Pengantar Singkat;
Pada tanggal 29 Juni 2018 kemarin, saya sengaja memposting kisah penampakan Bunda Suci Perawan Maria di Lourdes Perancis. Lalu sejumlah sahabat bertanya; “Kenapa harus memposting kejadian penampakan Lourdes pada 29 Juni? Padahal perayaan penampakan Bunda Maria di Lourdes biasa dilakukan pada 11 Februari?” Jawabannya ada dalam kisa berikut ini;
TODONGAN PROF. RAMA METAN PADA 29 JUNI 2006.
Tragedi beradarah 2006 diwarnai dengan mundurnya sekitar 600-an Anggota F-FDTL (Angkatan Pertahanan Timor Leste) dari dinas ketentaraan. Alasan pengundura diri terebut, konon, adanya perlakukan diskriminatif disertai ucapan-ucapan yang berbau primordialis(me) dari sejumlah petinggi militer (F-FTT), terhadap prajurit yang berasal dari "Loromonu" (Timor Leste bagian barat). Sementara pada sisi yang lain, banyak yang memberi stigma kepada ratusan Anggota F-FDTL Loromonu yang meninggalkan barak militer, sebagai tindakan indisipliner (melakukan desersi).
Ujung dari tragedi yang berpola(risasi) dikotomis (Lorosae-Loromonu) itu, memaksa Perdana Menteri (PM) Mari Alkatiri harus lengser pada 26 Juni 2006. Selang 3 hari setelah PM Mari Alkatiri lengser, pada tanggal 29 Juni 2006, Prof. Dr. Lucas da Costa,SE,MSi (Rektor UNPAZ), yang saat itu sedang mengungsi di Gleno Kabupaten Ermera, melakukan kontak dengan saya (via HP).
Hari itu (29 Juni 2006) saya sedang berada di toko buku Gramedia Matahari (Jl. Dewi Sartika Denpasar), setelah sebelumnya mengikuti perayaan ekaristi di Gereja Santo Yosef Kepundung Denpasar.
Detik-detik ketika Prof. Rama Metan mengontak saya, saat itu saya sedang membaca buku berjudul; LOURDES; Madu Dari Gunung Batu. Anda bisa melihat sampul buku tersebut dalam foto terlampir.
Saat sedang keasyikan memaca, tiba-tiba HP-ku berdering. Saya langsung pencet. "reject". Tapi HP-ku kembali berunyi. Sekilas, saya melihat nomor yang muncul. Dari Timor Leste, tapi saya tidak kenal. Kembali saya pencet "reject". Tapi lagi-lagi nomor itu menelfon. Lagi-lagi, untuk yang ketiga kalinya saya pencet "reject".
Tak berselang lama, ada SMS masuk. Masih dari nomor yang tadi. Bunyi SMS: "Manumean, ne'e hau Rama Metan. Simu lai telfone. Hau hakarak koalia. Emergencia". (Manueman, ini saya, Rama Metan. Tolong angkat telfonnya. Saya ingin bicara. Emergency).
Ternyata telfon dari Prof. Rama Metan. Berhubung saat itu saya lagi "Puasa VVV" (tidak boleh menyaringkan suara), maka saya balas SMS beliau:
"Tiu SMS deit. Hau sejum hela" (Om kirim SMS aja. Saya lagi puasa). Akhirnya, tak berselang lama, muncul SMS. Hari itu, Prof. Rama Metan mengabarkan bahwa beliau sedang mengungsi di Gleno Ermera, karena krisis Timor Leste semakin runyam. Beliau diincar untuk dibunuh. Perdana Menteri Mari Alkatiri baru lengser 3 hari sebelumnya, 26 Juni 2006.
Saya agak kaget membaca pesan beliau. Saya tidak tahu persis apa masalahnya, sampai beliau diincar untuk dibunuh?
Rupanya hari itu, Prof. Rama Metan menghubungi saya untuk menanyakan dua hal. Beliau mengajukan dua pertanyaan;
Pertanyaan pertama; “Bagaimana akhir dari krisis ini? Kapan krisis ini akan berakhir?”
Pertanyaan kedua: “Apakah saya akan selamat kembali ke Dili? Jika saya tidak selamat kembali ke Dili, maka lebih baik saya pulang saja ke Atsabe dan tinggal di sana hingga ajal menjemput?”
Jujur saja, saat itu, saya sama sekali tidak menyangka akan mendapat todongan (pertanyaan) seperti itu. Saya merasa kebingungan bagaimana harus menjawabnya. Saya bukan peramal, bukan paranormal, bukan dukun, apalagi dukun cabul.
Terlebih lagi, saya sedang berada di Bali. Bukan di Dili. Ironinya, orang yang berada di Timor Leste, menanyakan masa depan konflik kepada orang yang ada di luar Timor Leste. Seharusnya terbalik, sayalah yang menanyakan, bagaimana akhir dari konflik yang berakar primordial(isme) itu?
