu, kami telah berjuang untuk negara ini. Kami lah kausa prima dari berdirinya negara ini. Negara ini merdeka karena kami. Bukan karena TUHAN. Maka kami, bukan hanya menutut hak-hak kami untuk hidup secara layak, tetapi kami ingin dihormati dan dielu-elukan. Bahkan kalau perlu, kami harus dikultuskan hingga ajal menjemput”.

Coba lihat fakta saat ini. Hampir semua lembaga negara penting di Timor Leste, dipimpin para Veteranus. Yang menjadi Presiden Republik saat ini (Francisco Guterres Lu-Olo), adalah Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Yang memimpin Lembaga Exekutif dengan menduduki kursi Perdana Menteri saat ini (Taur Matan Ruak), adalah Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Sementara yang memimpin Partai Oposisi di Parlamen saat ini, walau berada di luar sistim (José Alexandre Kayrala Xanana Gusmão), adalah Komandan Tertinggi Veteranus dari Front Angkatan Bersenjata (Falintil). Bahkan, the rising star, yang saat ini memimpin Lembaga Legislatif dengan menduduki Kursi Presiden Parlamen Nasional (Companheiro Aniceto Guterres), yang kadang terlalu reaktif dan sering melakukan blunder melalui komentar-komentarnya, juga adalah Veteranus dari Front Klandestin (Renetil).

Kesimpulannya, jika saat ini muncul banyak masalah gegara konflik politik yang tidak ada ujung-pangkalnya, yang melahirkan berbagai pathologi sosial, termasuk korupsi yang meraja-lela, peggunaan anggaran negara yag tiak pada tempatnya, pengangguran yang tumbuh bagaikan cendawan di musim penghujan, starvasi dan malnutrisi yang melanda rakyat kecil, dan berbagai masalah negara lainnya, secara moral maupun secara politik, yang harus bertanggung-jawab adalah para Veteranus, karena, sedikit atau banyak, mereka memiliki saham atas berbagai masalah yang terjadi di negeri ini. Itu artinya, jika di kemudian hari, negara ini harus kolaps dan kemudian jatuh ke dalam status “negara gagal (failed state), itu karena ulah para Veteranus yang lebih mementingkan ego, ketimbang mementingkan kepentingan rakyat kecil.

Pertanyaan menggodanya adalah; “Jika motto Lembaga Veteran Amerika Serikat, berbunyi: “For God and Country” (Untuk Tuhan dan Negara), lalu apa motto Veteranus Timor Leste? Dengan berkaca pada perilaku “egosentris” Veteranus Timor Leste saat ini, maka mungkin motto yang paling tepat dari Veteranus Timor Leste, bunyinya adalah: “Untuk dolar dan kekuasaan”. Bukan untuk “Tuhan dan Negara”. Bayangkan, demi dolar dan kekuasaan, ribuan veteranus palsu memenuhi daftar Veteranus yang ada di Ministeriu Assuntu Kombantente Libertasaun Nasional, yang saat ini dipimpin oleh seorang menteri yang juga memiliki latar belakang Veteranus, yaitu Senhor Julio da Costa Sarmento “Meta-Mali”.

KESIMPULAN

1. Diakui atau tidak, berkat dan rahmat Allah, tetap merupakan kausa prima, bukan hanya bagi lahirnya negara ini, tapi juga sekaligus bagi tetap eksisnya negara ini di masa depan.

2. Konstitusi itu, pada hakikatnya adalah merupakan ekspresi kolektif terdalam yang memanifestasikan identitas sebuah bangsa.

3. Selama 20 tahun restaurasi kemerdekaan, pembangunan di Timor Leste mengalami “set-back” (kemunduran signifikan), dan salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku egosentris para Veteran yang menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan publik yang tidak populer, yang ujung-ujungnya merugikan kepentingan banyak orang.

4. Melihat kenyataan saat ini, maka ada keniscayaan, warisan terbesar yang akan ditinggalkan para pendiri negara (Veteran) untuk generasi muda di masa depan adalah “negara gagal” (failed state).