Saya mencoba berpikir keras, sambil menatap buku tentang misteri penampakan Lourdes yang ada di tangan saya. Kebetulan sekali, saat mendapat pertanyaan Prof. Rama Metan, saya sedang membaca buku tentang penampakan Bunda Maria di Lourdes Perancis. berjudul; LOURDES; Madu Dari Gunung Batu". Buku tersebut diterbitkan pada 11 Februari 2005. Setelah menatap buku itu dalam-dalam, tiba-tiba, sesuatu terlintas di benakku. Jujur saja, dan ini bukan “ngarang”, saya benar-benar asal menjawab sekenanya. Pokoknya benar-benar asbak (asal menebak) alias asbun (asal bunyi).
Untuk jawaban pertanyaan pertama, saya katakan kepada Prof. Rama Metan;
"Om, krisis ini akan mencapai puncaknya saat terjadi satu peristiwa yang merupakan tragedi berdarah yang dialami seorang tokoh nasional Timor Leste. Peristiwa monumental tersebut, terjadi pada hari di mana Bunda Suci Perawan Maria menampakkan diri di Lourdes Perancis".
Tapi saat itu saya sama sekali tidak menyebutkan bahwa Presiden Ramos Horta yang akan tertembak. Saya juga tidak mengatakan bahwa Mayor Alfredo Reinado Alves dan pengawalnya akan gugur.
Saya juga tidak mengatakan bahwa tragedi berdarah itu akan terjadi pada 11 Februari 2008, yang merupakan hari penampakan pertama Bunda Perawan Maria di Lourde Perancis pada Kamis 11 Februari 1858. Pokoknya saya hanya bilang; “akan terjadi tragedi berdarah yang menimpa seorang tokoh nasional Timor Leste pada hari penampakan Bunda Maria di Lourdes. Itu saja.
Untuk pertanyaan kedua, saya menjawabnya begini;
"Om Lucas boleh kembali ke Dili, tapi dengan syarat; harus membawa simbol yang ada hubungannya dengan Bunda Suci Perawan Maria Lourdes. Silahkan mencari simbol yang ada hubungannya dengan Bunda Perawan Maria Lourdes. Setelah menemukan simbol Bunda Maria Lourdes, om Lucas boleh kembali ke Dili".
Ternyata, genap "592" hari setelah saya memberikan pesan itu kepada Prof. Lucas, tragedi berdarah itu benar-benar terjadi. Pada pada 11 Februari 2008, genap 150 tahun penampakan Bunda Maria di Lourdes Perancis, Presiden Ramos Horta tertembak, terluka parah dan Mayor Alfredo beserta pengawalnya gugur.
Prof. Em. Jose Manuel Ramos Horta, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Timor Leste ke-4, karena mengalami luka berat, harus diterbangkan ke Royal Darwin Hospital Australia.
SAYA MENGIRA PROF. LUCAS MENGABAIKAN PESAN SAYA
Semenjak kontak pada 29 Juni 2006, komunikasi saya dengan Prof. Lucas putus total. Saya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Prof. Lucas. Dan memang seperti itulah tabiat Beliau. Hanya mau kontak, kalau lagi kepepet. Tapi jika lagi hidup aman, makmur, bahagia - sejahtera, tidak akan kontak saya.
Saat itu saya mengira, paling-paling pesan saya tidak akan ditaati Prof. Rama Metan. Ternyata dugaanku keliru. Pada suatu hari, di tahun 2009, saya "main" ke kos-kosan Companheiro Francisco Amaral dan Companheiro Leonito Ribeiro. Kedua nya saat itu sedang mengikuti Program Pendidikan Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Saat ini keduanya sama-sama menjadi Staf Pengajar di Fakultas Hukum UNPAZ.
Saat main ke kos mereka itulah baru saya dapat cerita yang sebenarnya dari "Maun Chico Amaral".
Rupanya hari itu, 29 Juni 2006, setelah selesai melakukan kontak dengan saya, Prof. Lucas langsung menggerakkan "anak buah" yang mendampingi beliau mengungsi di Gleno, keluar masuk rumah-rumah di Gleno, hanya untuk mencari "simbol-simbol Bunda Maria Lourdes".
Maun Chico Amaral bilang;
=============================
"Pantasan saja. Saat itu "pai tua", gerakkan kami semua, keluar masuk rumah-rumah di kawasan Gleno hanya untuk mencari simbol Bunda Suci Perawan Maria Lourdes. Kami cari setengah mati. Begitu menemukannya, kami langsung meninggalkan Gleno, turun ke Dili. Saya sendiri yang menyetir mobil membawa Prof. Lucas".
=============================
Saat mendengar cerita Maun Chico Amaral, saya merasa geli sendiri. Rupanya, walaupun "orang besar", memiliki gelar akademis mentereng, mau juga mematuhi nasehat "orang kecil".
Saya mengisahkan kembali cerita masa lalu ini, dalam rangka untuk ikut meramaikan babak final Piala Dunia 2018 di Rusia, yang akan mempertemukan Perancis & Kroasia.
Karena Perancis berhasil tampil di partai puncak, maka sebagai “misticus” dan “peneliti bilangan”, saya sedang memanfaatkan pagelaran akbar World Cup 2018 untuk meneliti hubungan kausalitas antara bilangan “293” dan bilangan “592”.
“Dari mana muncul bilangan 293?”
Bagaimana cara mendapatkan bilangan 293? Ada dua cara;
Cara pertama;
Merupakan hasil konversi dari judul buku: LOURDES: Madu Dari Gunung Batu. Artinya kata-kata dalam judul buku: LOURDES: Madu dari Gunung Batu, jika dikonversikan ke dalam bilangan Latin Gematria, hasilnya = 293. Tidak percaya, silahkan buktikan sendiri.
Cara kedua;
Merupakan hasil konversi dari cara melafalkan bilangan “592”.
Coba Anda lafalkan bilangan “592” menggunakan Bahasa Indonesia menjadi; LIMA RATUS SEMBILAN PULUH DUA.
Setelah itu konversikan semua huruf dalam kalimat LIMA RATUS SEMBILAN PULUH DUA ke dalam bilangan Latin Gematria. Hasilnya pasti = 293. Gampang bukan?
Dari mana mendapatkan bilangan “592”???
Cara mendapatkan bilangan 592 adalah dengan menghitung nilai “Z” (durasi waktu) yang menghubungkan dua titik waktu.
Dua titik waktu yang saya gunakan di sini untuk mendapatkan bilangan “592” adalah titik waktu yang menghubungkan tanggal 29 Juni 2006 dan tanggal 11 Februari 2008.
Tanggal 29 Juni 2006 adalah titik waktu di mana Prof. Lucas melakukan kontak dengan saya.
Tanggal 11 Februari 2008 adalah titik waktu di mana Presiden Ramos Horta tertembak.
Dari uraian di atas, muncul sebuah misteri (pertanyaan) yang tak terpecahkan dengan logika.
“Kenapa harus 592 hari? Dan kenapa pula, durasi waktu 592 hari itu, harus memiliki nilai numerik yang sama dengan nilai numerk judul buku; LOURDES; Madu Dari Gunung Batu?”
Atau pertanyaan di atas dapat dirubah ke varian yang lain;
"Mengapa judul buku itu harus memiliki nilai numerik yang cocok dengan nilai numerik dari tragedi penembakan Presdien Ramos Horta dan gugurnya Mayor Alfredo dan pengawalnya?"
Karena tidak ada satu manusiapun yang mengatur segala sesuatunya sedemikian rupa, agar Presiden Ramos Horta harus tertembak tepat pada hari ke-592, agar dengan demikian, angka 592 ini, jika dikonversikan, memunculkan bilangan 293, yang merupakan nilai numerik judul buku LOURDES: Madu Dari Gunung Batu, yang sedang saya baca, saat saya ditodong Prof. Rama Metan dengan 2 pertanyaannya.
Walau demikian, ada salah satu “warisan” (teori) yang ditinggalkan oleh eyang Alexander Halliday (Ahli Filologi berkebangsaan Inggris), yang bisa kita gunakan untuk membantu kita melakukan pendekatan guna memahami misteri di atas, yaitu bahwa setiap bahasa itu memiliki 7 fungsi. Salah satu fungsi dari 7 fungsi tersebut adalah fungsi “heresies”, yaitu fungsi untuk mengungkap tabir (misteri).
Hati-hati. Tolong bedakan frasa “heresis” yang saya maksudkan dalam catatan ini, dengan frasa “heresy” yang berhubungan dengan isu-isu “bida’ah” (kemurtadan) dalam ranah Teologi. Secara leteral, keduanya memiliki morfologi yang “homophone” (kesamaan bunyi), tapi beda alam dan habitat.
Berhubung dalam catatan ini saya telah menyinggung sekilas mengenai bilangan “592”, dan bilangan “592” ini bisa kita rubah formasinya menjadi “529” (yang merupakan logo final World Cup 2018), maka kepada mereka yang ingin mengetahui; negara manakah yang akan menjuarai Piala Dunia 2018 di Rusia, silahkan mengunjungi akun ini, untuk membaca sebuah catatan yang saat ini sedang saya siapkan berjudul; SCROPHULA CERVICALIS, dengan sub judul; “Apakah Di Masa Lalu Rakyat dan Pemerintah Perancis Tidak Melakukan Kejahatan Terhadap Dauphin Kecil?”
Semoga catatan ini bermanfaat.
Selamat merayakan Sabat suci bagi mereka yang akan merayakannya.
Salam erat persaudaraan dari Bukit Sulaiman Bali.
TUHAN YESUS memberkati,
Bunda Maria merestui,
Santo Yosef melindungi kita semua (hitam & putih). Amen.
Sumber Kutipan; https://web.facebook.com/liobeino/posts/1618251631617080
Tidak ada komentar:
Posting Komentar