SARAN

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan amandamen Konstitusi Timor Leste. Amandamen untuk isu yang mana? Saya yakin Anda tahu ke arah mana tujuan saya. Banyak negara yang berkali-kali melakukan amandamen terhadap konstitusi mereka, karena konstitusi bukan Kitab Suci yang berisi ajaran-ajaran dogmatis. Contohnya, Indonesia sudah 4x melakukan amandamen terhadap UUD 1945.

2. Jujur saja, saya sebenarnya ingin memberikan saran kedua begini: Sudah saatnya, secara gradual, perlu dilakukan peralihan kepemimpinan nasional, dari generasi tua ke generasi muda. Karena, jika Generasi Tua tetap memegang kepemimpinan nasional, maka polarisasi konflik (politik) yang akan terjadi adalah “perang opini” antar kaum konservatif-orthodox, untuk mempertahankan egonya masing-masing, tapi bukan”perang pengetahuan” antar kaum demokrat-moderat, untuk membangun negara ini menjadi lebih baik. Namun dengan melihat data statistik, saya menjadi ragu untuk memberikan saran tersebut di atas.

Coba Anda lihat faktanya. Selama 20 tahun restaurasi kemerdekaan, hampir tidak ada sama sekali, generasi tua (Generasi 75) yang menghuni hotel prodeo karena kasus korupsi. Bahkan 99,99% penghuni hotel prodeo karena kasus korupsi, adalah generasi yang lebih muda. Maka saya membenarkan pesan Uskup Belo, bahwa kita memang berhasil memperoleh kemerdekaan, tapi kita mengalami degradasi moral(itas). Dengan demikian, masalah moralitas, menjadi tantangan terbesar bagi kaum muda Timor Leste untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Mungkin ini menjadi salah satu alasan, mengapa tidak satu pun dari Kaum Muda yang berhasil memenangkan Pemilihan Presiden 2022. Oleh karena itu, kaum muda Timor Leste perlu memperbaiki diri, agar dengan demikian, yang lebih berkembang dalam diri kita adalah, fungsi-fungsi luhur, yang diletakkan Allah di tempat yang paling tinggi (yaitu otak), dan berusaha keras, untuk mengendalikan nafsu-nafsu rendah yang tersembunyi di antara “selangkangan” kita.

"A drop of ink can move a million of people to think" (n.n).

Catatan Kaki:

Terminologi: “resmi beragama, praxis tak beriman”, saya meminjam terminologi yang pernah digunakan Almarhum Romo YB Mangunjaya semasa hidupnya.


Sekedar info: Saya terakhir kali bertemu Romo Mangun, pada Hari Minggu, 7 Juni 1998, di Asrama Mahasiswa Timor-Timur, yang terletak di Jl. Kaliurang KM 7 Jogjakarta, saat Almarhum memimpin Perayaan Eakristi, untuk mendo’akan mahasiswa Timor Leste yang akan mengambil bagian dalam demo akbar, di Kantor Deplu Jakarta, pada 12 Juni 1998, yang berakhir dengan tindakan represif fihak Aparat Keamanan Indonesia. Hari itu, ribuan demonstran (salah satunya adalah keponakan Menlu Ali Alatas sendiri, yakni Alamuddin Alatas), ikut diangkut. Banyak aktivis Reformasi jaman itu, merupakan kaum muda asli kelahiran Indoensia, yang hari itu, ikut diangkut. Gegara mereka, tanpa pamrih, memberikan dukungan penuh kepada perjuangan Kemerdekaan Timor Leste. Beberapa di antara mereka, setelah Timor-Timur berpisah dengan Indonesia (saya tidak menggunakan terminologi: Timor-Timur merdeka dari Indonesia), sempat berkunjung ke Timor Leste. Tapi sayang, sambutan pemimpin Timor Leste tidak seheboh sambutan mereka terhadap Mbak Najwa Shihab. Bahkan pemimpin Timor Leste bersikap “cuek-bebek”.

Sebagian isi artikel ini, disadur dari sejumlah sumber.

Foto-foto dalam artikel ini, saya ambil dari google.

Tidak ada komentar: